. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Rabu, 19 Februari 2014

Tak Menginang di Papua Kurang Lengkap Rasanya

Ada dua hal menarik yang bisa Anda coba saat berwisata di  Papua, selain tentunya melihat keeksotisan alamnya. Pertama, mencoba mengenakan koteka (tapi ini khusus pria dan sebaiknya dipakai di tempat-tempat tertentu). Kedua, menginang (makan pinang). Nah, pilihan kedua tentu dapat dilakukan juga oleh wanita dan asyiknya bisa dimana-mana asal tidak meludah sembarangan. 

Mengapa harus menginang? Apa serunya? Mungkin begitu pertanyaan yang muncul di benak Anda. Jawabannya sederhana saja, karena di Papua menginang itu menjadi kebiasaan warganya sejak lama. Jadi terasa lebih seru.

Lho bukannya di daerah lain di Indonesia juga ada? Ya memang. Di Sumatera Utara khususnya masyarakat pegunungan di Karo, Tapanuli Utara (Taput), Tapanuli Selatan (Tapsel), dan Nias juga ada kebiasan serupa yang lebih dikenal dengan sebutan menyirih (makan sirih).

Begitupun masyarakat melayu di Kota Medan dan daeran lain. Kebiasaan itu juga terlihat dalam masyarakat Dayak di Kalimantan dan beberapa daerah lainnya serta beberapa orang Jawa terutama di daerah Brebes, Jawa Tengah.

Untuk menyirih biasanya dibutuhkan daun sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Ada juga yang mencampur cengkeh untuk menambah rasa. Di Karo, Taput, Tapsel dan Nias biasa menggunakan sirih saat pesta pernikahan. Kalau di Tapsel, Taput, dan Nias memakan sirih dicampur dengan pinang. Sedangkan di Karo dan Simalungun, makan sirih tanpa menggunakan pinang.

Dulu di Nias, pinang yang menjadi bahan dalam menyirih memiliki makna seorang pria akan meminang wanita. Bila seorang wanita memberi sirih kepada seorang pria itu tandanya si wanita menyenangi pria tersebut. Bila pria itu menerima sirih itu berarti dia mau dengan wanita itu dan mereka akan segera menikah.

Sementara dalam masyarakat Melayu, sirih sebagai lambang menyambut tamu dan perkawiann. Buktinya, dalam tarian menyambut tamu khas Melayu, penari perempuannya selalu membawa sebuah tepak yang di dalamnya berisi daun sirih dan teman-temannya untuk diberikan kepada tamu kehormatan.

Bukti lain dalam akad nikah Edhie Baskoro Yudhoyono (ibas) putra presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dengan Siti Rubi Aliya Rajasa (Aliya) putri Menteri Koordinator  Bidang Perekonomian, Hatta Radjasa yang asli orang Palembang beberapa waktu lalu, dilakukanlah Cicip Sirih dan Tukar Tepak Sirih yang merupakan bagian dari prosesi Buka Kandang Adat. Setelah berbalas pantun, masing-masing utusan mempelai saling bertukar dan mencicipi sirih, tanda saling menerima.

Tapi di daerah-daerah tersebut biasanya yang menyirih orang lanjut usia terutama nenek-nenek yang jumlahnya kian menipis. Jika dulu menyirih mengalami masa keemasan namun belakangan semakin memudar atau ditinggalkan. Kaum lelakinya sudah berpindah hati ke rokok sehingga orang yang menyirih semakin sedikit.

Nah, di Papua, tradisi menginang hingga kini justru masih semarak. Yang melakukannya juga dari berbagai kalangan usia, mulai remaja orang dewasa sampai orangtua. Yang menarik lagi, penjual sirih juga bertebaran di mana-mana, bukan hanya di pasar tradisional. Sirih dan pinang di Papua sudah seperti rokok kalau di pulau-pulau besar lain.

Kalau di daerah-daerah lain, menyirih hanya dilakukan sebagai kegiatan waktu senggang atau berkumpul. Tapi di ujung Timur Indonesia ini, menginang sudah seperti merokok saja. Dilakukan kapan saja, sebelum dan sesudah makan, sesuka hati.

Di Papua kita akan melihat lebih banyak orang menginang ketimbang merokok. Jadi jangan heran kalau di sana, terutama di Jayapura ada plang bertuliskan “Dilarang Meludah Sembarangan”, bukan larangan “No Smoking” sebagaimana kerap kita lihat di Jawa dan pulau lain.

Bukan cuma plang, di Papua juga ada stiker “Dilarang Makan Pinang” seperti terlihat di Bandara Sentani, Jayapura. Stiker tersebut ditempelkan di berbagai pilar dan sudut-sudut strategis di sekitar area ruang tunggu bandara.

Untuk menginang dibutuhkan buah pinang, sirih, kapur, gambir, dan tembakau. Menginang membuat kelenjar air ludah bertambah, jadi tidak heran bila Anda melihat orang yang makan pinang dan sirih akan sering membuang air liurnya yang berwarna merah yang ditimbulkan oleh sirih dan pinang yang dikunyah.

Seumur hidup saya belum pernah menyirih ataupun menginang, baru sewaktu berada di Papua setelah  melihat kebiasaan warganya, saya jadi tertarik mencobanya. Saya membeli sirih di pinggir jalan yang dijual seorang ibu. Daun sirih, pinang, gambir, dan kapur diletakkan di meja kecil. Penjual lainnya menempatkannya di atas karung yang digelar di bawah tanah. Harga setangkup sirih dan teman-temannya itu cuma Rp 5.000.

Ketika hendak menginang saya kebingungan bagaimana melakukannya. Setelah diberi tahu Andrew, pemuda setempat, akhirnya saya berhasil . Apa jadinya setelah itu? Saya merasa pening dan mual. Tapi kata Andrew, itu hal biasa bagi orang yang baru pertama kali menginang karena ada tembakau yang dicampur dalam sirih. “Nanti juga biasa dan ketagihan om,” ujarnya.

Buah Budaya 
Buah pinang yang Bahasa Latin disebut Areca Catechu L, bagi orang Papua merupakan buah budaya yang ada dalam keseharian. Orang Papua kerap saling  memberi buah pinang kepada sesama orang Papua dan suku lainnya sekalipun tidak saling mengenal. Tak heran buah ini juga disebut buah perkenalan. 

Buah ini juga punya peran penting dalam membantu pendapatan masyarakat Papua. Di sejumlah pasar dan pinggir jalan-jalan strategis banyak orang menjual buang pinang dan konco-konconya itu dengan harga yang bervariasai, mulai dari Rp 5.000 per tangkup berisi 5-7 buah pinang hingga Rp 10.000 untuk 15 buah pinang, tergantung besar-kecilnya pinang. 

Andrew adalah satu pemuda Papua yang gemar menginang. Dia dan teman-teman sebayanya bertekad mempertahankan budaya Papua ini. Pasalnya budaya serupa di Sumatera dan Kalimantan sudah kian luntur dan sulit ditemukan lagi, tergerus oleh beragam rokok, kopi dan lainnya. 

Dari sisi tradisi, budaya menginang sebaiknya patut dilestarikan bukan justru dijauhi, diremehkan apalagi dihilangkan. Stigma menginang di Papua itu jorok bisa berubah jika disediakan ruang khusus buat yang para penginang di tempat-tempat umum sebagaimana area khusus merokok bagi perokok. Dengan catatan penginangnya juga mentaati aturan itu dengan tidak menginang dan tidak membuang ludahnya di bukan pada tempatnya. 

Naskah & foto: adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com) 

Captions: 
1. Di Papua, tua muda menginang. 
2. Penjaja buah pinang di Papua.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP