Protes dalam Mastodon dan Burung Kondor Versi Ken Zuraida
Kendati naskah Mastodon dan Burung Kondor menyebut Spanyol sebagai setting tempat kejadian. Dan nama-nama pemainnya pun sangat berbau Amerika Latin. Sesungguhnya isi pesan pementasan teater ini mengkritisi arah dan kebijakan pembangunan di negeri ini. Semasa Rendra menyutradari dan memerankan tokoh utamanya, kritikan itu ditujukan kepada pemerintahan Soeharto. Kini ditangan Ken Zuraida sangat jelas kemana protes tersebut diarahkan.
Tanpa perlu dikatakan, tanpa perlu disebut namanya. Sangat jelas, begitu eksplisit ‘kemarahan’ yang dilontarkan dalam pementasan Mastodon dan Burung Kondor versi KenZuraida ini. Penonton yang hampir memenuhi kursi Graha Bakti Budaya (GBB), Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta semalam, Kamis (11/8/2011), rasanya sudah paham benar, orang, pihak, dan era yang ‘ditunjuk’ dalam pementasan itu.
Ya kemarahan atas ketidakberesan berbagai aspek kehidupan di era ini, baik pembangunan di bidang ekonomi, pendidikan, sosial, politik bahkan bidang kebudayaan.
Tapi entah kenapa. Greget protesnya terasa kurang. Bisa jadi karena apa yang diproteskan itu sebenarnya sudah terpapar dengan gamblang di sejumlah media massa. Tiap hari, koran, TV, online bahkan jejaring sosial ikut mengkritisinya. Dan ketika kembali tampilkan lewat media teater, rasanya jadi hambar.
Beda ketika, Rendra mementaskannya tahun 1973, . Ketika itu media massa bisa dihitung dengan jari. Orang belum sebebas seperti sekarang melontarkan ‘amarah’ atas ketimpangan yang dilakukan pemerintahan. Alhasil, pementasan itu dianggap sebagai wakil mereka yang tak bisa menyuarakan jeritan hatinya. Dan Rendra berhasil.
Buktinya, sebulan setelah pementasan di Istora Senayan, terjadi kerusuhan besar-besar di Jakarta sebagai bangkitnya kesadaran mahasiswa menentang cengkaraman modal atau kekuatan asing, yang kemudian mensejarah dan terkenal dengan Peristiwa 14-15 Januari 1974 atau MALARI. Beberapa media cetak menyebut pentas Mastodon dan Burung karya Rendra ketika itu turut memicu kesadaran para aktivis MALARI.
Akankah pementasan versi Ken Zuraida mampu begitu? Hmmm.. rasanya sulit. Eranya berbeda. Kondisi sosial-politiknya berbeda. Dan rasanya Ida, panggilan akrab Ken Zuraida memang bukan untuk itu mementaskan karya mendiang suaminya ini. Dia hanya ingin mengenang 2 tahun Rendra berpulang, sekaligus memperkenalkan karya suaminya itu kepada generasi kini.
Namun ada yang menarik . Ida tdak ikut-ikutan mengajak artis atau penyayi top dalam pementasan ini. Padahal belakangan ini banyak pementasan baik itu teataer atau keseniaan tradisional yang melakukan trik semacam itu.
Kendati tak ada bintang tamu spesial dalam pementasan ini, secara keseluruhan cukup menarik dilihat. Hanya ada beberapa bagian yang terlalu panjang dialognya sehingga bikin ngantuk.
Andai saja, Ida membuatnya lebih santai, lebih kekinian. Pementasan ini mungkin akan mengalir lebih rileks. Toh, mengritik itu tak mesti selalu tampil berat dan ngotot bukan, apalagi isi protes itu sudah menjadi rahasia umum, sudah jadi santapan sehari-hari masyarakat yang kadang memuakkan.
Pementasan teater Mastodon dan Burung Kondor versi Ken Zuraida ini masih akan berlangsung sampai tanggal 14 Agustus 2011, pukul 20.30 WIB.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar