Depik (masih) Primadona Danau Laut Tawar
Pesona Danau Laut Tawar tak bisa dipungkiri mendatangkan pendapatan bagi masyarakat Takengon lewat kunjungan wisatawan. Sayangnya, itu jumlahnya masih amat minim dan belum dapat diandalkan. Penghasilan tambahan utama masyarakat setempat justru dari hasil tangkapan depik. Ikan asli penghuni danau ini hingga kini masih menjadi primadona Danau Laut Tawar sekalipun sejumlah warga belakangan membudidayakan bermacam ikan pendatang seperti bawal dan mujair.
Sinar matahari belum nampak. Udara dingin masih terasa menusuk. Tapi Riskan (32) sudah mulai mengambil satu per satu depik yang terjaring di eas atau jalanya yang berwarna hijau.
Ayah satu anak warga Kampung Teuron Toa, Kecamatan Lut Tawar rupanya tak mau menyiakan waktunya sedetikpun. Selepas jeumpa atau perahu sampannya merapat ke bibir danau, dia langsung mengambil ratusan ekor depik yang terjaring.
Hampir tiap hari Riskan melakukan pekerjaannya sebagai nelayan penjaring depik di Danau Laut Tawar yang berada di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.
Dari rumahnya pria berbadan sedang dan agak pendiam ini berangkat tengah malam menuju Danau Laut Tawar. Pukul 1 dini hari dia langsung melajukan perahu sampannya ke tengah danau. Depik hanya ada di tengah, jadi mau tak mau dia harus ke tengah untuk mendapatkan depik yang banyak.
Perjuangan tak sampai di situ. Dia pun harus bersaing dengan penjaring depik lain yang jumlahnya puluhan malam itu. Pukul 5 pagi Riskan kembali ke tepi danau untuk mengumpulkan depik yang sudah terjaring. “Alhamdulillah lumayan depik yang terjaring,””jelasnya sambil mengumpulkan depik di dasar sampannya, Minggu (29/4/2012).
Setiap hari, kalau lagi beruntung Riskan mendapatkan 5 bambu depik. Satu bambu sekitar 2 liter depik yang dijual seharga Rp 50.000. Dengan begitu dia mengantongi Rp 250ribu. Padahal modalnya untuk menjaring depik di tengah danau hanya membeli satu liter bensin untuk mesin perahu Rp 8.000. Untungngya jelas berlipat-lipat dengan catatan sudah memiliki jeumpa bermesin motor sendiri.
Keuntungan yang cukup besar dari menjaring depik, rupanya membuat warga yang tinggal di kampungnya termasuk di sejumlah kampung di tepi danan laut tawar masih mengandalkan keberadaan depik sampai saat ini sebagai mata pencaharian utama ataupun tambahan.
Di kampungnya saja, sekurangnya ada 20 penjaring depik. Sisanya petani kopi, padi, dan peladang. “Kalau di total semua dengan kampung-kampung lain mungkin ada ratusan nelayan depik,” terangnya.
Kalau tidak memiliki jeumpa sendiri, jalan keluarnya menyewa jeumpa lalu bagi hasil tangkapan. Pilihan lain membeli jeumpa dan mesinnya. Harga jeumpa tanpa mesin Rp 2juta kalau dengan mesin sekitar 3,5juta. Perahu sampan yang terbuat dari kayu jeumpa ini harus dipesan terlebih dulu oleh pembuatnya. Umur perahu ini mampu bertahan sampai 10 tahun.
Kalau harga depik lagi naik Rp 70.000 per bambu, penghasilan riskan jelas bertambah besar. Tapi terkadang harga depik juga turun sampai Rp 30.000 per bambu. Bahkan tidak setuipa hari dia bisa menjaring depik, mengingat ikan itu sulit didapat saat terang bulan. “Kalau terang bulan saya stop mencari depik selama 15 hari, di rumah saja,” akunya.
Begitupun saat musin angin kencang yang biasanya terjadi pada bulan Juli dan Agustus, dia pun tidak berani menjaring depik. Sehingga tidak mendapat penghasilan.
Untungnya kondisi lingkungan danau masih terpelihara kendati terjadi penurunan luas perairan danau untuk lahan sawah, rumah dan lainnya. “Sepanjang ini, belum pernah ada kasus ratusan depik mati karena keracunan atau dampak lainnya,” jelasnya.
Tumpuan Harapan
Di bibir danau itu, Riskan tidak sendiri. Ada beberapa nelayan penjaring depik lain yang tengah asyik mengambil ikan berukuran kecil itu dari jala masing-masing.
Tak lama berselang, beberapa pedagang depik yang mengendarai sepeda motor lengkap dengan dua drum plastik yang diisikan bongkah-bongkah batu es, satu per satu berdatangan. Mereka datang untuk membeli depik langsung dari Riskan dan penjaring lainnya. "Kalau beli langsung, depiknya masih segar dan saya bisa beli banyak," kata Amran salah seorang pedagang depik.
Aktivitas keseharian Riskan dan rekan-rekannya di tepi danau itu menarik perhatian sejumlah peserta lomba rally foto yang diadakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Banda Aceh, selama dua hari (28-29/4/2012) di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Mereka mengabadikan Riskan dan aktivitas penjaring depik lainnya berikut pesona panorama danau yang menawan.
Riskan yang tengah asyik bekerja, merasa tak terganggu, sekalipun bergantian fotografer memotretnya dari berbagai sudut. Dia terus saja mengambil depik dari jaringnya. Santai tapi nampak serius.
Riskan dan teman-temannya tidak menjual semua hasil tangkapannya. Dia menyisakan depik sedikit untuk dibawa pulang. Istrinya di rumah biasa mengolah depik sebagai lauk pauk. “Biasanya depik dibuat dedah yang diberi kunyit sehingga warnanya kuning, atau pengat, macemjing, dan balacan. Ada juga yang digioreng kering dengan tambahan sambal,” jelasnya.
Meskipun banyak warga membudidayakan ikan pendatang seperti bawal, mujair dan lainnya, Riskan tetap tak mau berpaling. Dia setia menjadi penjaring depik. Menurutnya depik masih menjadi primadona Danau Laut Tawar. Karenanya dia berani mengantungkan hidup dan masa depannya dari depik.
Kini tinggal bagaimana kearifan masyarakat di sekeliling Danau Laut Tawar menjaga lingkungan danau termasuk hutan di perbukitan sekitarnya. Bila lalai, bisa jadi depik kelak sulit ditemukan lagi. Dan bila itu benar terjadi, mati sudah tumpuan dan harapan Riskan dan penjaring depik lainnya.
Naskah & Foto: Adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar