. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Minggu, 19 Juni 2016

Begini Gaya Kekinian Wayang Ajen Semarakkan Wisata Ramadhan

Wayang sebagai media dakwah ternyata tidak habis. Geliatnya masih ada, dan bahkan bukan sekadar eksis. Wayang dakwah atau sufi era sekarang mau tak mau harus mengikuti perkembangan jaman biar tak dibilang ketinggalan jaman alias jadul. Itu pula yang dilakukan Wayang Ajen, saat tampil sebagai penutup sekaligus puncak acara Semarak Wisata Ramadhan 2016 di Pusat Dakwah Islam (PUSDAI), Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (18/6) malam.

Wayang golek khas Sunda satu ini tampil inovatif, berkolaborasi dengan aneka medium lain dan beragam cabang seni lain sehingga tak begitu menjemukan, terutama buat penonton yang baru mengenal dan berusaha menikmati pertunjukkan wayang, senikmat menikmati konser musik secara live.

Lewat lakon bertajuk "Sembilan Cahaya Kawalian" yang naskahnya ditulis sekaligus disutradara oleh dalangnya sendiri Ki Dalang Wawan Ajen alias alias Wawan Gunawan, terlihat sekali Wayang Ajen berusaha keluar dari pakem. 

Itu bukti bahwa dalangnya sadar betul, pertunjukkan wayang sebenarnya tidak cuma bisa dinikmati secara auditif, semata mendengarkan orasi (ocehan sang dalang) seperti mendengarkan siaran radio. Melainkan juga butuh visual yang dapat dinikmati penonton, baik itu tarian, lagu, multimedia, permainan cahaya, set panggung, lawakan, dan lainnya.

Alhasil apa yang ditampilkan Wayang Ajen, jauh lebih komplit, menarik, sesuai dengan tema, tempat dan waktu serta rasa kekinian. Penonton yang menyaksikannya pun tetap bertahan sampai akhir pertunjukkan sekalipun hujan terus menemani sepanjang pagelaran.

Lakon “Sembilan Cahaya Kawalian” menceritakan tentang kondisi negara yang berantakan akibat ulah kawanan buta yang terus menghasut manusia agar berbuat kesalahan.

Di awal cerita, dalangnya menghadirkan para buta penghasut yang membuat amarah Yudistira tokoh Pandawa lima tertua memuncak dan berubah menjadi sosok Brahala (raksasa). Setelah ditenangkan oleh Semar, Yudistira pun kembali ke wujud semula.

Guna mendamaikan isi dunia, turun para wali yang bertugas menyebarkan agama Islam, kemudian syiar agama diambilalih para kyai dan ustad serta para alim ulama.

Saat menampilkan tokoh para wali, dalangnya memainkan sembilan tokoh wali.

Untuk mempertegas narasi, Wayang Ajen pun menampilkan gambar para wali tersebut dalam layar multimedia berukuran besar di belakang panggung dan beberapa layar lagi di sisi kiri-kanan depan panggung, menghadap penonton.

Meski tema intinya tentang walisongo, dalangnya juga memasukkan tema lain sebagai sisipan seperti soal maraknya kejahatan seksual yang terjadi belakangan ini, dan lainnya sebagai bukti rusaknya moral bangsa akibat tidak menjalankan perintah agama dengan baik. “Dasar manusia perusak moral bangsa,” teriak sang dalang dengan nada geram.

Sisipan-sisipan tersebut membuktikan bahwa dalangnya punya wawasan luas dan up to date, tidak ketinggalan berita. Dan itu justru berguna mengingatkan penonton tentang kejadian-kejadian yang sepantasnya tidak terjadi.

Wawan Ajen pun paham betul, dakwah lewat orasi cenderung membosankan. Oleh karena itu dia memilih medium lain agar lebih mudah ditangkap, yakni lewat persembahan tarian dan lagu. Para penarinya berkostum santun menampilkan gerakan-gerakan yang menyimbolkan keislaman, ditambah lagu yang menyuarakan ketauhidan, Lailahaillallah.

Salah satu penyanyi andalan Wayang Ajen, Nita Tila pun kali ini tampil beda, tentu disesuaikan dengan tema, waktu, dan tempat. Nita yang biasanya centil, manja, dan sedikit menggoda, malam itu tampil lebih Islami dengan busana tertutup. Dua lagu yang dibawakan artis pop Sunda ternama ini pun tentu saja kental bermuatan religi.

Untuk memperkuat tema, dalangnya pun kolaborasi dengan Mamang Dai, seorang dai juara DAI TPI. Terjadi kelucuan di segmen kolaborasi penyampaian dakwah dengan gaya menghibur ini.

Ketika Mamang Dai menirukan suara dan gaya ustad Maulana, dalangnya menampilkan wayang dengan wajah ustad Maulana. Begitupun saat Mamang Dai menyanyikan penggalan lagu raja dangdut Rhoma Irama, muncullah wayang Rhoma Irama sambil membawa gitar, dan tokoh lainnya.

Keduanya membawakan secara santai dan lebih terasa jenakanya hingga penonton tanpa sadar telah dimasukkan nasihat-nasihat Islami dan tentu saja promosi branding pariwisata nasional Pesona Indonesia.

Maklum saja, Ki Dalang Wawan Ajen dan segerombolan pemain gamelan, penyanyi, penari, dan kru-nya hadir di acara Semarak Wisata Ramadahan 2016 di Pusdai ini atas dukungan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) untuk turut serta mempromosikan branding tersebut kepada masyarakat luas lewat pertunjukkan wayang.

Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Kemenpar Esthy Reko Astuti dalam sambutannya mengatakan dukungan ini promosi Pesona Indonesia ini sudah dilakukan pihaknya untuk kesekian kali, khususnya untuk kegiatan wisata halal di Jawa Barat mengingat Jawa Barat dan beberapa provinsi lain memiliki potensi wisata halal yang luar biasa.

Pergerakan wisatawan muslim nusantara di dalam negeri sangat besar. "Buktinya dari target wisatawan nusantara tahun 2016 sebesar 260 juta pengunjung, sekitar 228 jutanya adalah wisatawan muslim nusantara," terang Esthy.

Menurutnya momen Ramadhan dan hari-hari besar Islam merupakan waktu yang tepat untuk menjaring wisatawan Muslim melakukan wisata halal termasuk wisata religi di Tanah Air.

"Melalui wisata religi seperti ini diharapkan wisata budaya akan semakin diminati wisatawan muslim," tambah Esthy yang malam membuka acara pertunjukan Kolaborasi Wayang Ajen dan Dakwah didampingi Asdep Pengambangan Seqmen Pasar Persona Raseno Arya serta kedua bawahannya Gayatri dan Eri Ibrahim.

Raseno menambahkan pertunjukkan Wayang Ajen di Semarak Wisata Ramadhan 2016 yang didukung Kemenpar menunjukkan kekuatan Pesona Indonesia.

Terlihat bukan hanya ada kolaborasi antara Wayang Ajen dan Dakwah yang menyampaikan petuah-petuah dan ajaran Islam, pun menampilkan aneka seni dan budaya lain termasuk sajian kuliner, terutama khas Bandung.

“Budaya religi seperti ini, termasuk di daerah lain harus dilestarikan dan dikembangkan karena potensinya sangat besar, apalagi penduduk Indonesia ada 250 juta lebih dan mayoritas muslim. Contoh di Sumatera Barat tepatnya di Sawahlunto ada wayangnya juga,” terang Raseno.

Di awal acara, guru besar ilmu budaya Unpad Bandung, Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M. Hum dalam pengantar pertunjukan Wayang Ajen mengatakan wayang merupakan budaya warisan para wali yang sangat tinggi nilainya, bukan hanya nilai seninya saja tetapi juga nilai filosofinya. Namun harus diakuai wayang merupakan budaya yang datangnya dari luar lalu berkembang khususnya di Pulau Jawa sejak lama.

Wayang Ajen, lanjut Dadang merupakan bukti dinamisasi seni budaya wayang golek yang mengikuti kultur masyarakat yang terus berkembang. Terlihata dari replikan wajah tokoh yang bervariasi, bisa wajah pejabat, artis dan lainnya, ceritanya pun tidak melulu kisah Ramayana atau Mahabharata, melainkan kejadian yang tengah hangat atau kondisi kekinian.

Penciptaan tokoh baru dalam jagat pewayangan, sambung Dadang bukan merupakan bentuk pemurtadan dalam seni padalangan. “Ini merupakan naturalisasi budaya terbarukan. Tapi cara ini merupakan sebuah jawaban seorang dalang akan kondisi kekinian dalam upaya mempertahankan dan melestarikan seni budaya bangsa,” ujar Dadang.

Anggota Komisi X DPR RI bidang pendidikan Popong Otje Djundjunan yang turut menyaksikan pertunjukan kolaborasi Wayang Ajen ini menambahkan bahwa sejak masa para walisongo, seni budaya khusunya wayang merupakan bagian dari sarana syiar agama Islam.

Sebagai kekayaan dan warisan milik bangsa, wayang bernilai positif. Bila dielaborasi dan diadumaniskan antara seni budaya dan agama, akan menambah dinamisasi hubungan seni budaya dan agama di masyarakat. “Intinya tinggal memberikan pemahaman yang benar bukan seni budaya dipergunakan untuk membelokan ajaran agama,” ujar Ceu Popong.

Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Pusdai Bandung, Diding Bahrudin membenarkan selama Ramadhan, pihaknya juga sengaja memadukan penerapan ayat-ayat Alquran dalam hubungannya dengan alam semesta, termasuk pariwisata, dan pertunjukan wayang bermuatan dakwah semacam ini.

"Pertunjukkan wayang ini pun bagus untuk mengangkat kembali budaya Sunda yang belakangan semakin ditinggalkan generasi muda,” ungkapnya.

Berdasarkan pantauan Travelplusindonesia, penonton Kolaborasi Wayang Ajen dan Dakwah ini ternyata tidak didominasi para orangtua.

Sejumlah anak muda juga terliat antusias sejak awal pertunjukkan. Mereka betah duduk sambil menikmati kopi sachet dan mie rebus, menyaksikan kolaborasi apik tersebut sampai tuntas hingga dini hari, di bawah udara dingin malam khas Bandung.

Realita tersebut bukan semata karena pertunjukkan itu gratis, melainkan karena penampilan Wayang Ajen memang beda, lebih kekinian mengikuti selera mereka juga hingga mendekatkan jarak. Tidak seperti kebanyakan petunjukkan wayang tradisonal lain yang konvensional, cenderung monoton hingga membosankan dan berjarak dengan anak muda.

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Foto: adji & dok. wayang ajen

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP