LASEDA 2014 Dukung Tortor Jadi Warisan Budaya Dunia
Workshop Tortor menjadi salah satu acara Lawatan Sejarah Daerah (Laseda) 2014 yang diadakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Banda Aceh di Samosir, Sumatera Utara. Workshop yang diikuti puluhan pelajar SMA dari beberapa kabupaten/kota di Aceh dan Sumut tersebut bertujuan mendukung tarian Tortor menjadi Warisan Budaya Dunia.
Usai workhsop, para peserta Laseda 2014 mempraktekkan langsung tarian Tortor di obyek wisata sejarah Batu Persidangan atau Batu Kursi di Kampung (Huta) Silangan.
Di kampung yang di dalamnya terdapat rumah adat Batak Kuno dan Istana Raja Silangan serta museum peralatan rumah tangga orang Batak dahulu itu, aksi mereka ditonton sejumlah warga setempat dan juga beberapa turis Eropa dan Malaysia yang tengah berwisata ke tempat wisata yang menjadi lokasi penjara dan pemenggalan kepala bagi pelaku kriminal berat orang Batak tempo doeloe.
Kepala BPNB Banda Aceh Irini Dewi Wanti menjelaskan Workshop Tortor dalam Laseda 2014 ini memang bukan semata mengajarkan kepada para peserta bagaimana menarikan Tortor dengan benar sebagaimana pakemnya.
Namun dalam workshop ini ada misi lain yakni sekaligus untuk mendukung Tortor sebagai Warisan Budaya Nasional menjadi Warisan Budaya Dunia yang diakui UNESCO. “Workshop ini diharapkan dapat menjadi upaya pendukungan Tortor sebagai Warisan Budaya Dunia dari Kabupaten Samosir,” jelasnya di Samosir, baru-baru ini.
Perri Segala selaku pengajar workshop Tortor dalam kegiatan Laseda 2014 mengakui bangga para pesertanya mampu dalam waktu singkat menarikan Tortor yang benar.
Menurutnya tarian Tortor yang belakangan ini banyak tersiar di dunia maya, disatu sisi turut memperkenalkan tarian ini ke seluruh Indonesia bahkan dunia. Namun disisi lain karena berbeda-beda cara menarikannya, membuat orang bingung mana Tortor yang sebenarnya.
Kata Perri, Tortor yang ada di internet, youtube itu semua itu benar namun ada yang tidak sesuai dengan Tortor yang sebenarnya. Karena itulah dia senang mendapatkan kesempatan dalam workshop ini untuk meluruskan Tortor yang benar sesuai teknik dan maknanya. “Kalau orang Batak yang menarikan Tortor itu tidak benar, tidak sesuai yang aslinya saya rada kecewa. Tapi kalau diluar orang Batak, saya bisa memaklumi,” jelasnya.
Menortor atau menarikan Tortor yang benar menurutnya harus memenuhi tiga sarat yakni tariannya itu sendiri, ulos, dan gondang. “Ketiganya tidak bisa dipisahkan dari tarian muda-mudi ini,” ujarnya. Tortor merupakan jenis tarian purba dari Batak Toba yang berasal dari Sumut yang meliputi daerah Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan.
Secara fisik Tortor merupakan tarian. Tapi kalau lebih dipahami gerakan-gerakannya, sebeneranya tortor labih dari sekadar tarian bisa. “Dia bisa juga menjadi media komunikasi karena terjadi teraksi antara partisipan upacara,” papar Perri.
Perri amat mendukung upaya tersebut dan berpendapat workshop semacam ini harus sering dilakukan. Menurutnya pemerintah dalam hal ini Pemkab Samosir, Pemprov Sumut, dan pusat harus lebih gencar memperkenalkan Tortor baik di tingkat daerah, Nasional maupun internasional supaya Tortor berhasil menjadi Warisan Budaya Dunia. “Kalau di tingkat kabupaten dan provinsi, paling hanya pementasan di event-event budaya seperti Festival Danau Toba dan lainnya,” ujarnya.
Seperti kita ketahui Pemerintah Indonesia tahun lalu telah menetapkan 77 karya budaya sebagai Warisan Budaya Indonesia dari 2.644 karya budaya di seluruh Indonesia yang telah diverifikasi dan dinilai oleh tim ahli yang juga melibatkan pihak pemerintah pusat, pemda, dan mayarakat adat sejak tahun 2009-2012.
Usai workhsop, para peserta Laseda 2014 mempraktekkan langsung tarian Tortor di obyek wisata sejarah Batu Persidangan atau Batu Kursi di Kampung (Huta) Silangan.
Di kampung yang di dalamnya terdapat rumah adat Batak Kuno dan Istana Raja Silangan serta museum peralatan rumah tangga orang Batak dahulu itu, aksi mereka ditonton sejumlah warga setempat dan juga beberapa turis Eropa dan Malaysia yang tengah berwisata ke tempat wisata yang menjadi lokasi penjara dan pemenggalan kepala bagi pelaku kriminal berat orang Batak tempo doeloe.
Kepala BPNB Banda Aceh Irini Dewi Wanti menjelaskan Workshop Tortor dalam Laseda 2014 ini memang bukan semata mengajarkan kepada para peserta bagaimana menarikan Tortor dengan benar sebagaimana pakemnya.
Namun dalam workshop ini ada misi lain yakni sekaligus untuk mendukung Tortor sebagai Warisan Budaya Nasional menjadi Warisan Budaya Dunia yang diakui UNESCO. “Workshop ini diharapkan dapat menjadi upaya pendukungan Tortor sebagai Warisan Budaya Dunia dari Kabupaten Samosir,” jelasnya di Samosir, baru-baru ini.
Perri Segala selaku pengajar workshop Tortor dalam kegiatan Laseda 2014 mengakui bangga para pesertanya mampu dalam waktu singkat menarikan Tortor yang benar.
Menurutnya tarian Tortor yang belakangan ini banyak tersiar di dunia maya, disatu sisi turut memperkenalkan tarian ini ke seluruh Indonesia bahkan dunia. Namun disisi lain karena berbeda-beda cara menarikannya, membuat orang bingung mana Tortor yang sebenarnya.
Kata Perri, Tortor yang ada di internet, youtube itu semua itu benar namun ada yang tidak sesuai dengan Tortor yang sebenarnya. Karena itulah dia senang mendapatkan kesempatan dalam workshop ini untuk meluruskan Tortor yang benar sesuai teknik dan maknanya. “Kalau orang Batak yang menarikan Tortor itu tidak benar, tidak sesuai yang aslinya saya rada kecewa. Tapi kalau diluar orang Batak, saya bisa memaklumi,” jelasnya.
Menortor atau menarikan Tortor yang benar menurutnya harus memenuhi tiga sarat yakni tariannya itu sendiri, ulos, dan gondang. “Ketiganya tidak bisa dipisahkan dari tarian muda-mudi ini,” ujarnya. Tortor merupakan jenis tarian purba dari Batak Toba yang berasal dari Sumut yang meliputi daerah Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan.
Secara fisik Tortor merupakan tarian. Tapi kalau lebih dipahami gerakan-gerakannya, sebeneranya tortor labih dari sekadar tarian bisa. “Dia bisa juga menjadi media komunikasi karena terjadi teraksi antara partisipan upacara,” papar Perri.
Perri amat mendukung upaya tersebut dan berpendapat workshop semacam ini harus sering dilakukan. Menurutnya pemerintah dalam hal ini Pemkab Samosir, Pemprov Sumut, dan pusat harus lebih gencar memperkenalkan Tortor baik di tingkat daerah, Nasional maupun internasional supaya Tortor berhasil menjadi Warisan Budaya Dunia. “Kalau di tingkat kabupaten dan provinsi, paling hanya pementasan di event-event budaya seperti Festival Danau Toba dan lainnya,” ujarnya.
Seperti kita ketahui Pemerintah Indonesia tahun lalu telah menetapkan 77 karya budaya sebagai Warisan Budaya Indonesia dari 2.644 karya budaya di seluruh Indonesia yang telah diverifikasi dan dinilai oleh tim ahli yang juga melibatkan pihak pemerintah pusat, pemda, dan mayarakat adat sejak tahun 2009-2012.
Tujuan penetapan tersebut untuk melindungi warisan budaya takbenda yang dimiliki Indonesia agar tidak diakui negara lain. Penetapan dilakukan karena Indonesia telah meratifikasi Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage pada 2003 yang disahkan melalui PP Nomor 78 Tahun 2007.
Karya budaya yang ditetapkan adalah budaya takbenda yang ada di wilayah Indonesia sesuai dengan Konvensi UNESCO tahun 2013, di antaranya tradisi dan ekspresi lisan, seni pertunjukan, adat istiadat masyarakat, situs, dan perayaan-perayaan. Temasuk pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, serta kemahiran kerajinan tradisional.
Karya budaya dari Aceh yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia atau Nasional adalah Rencong dan Tari Saman. Sedangkan dari Sumatera Utara ada tiga yakni Gondang Sembilan, Tari Tortor, dan Rumah Adat Karo.
Setelah dinobatkan menjadi Warisan Budaya Nasional, tarian Tortor kemudian didaftarkan ke UNESCO agar diakui sebagai Warisan Budaya Dunia.
Namun untuk mendapatkan predikat itu, Tortor harus bersaing dengan sejumlah karya budaya dari beberapa negara lain.
Adapun Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang sudah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia sampai saat ini ada empat yakni Wayang dari Jawa pada tahun 2003, Keris dari Jawa dan Jogja (2005), Angklung dari Jawa Barat (2010), Tari Saman dari Aceh (2011), dan Noken dari Papua pada tahun 2012 lalu.
Irini menambahkan tujuan Laseda 2014 yang bertema “Merajut Simpul-Simpul Keindonesian di Tano Batak” ini untuk memberi wawasan nilai-nilai budaya dan peninggalan budaya serta sejarah yang ada di Kabupaten Samosir kepada seluruh peserta agar cakrawala pemahamannya tentang keberagaman sejarah dan budaya negeri ini khususnya yang ada di Kabuputen Samosir menjadi semakin luas.
“Dengan Laseda, pelajar yang ikut serta memperoleh pelajaran sejarah dan budaya dengan cara yang lebih menarik dan tidak membosankan, antara lain dengan diskusi tentang kesejarahan Batak, workshop Tortor, dan melakukan a trip to histotical sites atau lawatan ke situs-situs sejarah yang ada di Kabupaten Samosir,” jelasnya.
Laseda 2014 merupakan yang ke-13 kali. “Berarti sudah ada 13 kabupaten/kota yang menjadi terpilih menjadi lokasi penyelenggaraannya di dua provinsi, Aceh dan Sumut. Tahun lalu Kabupaten Gayo Lues dan Aceh Tenggara, Provinsi Aceh yang menjadi tempat penyelenggaraan tahun ini,” kata Irini.
Lokasi penyelenggaran Laseda, menurutnya memang selalu bergantian di Aceh dan Sumut. “Jika tahun ini di Sumut, tepatnya di Kabupaten Samosir, berarti tahun 2015 nanti di Aceh. Dengan ketentuan tidak ada perubahan dari pusat,” jelasnya.
Naskah & foto: adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Captions:
1. Para pelajar SMA dari Aceh dan Sumut antusias mengikuti Workshop Tortor dalam Laseda 2014 di Samosir, Sumut.
2. Puluhan peserta Laseda 2014 menarikan Tortor di obyek wisata Kursi Batu di Huta Silangan, Samosir, Sumut.
0 komentar:
Posting Komentar