. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Rabu, 16 Mei 2012

Jatuh Bangun Memburu Si Mata Biru



Lamno di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh memiliki obyek wisata sejarah Makam Poteumeureuhom Daya, seorang raja Kerajaan Daya sekaligus ulama ternama pada masanya yang ramai dikunjungi masyarakat lokal untuk berziarah dan merayakan tradisi Seumeulueng pada Hari Raya Idul Adha. Namun ketertarikan orang datang ke Lamno justru karena ingin melihat segelincir penduduknya yang berketurunan Portugis bermata biru, termasuk aku yang sejak dulu mendambanya hingga jatuh bangun memburunya.

Lamno pada abad 15 silam adalah dusun kecil di hulu Kreung (sungai) Raya, bagian dari Kerajaan Daya. Namanya ketika itu Lhan Na yang dihuni oleh bangsa Lhanun. Orang Aceh ketika itu menyebutnya “Lhan” atau bangsa Samang yang datang dari Semenanjung Malaka dan Hindia belakang seperti Burma dan Campa.

Orang Lhan saat itu masih berbaju kulit binatang dan kulit pohon dengan bermata pencarian berburu di hutan dan mencari ikan di sungai dan laut. Suatu ketika Raja Daya dengan pasukannya memeriksa daerah hulu sungai dan mendapati mereka yang ternyata sudah lama mendiami daerah tersebut hingga disebut orang Lhang Kana yang berarti orang yang sudah lama menetap di situ. Kemudian nama Lhang Kana berubah menjadi Lhan Na, dan ketika Belanda masuk ke Aceh, ucapannya berubah menjadi Lam No.

Pada suatu hari, sebuah kapal perang Portugis yang kalah perang dengan Belanda di Malaka (Malaysia dan Singapura sekarang ini), terdampar di daratan Desa Kuala Daya, Lamno karena mengalami kerusakan dalam perjalanannya ke negaranya.

Raja Daya cemas wilayahnya terancam. Dia memerintahkan tentaranya mengusir kapal perang Portugis itu dengan tembakan meriam-meriam besar hingga kapal perang itu tenggelam. Seluruh tentara Portugis dan awak kapalnya menyerah dan minta perlindungan dari Raja Daya, sambil menunggu datangnya kapal Portugis datang menjemput mereka.

Semuanya ditawan lalu dikurung di tempat berpagar tinggi. Lantaran bantuan yang mereka harapkan tak kunjung datang, ditambah begitu sulitnya berkomunikasi, akhirnya mereka tunduk kepada Raja Daya dan menyatakan masuk agama Islam.

Pascamualaf, mereka dibebaskan dari tahanan dan berbaur dengan masyarakat lokal. Selain belajar bercocok tanam, mereka pun belajar berbahasa Aceh, termasuk kebiasaan orang Aceh. Sampai akhirnya beberapa dari mereka ada yang menikah dengan perempuan setempat dan menghasilkan keturunan dengan fisik yang tentu berbeda dengan orang lokal.

Hasil keturunannya itulah yang kini disebut Si Mata Biru, dan sebagian lagi kecoklat-coklatan, khas mata orang Eropa. Kulitnya putih kebule-bulean, rambutnya pirang kekuning-kuningan, hidungnya mancung, dan tubuhnya rada jangkung. Secara kasat mata, profil fisik mereka berbeda dengan orang Aceh lainnya sehingga kerap mendapat perhatian dan sorotan bukan saja warga setempat, pun orang dari luar Lamno dan luar Aceh.

Lantaran itulah, mereka terutama perempuannya agak pemalu ketika didekati dan diajak mengobrol apalagi difoto oleh orang yang belum mereka kenal. Terkecuali tamu itu datang didampingi pak keucik (kepala desa) ataupun sanak-saudaranya. Mereka pun memilih bergaul dalam kelompoknya atau dengan orang desa yang mereka kenal baik.

Bahkan perkawinan pun kerap terjadi sesama turunan Portugis. Belakangan, karakter itu memudar. Mereka mulai terbuka dan berinteraksi dengan siapapun, karena mereka sadari bahwa mereka juga orang Aceh.

Bahasa Aceh yang mereka gunakan sehari-haripun sama dengan bahasa Aceh biasa, baik aksen maupun logatnya yakni logat Aceh Barat (dulu Lamno masih bergabung dengan Aceh Besar). Begitupun makanan utamanya tetap nasi, bukan roti atau gandum dengan lauk-pauk khas Aceh, seperti gule kari, mie Aceh, jagung, dan lainnya.

Sudah lama aku tertarik dengan keberadaan Si Mata Biru Lamno. Sewaktu kali pertama datang ke sana 2008 silam, kondisi Lamno masih porak-poranda dan akses jalannya pun masih rusak karena tersapu tsunami. Tak satupun jejak Si Mata Biru kutemukan. Lagi-lagi hanya kabar saja yang mengatakan jumlahnya kian berkurang karena banyak yang menjadi korban keganasaan tsunami 2004 lalu.

Sewaktu aku datang untuk kali kedua kali ke Lamno, awal Mei 2012 lalu selepas menjadi juri lomba rally foto Gayo Cultural Heritage yang diadakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Banda Aceh di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, ada banyak informasi yang aku peroleh mengenai keberadaan Si Mata Biru itu. Aku datang bersama 3 rekanku dari Banda Aceh yakni Yuzar Alamsyah, Irwandi, dan Mahdi yang sama-sama hobi memburu foto pemandangan dan kehidupan masyarakatnya.

Seorang pemilik rumah makan di Pasar Lamno mengatakan kalau mau melihat perempuan dan laki-laki dewasa bermata biru ini datang saja saban hari pasar ke Pasar Lamno.

