Dilema Memberangus Wisata Esek-Esek Turis Arab. Dari Mall, Puncak Hingga Kawin Kontrak
Tiap musim haji, ratusan ribu orang Indonesia berbondong-bondong menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, Arab Saudi. Sebaliknya di musim Arab, sebutan waktu berlibur orang Arab ke Indonesia, jumlahnya juga tak sedikit.
Data pemerintah pusat menyebutkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia tahun 2013 adalah 8,8 juta orang, 110 ribu orang diantaranya dari Arab Saudi.
Beberapa tahun belakangan ini Indonesia memang makin diminati wisatawan dari kawasan Timur Tengah sebagai daerah tujuan wisata atau destinasi liburan mereka. Orang kita biasa menyebut mereka turis Arab, padahal yang datang bukan hanya dari Arab Saudi melainkan juga dari Kuwait, Yordania, Bahrain, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Libanon, Iran, Mesir, Palestina, dan lainnya.
Mereka ke negeri tropis ini ada yang bertujuan untuk berbelanja, berwisata kuliner, menikmati pantai, dan berlama-lama di daerah pegunungan berhawa sejuk. Namun tak sedikit pula yang bermaksud sekaligus menyalurkan hasrat seksualnya yang sangat dikekang di negerinya. Tak heran, Indonesia juga menjadi objek "wisata seks" incaran turis-turis Arab.
Objek wisata esek-esek turis dari kawasan Timur Tengah di Indonesia ini ada di beberapa lokasi. Namun sejak dulu hingga kini, masih itu-itu saja. Semula di Jakarta.
Di Atrium Senen, Jakarta Pusat misalnya saya pernah melihat “transaksi” lelaki turis Arab dengan makelar seks yang menawarkan perempuan “pengibur” bahkan untuk kawin kontrak dengan berbahasa Arab slang.
Tarifnya yang ditawarkan bervariasi. “Kalau perawan US$ 600 dan janda US $ 400 kotor, artinya belum termasuk harga mak comblang dan penghulunya,” kata Wati (37) alumni TKI Arab yang sejak 2 tahun ini berprofesi sebagai “suppliers” teman kencan buat turis pria Arab yang “nakal”.
Lokasi lainnya yang sudah lama tersohor tempat mangkal dan transit turis Arab di Ibukota ini antara lain Hotel Oasis, Jakarta Pusat dan Hotel Sentral, Jakarta Timur. Di Hotel Sentral terdapat diskotik yang ramai didatangi turis Arab untuk “senang-senang” mencari mangsa perempuan-perempuan malang Indonesia hingga muncul sebutan diskotik/bar Arab. Lokasi serupa yang juga kerap dikunjungi mereka antara lain De Leila di Gatot Subroto, Jakarta Selatan dan Tri House di Menteng, Jakarta Pusat.
Virus wisata gejolak hasrat ini kemudian menyebar ke Jawa Barat, terutama di kawasan Puncak, Bogor-Cianjur. Transaksi maksiat juga terjadi sejumlah warung kaleng, sebutan toko, rumah makan berbahasa Arab di daerah itu.
Biasanya turis Arab ke Indonesia, datang dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng kemudian transit di Hotel Sentral dan beberapa hotel di daerah Cikini. Baru kemudian mereka “hijrah” ke Cisarua bersama dengan pemandu wisata yang “komplit”, artinya pemandu yang mengatur akomodasi, tur sampai “entertainment”-nya.
Di sejumlah warung kaleng, banyak suppliers “calon istri” yang berkeliaran dengan bebas menawarkan perempuan-perempuan lokal untuk jadi istri kawin kontrak para turis Arab. Kabarnya perempuan-perempuan “santapan” itu dipasok dari Cianjur, Bogor, Sukabumi, dan daerah lainnya.
Café dan diskotik lengkap dengan penari perut juga sempat marak dulu. Namun sejak tahun 1999 sudah tidak ada akibat didemo mahasiswa. Namun aksi pesta hura-hura gaya Arab yang tak sesuai dengan budaya Indonesia itu katanya berpindah ke vila-vila yang dilakukan secara diam-diam.
Sudah jadi rahasia umum, sejumlah pengusaha hotel, losmen, guess house dari Gadog sampai Puncak membayar uang jago atau "izin usaha" untuk melancarkan prostitusi terselubung kepada orang atau pihak tertentu. Semuanya demi fulus.
Tak heran kalau Cisarua kemudian mendapat sebutan sebagai Kota Kawin Kontrak. Pasalnya kota kecil di kawasan Puncak, Bogor ini sejak lama menawarkan paket wisata kawin kontrak. Suka tidak suka, sebutan yang tak enak didengar ini sudah kian melekat di telinga kita, bahkan mungkin telah menyebar ke penjuru dunia.
Fenomena kawin kontrak mengejar syahwat belaka berkedokan agama ini merupakan budaya baru yang kemudian membumi di masyarakat kawasan Puncak sejak datangnya turis Arab. Kegiatan ini terus menerus dilakukan dan didiamkan sehingga menjadi sebuah kebiasaan atau budaya.
Banyak perempuan lokal dan sekitar yang rata-rata masih belasan tahun sudah melakukan praktik kawin kontrak belasan kali dengan para “Onta”, sebutan untuk turis lelaki Arab. Maklum turis Arab yang datang ke Indonesia, khususnya di Jakarta dan Puncak, akan selalu mencari perempuan lokal untuk dijadikan “istri sesaat” sebagai penyaluran “taik macan”-nya.
Tina (19) salah satu perempuan yang mengaku sudah belasan kali kawin kontrak blak-blakan bilang menerima bayaran untuk kawin kontrak dengan harga yang bervariasi tergantung lamanya. “Saya pernah dibayar Rp 9 juta untuk sepuluh hari. Tapi kalau cuma dua hari paling Rp 2 juta,” akunya enteng.
Harian Saudi Arabia al-Wathan pernah melansir, fenomena "nikah dengan niat talak di belakangnya" yang dilakukan oleh para lelaki Arab dengan perempuan Indonesia tersebut.
Begitupun dengan Surat kabar internasional Al-Arab yang terbit di London juga pernah melaporkan tentang fenomena Puncak dan Cisarua dengan segala bisnis ‘kawin siri’nya itu. Disebutkan sindikat kawin siri tersebut sudah membuat jaringan dengan menyebar kartu nama kepada calon pengunjungnya.
Faktor pendukung mengapa kawin kontrak marak di Puncak karena perempuan Indonesia sendiri menjadikan praktik ini sebagai ladang pekerjaan. Kemiskinan lagi-lagi jadi alasan. Parahnya banyaknya yang beranggapan menikah dengan orang Arab sekalipun kelak akan diceraikan, merupakan jalan keluar yang cepat untuk mendulang uang agar keluar dari jerat kemiskinan.
Hmmm.., inilah buah dari kapitalisme. Dimana banyak orang terlalu mendewakan kekayaan. Harus punya ini-itu, cukup ini-itu biar dihargai, sampai melakukan praktek yang sebenarnya sama saja dengan maksiat berkedok agama.
Lebih naif lagi, banyak perempuan Indonesia yang mengaku senang dinikahi orang Arab karena dipercaya membawa berkah. Banyak orang awam kita, termasuk orang tua yang masih menilai orang Arab itu, pasti Islamnya kuat dan imannya tebal.
Padahal sebenarnya tidak semua begitu. Mereka kerap terkesima dengan fisik pria Arab dan brewok-nya, apalagi kalau sudah mengenakan pakaian khas Arab. Maklumlah orang kita kerap memuja “bungkusnya”.
Faktor lainnya, disini banyak tersebar kantor-kantor “siluman” yang memfasilitasi praktik pernikahan aneh ini, lengkap dengan penghulu, wali palsu dari calon pengantin perempuan dan saksi bayaran.
Data pemerintah pusat menyebutkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia tahun 2013 adalah 8,8 juta orang, 110 ribu orang diantaranya dari Arab Saudi.
Beberapa tahun belakangan ini Indonesia memang makin diminati wisatawan dari kawasan Timur Tengah sebagai daerah tujuan wisata atau destinasi liburan mereka. Orang kita biasa menyebut mereka turis Arab, padahal yang datang bukan hanya dari Arab Saudi melainkan juga dari Kuwait, Yordania, Bahrain, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Libanon, Iran, Mesir, Palestina, dan lainnya.
Mereka ke negeri tropis ini ada yang bertujuan untuk berbelanja, berwisata kuliner, menikmati pantai, dan berlama-lama di daerah pegunungan berhawa sejuk. Namun tak sedikit pula yang bermaksud sekaligus menyalurkan hasrat seksualnya yang sangat dikekang di negerinya. Tak heran, Indonesia juga menjadi objek "wisata seks" incaran turis-turis Arab.
Objek wisata esek-esek turis dari kawasan Timur Tengah di Indonesia ini ada di beberapa lokasi. Namun sejak dulu hingga kini, masih itu-itu saja. Semula di Jakarta.
Di Atrium Senen, Jakarta Pusat misalnya saya pernah melihat “transaksi” lelaki turis Arab dengan makelar seks yang menawarkan perempuan “pengibur” bahkan untuk kawin kontrak dengan berbahasa Arab slang.
Tarifnya yang ditawarkan bervariasi. “Kalau perawan US$ 600 dan janda US $ 400 kotor, artinya belum termasuk harga mak comblang dan penghulunya,” kata Wati (37) alumni TKI Arab yang sejak 2 tahun ini berprofesi sebagai “suppliers” teman kencan buat turis pria Arab yang “nakal”.
Lokasi lainnya yang sudah lama tersohor tempat mangkal dan transit turis Arab di Ibukota ini antara lain Hotel Oasis, Jakarta Pusat dan Hotel Sentral, Jakarta Timur. Di Hotel Sentral terdapat diskotik yang ramai didatangi turis Arab untuk “senang-senang” mencari mangsa perempuan-perempuan malang Indonesia hingga muncul sebutan diskotik/bar Arab. Lokasi serupa yang juga kerap dikunjungi mereka antara lain De Leila di Gatot Subroto, Jakarta Selatan dan Tri House di Menteng, Jakarta Pusat.
Virus wisata gejolak hasrat ini kemudian menyebar ke Jawa Barat, terutama di kawasan Puncak, Bogor-Cianjur. Transaksi maksiat juga terjadi sejumlah warung kaleng, sebutan toko, rumah makan berbahasa Arab di daerah itu.
Biasanya turis Arab ke Indonesia, datang dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng kemudian transit di Hotel Sentral dan beberapa hotel di daerah Cikini. Baru kemudian mereka “hijrah” ke Cisarua bersama dengan pemandu wisata yang “komplit”, artinya pemandu yang mengatur akomodasi, tur sampai “entertainment”-nya.
Di sejumlah warung kaleng, banyak suppliers “calon istri” yang berkeliaran dengan bebas menawarkan perempuan-perempuan lokal untuk jadi istri kawin kontrak para turis Arab. Kabarnya perempuan-perempuan “santapan” itu dipasok dari Cianjur, Bogor, Sukabumi, dan daerah lainnya.
Café dan diskotik lengkap dengan penari perut juga sempat marak dulu. Namun sejak tahun 1999 sudah tidak ada akibat didemo mahasiswa. Namun aksi pesta hura-hura gaya Arab yang tak sesuai dengan budaya Indonesia itu katanya berpindah ke vila-vila yang dilakukan secara diam-diam.
Sudah jadi rahasia umum, sejumlah pengusaha hotel, losmen, guess house dari Gadog sampai Puncak membayar uang jago atau "izin usaha" untuk melancarkan prostitusi terselubung kepada orang atau pihak tertentu. Semuanya demi fulus.
Tak heran kalau Cisarua kemudian mendapat sebutan sebagai Kota Kawin Kontrak. Pasalnya kota kecil di kawasan Puncak, Bogor ini sejak lama menawarkan paket wisata kawin kontrak. Suka tidak suka, sebutan yang tak enak didengar ini sudah kian melekat di telinga kita, bahkan mungkin telah menyebar ke penjuru dunia.
Fenomena kawin kontrak mengejar syahwat belaka berkedokan agama ini merupakan budaya baru yang kemudian membumi di masyarakat kawasan Puncak sejak datangnya turis Arab. Kegiatan ini terus menerus dilakukan dan didiamkan sehingga menjadi sebuah kebiasaan atau budaya.
Banyak perempuan lokal dan sekitar yang rata-rata masih belasan tahun sudah melakukan praktik kawin kontrak belasan kali dengan para “Onta”, sebutan untuk turis lelaki Arab. Maklum turis Arab yang datang ke Indonesia, khususnya di Jakarta dan Puncak, akan selalu mencari perempuan lokal untuk dijadikan “istri sesaat” sebagai penyaluran “taik macan”-nya.
Tina (19) salah satu perempuan yang mengaku sudah belasan kali kawin kontrak blak-blakan bilang menerima bayaran untuk kawin kontrak dengan harga yang bervariasi tergantung lamanya. “Saya pernah dibayar Rp 9 juta untuk sepuluh hari. Tapi kalau cuma dua hari paling Rp 2 juta,” akunya enteng.
Harian Saudi Arabia al-Wathan pernah melansir, fenomena "nikah dengan niat talak di belakangnya" yang dilakukan oleh para lelaki Arab dengan perempuan Indonesia tersebut.
Begitupun dengan Surat kabar internasional Al-Arab yang terbit di London juga pernah melaporkan tentang fenomena Puncak dan Cisarua dengan segala bisnis ‘kawin siri’nya itu. Disebutkan sindikat kawin siri tersebut sudah membuat jaringan dengan menyebar kartu nama kepada calon pengunjungnya.
Faktor pendukung mengapa kawin kontrak marak di Puncak karena perempuan Indonesia sendiri menjadikan praktik ini sebagai ladang pekerjaan. Kemiskinan lagi-lagi jadi alasan. Parahnya banyaknya yang beranggapan menikah dengan orang Arab sekalipun kelak akan diceraikan, merupakan jalan keluar yang cepat untuk mendulang uang agar keluar dari jerat kemiskinan.
Hmmm.., inilah buah dari kapitalisme. Dimana banyak orang terlalu mendewakan kekayaan. Harus punya ini-itu, cukup ini-itu biar dihargai, sampai melakukan praktek yang sebenarnya sama saja dengan maksiat berkedok agama.
Lebih naif lagi, banyak perempuan Indonesia yang mengaku senang dinikahi orang Arab karena dipercaya membawa berkah. Banyak orang awam kita, termasuk orang tua yang masih menilai orang Arab itu, pasti Islamnya kuat dan imannya tebal.
Padahal sebenarnya tidak semua begitu. Mereka kerap terkesima dengan fisik pria Arab dan brewok-nya, apalagi kalau sudah mengenakan pakaian khas Arab. Maklumlah orang kita kerap memuja “bungkusnya”.
Faktor lainnya, disini banyak tersebar kantor-kantor “siluman” yang memfasilitasi praktik pernikahan aneh ini, lengkap dengan penghulu, wali palsu dari calon pengantin perempuan dan saksi bayaran.
Mayoritas turis pria Arab yang melakukan praktik pernikahan ini menyetorkan “mahar” sekitar Rp 4 hingga 10 juta tergatung berapa lama durasi kawin kontraknya.
Bagi mereka jumlah uang segitu kecil. Tapi buat orang Indonesia, itu sangat besar.
Tak heran mereka betah berlama-lama di Indonesia khususnya di Puncak, Bogor-Cianjur bahkan kerap balik lagi. Pasalnya sudah dapat udara sejuk dan panorama indah, pun dapat “teman bobo” perempuan muda yang mudah pasrah dan murah buat mereka.
Bagaimana peran pemerintah baik daerah maupun pusat dalam menanggulangi fenomena yang sebenarnya sudah lama terjadi dan belakangan ini terangkat lagi? Benarkah pemerintah dilema menghadapinya?
Maklum, kehadiran turis Arab disatu sisi memberi banyak keuntungan finansial bagi masyarakat lokal, termasuk lahan pekerjaan. Namun disisi lain, kemunculan mereka (meski tidak semuanya) dengan fenomena kawin kontraknya itu, justru telah merendahkan bangsa ini.
Beranikah pemerintah menghapus fenomena kawin kontrak yang juga terjadi di sejumlah daerah lain seperti di Pantura? Pelakunya pun bukan melulu turis Arab, melainkan sesama orang Indonesia, maksudnya pria dan wanitanya orang kita. MIRIS.
Lalu kemana ormas agama yang selama ini berkoar-koar? Naif rasanya kalau mereka tidak tahu fenomena ini. Atau jangan-jangan mereka sudah disumpal dengan fulus juga sebagaimana kabar miring yang berhembus, agar mereka tak berkoar atau melakukan aksi demo dan lainnya? Entahlah.
Belum lama ini, salah satu TV swasta di Jakarta menggelar talkshow menyangkut fenomena kawin kontrak ini. Mencengangkan. Menurut dua wanita pelakunya, prilaku ini masih marak terjadi di kawasan Puncak Bogor-Cianjur.
Rafi Ahmad, salah satu host acara tengah malam tersebut sampai mencibir. “Kapan yah orang kita bisa melakukan kawin kontrak di negara orang lain. Jangan bangsa lain aja yang bisa begitu sama orang kita,” sindirnya.
Naskah & foto: adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Captions:
1. Warung kaleng berbahasa Arab di kawasan Puncak Bogor-Cianjur menjamur.
2. Pria turis Arab tengah berwisata di salah satu objek wisata di Cipanas.
0 komentar:
Posting Komentar