“Saat itulah mereka berbelanja seperti masyarakat lainnya. Tapi sekarang sudah agak jarang karena banyak dari mereka yang menjadi korban tsunami. Kalau mau lihat si mata biru, tonjok aja matanya biar biru,” seloroh Ita pemilik rumah Makan K’Ita yang mengaku kerap ditanya tamu yang singgah di rumah makannya perihal keberadaan Si Mata Biru.

Hampir 1 jam duduk di rumah makan itu, dan sebelumnya sempat melewati pasar, tak satu pun aku bertemu Si Mata Biru. Apa benar, jumlah mereka menyusut pascatsunami seperti penjelasan Ita?

Sampai akhirnya ada pengunjung rumah makan itu, pria muda bernama Anwar yang menceritakan bahwa di Gampong (kampung)nya yakni Gampong Leupee masih ada 2 gadis bule bermata kecoklatan. “Uniknya ayah dan ibu dua gadis itu tidak bule,” akunya.

Rumah kedua gadis itu, lanjut Anwar kerap didatangi tamu yang ingin melihat atau mungkin meneliti asal usulnya. Kata Anwar lagi, di Pante (pantai) Cermin juga masih ada ibu-ibu yang bermata ibu tapi jumlahnya juga sedikit.

Semula kami ingin ke Pante Cermin. Tapi sewaktu Yuzar bertanya kepada beberapa orang Lamno dimana lokasi Pante Cermin, mereka menunjuk ke arah gunung bukan ke pesisir. Ternyata pantai yang dimaksud bukanlah pesisir pantai laut melainkan daratan di tepian sungai.

Rupanya, di Aceh termasuk di wilayah Sumatera lainnya, pantai itu bukan hanya di pesisir laut namun juga tepian di sungai. Karena itu kami jadi mengurungkan niat ke Pante Cermin dan memilih ke Makam Sulthan Alaiddin Riayat Syah atau Poteumeureuhom Daya bersama Anwar yang bersedia mengantar.

Senada dengan Ita, Anwar pun menjelaskan kalau keturunan Mata Biru di Lamno menyusut karena tersapu tsunami mengingat tempat tinggal mereka persis di tepi laut seperti di Kuala Onga, Kuala Daya, Lambeuso, dan Keuluang. Selain itu tersebar di Desa Lambeuso, Alue Mie, Jeumarem, Janggot, Ujong Uloh, Kuala Ongan, dan Mukhan. Penyebab menurunnya jumlah mereka karena terjadi perkawinan dengan orang Aceh dari daerah lain lalu mereka hijrah.

Sepulang dari makam, ada orang lain menyarankan aku ke rumah Jamaluddin yang biasa dipanggil Bang Puteh, karena kulitnya putih kemerah-merahan seperti orang bule. Lelaki yang dimaksud itu baru berusia 40 tahunan dan merupakan pria keturunan Portugis yang bermata kebiru-biruan. Dua anak Bang Puteh juga mirip bule sedang dua anaknya lagi yang tertua, fisiknya seperti orang Aceh umumnya. Sayang, hari kian senja.

Kami pun menolak ajakan Anwar untuk mendatangi 2 gadis bule yang ada di kampungnya. Satu yang pasti berdasarkan ceritanya, aku yakin masih ada sisa-sia Si Mata Biru keturunan Portugis di Lamno sampai detik ini sekalipun tak berhasil aku temui dan memotretnya langsung.

Bukan Cuma Mata Biru
Di Lamno yang berjarak 85 Km dari Banda Aceh arah ke Meulaboh juga terhampar pantai berpasir putih di kaki Gunung Geureutee yang berpanorama indah. Di sana juga masih ada tradisi perayaan adat Seumeulueng (suguhan makanan) untuk raja yang digelar setiap hari kedua Idul Adha.

Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1480 M sampai sekarang di Desa Glee Jon, Komplek Makam Poteumeureuhom Daya. Dulu jauh sebelum tsunami, pas perayaan adat itu, warga Lamno termasuk Si Mata Biru keluar rumah dengan mengenakan pakaian serba baru, suasananya mirip seperti Lebaran.

Sejumlah warga membawa makanan untuk raja dikawal belasan pengawal berpedang dengan mengenakan jubah hitam bergaris-garis merah yang menutupi kepala sampai dada bagian atas dan berlubang pada bagian mata untuk melihat. Mereka menuju sebuah bukit tak jauh dari Komplek Makam Poteumeureuhom Daya.

Hidangan yang mereka bawa dulu diberikan kepada Raja Daya, tapi sekarang diberikan kepada tokoh masyarakat Daya ataupun pejabat pemkab setempat.

Keberadaan Si Mata Biru itu pula yang membuat bangsa Portugal tetap menjalin hubungan baik dengan Lamno mengingat ada sejarah yang tertanam diantara keduanya di Bumoe Meureuhom Daya ini. Buktinya, pascatsunami lalu Portugal membangun sebuah Puskesmas berikut peralatan medis di Desa Glee Putoh senilai Rp3,5 miliar dan Madrasah Tsanawiyah (Rp1,1 miliar) serta Madrasah Aliyah (Rp3,3 miliar) di Desa Leupee, Kecamatan Jaya.

Tradisi Seumeulueng ditambah dengan situs Kerajaan Daya yang masih tersisa, berikut Makam Poteumeureuhom Daya merupakan daya tarik Lamno. Tapi Si Mata Biru tetap menjadi magnet utamanya kendati jumlah kini tak sebanyak sebelum tsunami mendera.

Karenanya pula hingga kini masih banyak orang yang bertandang ke Lamno termasuk turis asal Eropa, terutama dari Portugal yang dulu disebut Portugis. Salah satu alasannya mereka memburu keberadaan Si Mata Biru untuk melihatnya, sekadar menghilangkan rasa penasarannya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP