Mengembalikan Kedamaian Poso dengan Sintuwu Maroso
Tak bisa dipungkiri konflik di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) beberapa tahun silam, membuat pariwisatanya terpuruk. Imej tidak aman terlanjur tertanam hingga wisatawan masih ragu berwisata ke Poso. Segala upaya pun dilakukan, misalnya dengan menggelar Festival Danau Poso. Namun imej tak sedap itu belum sepenuhnya sirna. Solusi terbaik apa untuk mengembalikan citra damai Poso?
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Bambang H. Suta Purwana, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Budpar, Kemenbudpar di Poso selama 10 hari pada Desember 2009 lalu, dia menemukan gambaran masyarakat Poso sebelum kerusuhan atau konflik.
Dalam hasil penelitian bertajuk "Sintuwu Maroso ri Tana Poso : Analisis Kapasitas Modal Sosial Masyarakat Poso dalam Membangun Integrasi Sosial Pasca Konflik", yang disampaikan di Jakarta, Selasa (28/6/2011), Bambang mengarisbawahi bahwa dahulu orang Poso hidup rukun, gotong royong, dan penuh toleransi antarpemeluk agama.
Dulu saat Natal, orang-orang Islam berkunjung mengucapkan selamat Natal kepada saudara, tetangga, dan sahabatnya yang beragama Kristen. Sebalikanaya ketika Lebaran, orang-orang Kristen pun mendatangi rumah orang-orang Islam untuk mengucapkan selamat Idul Fitri. “Pada pawai Natal, anak-anak Muslim banyak yang ikut bergabung dengan teman-temannya yang Kristiani,” jelasnya.
Namun kondisi itu berubah ketika terjadi konflik berdarah yang banyak pihak disebut-sebut sebagai ‘Perang Agama’. Sikap orang Poso berubah menjadi parsial, sektarian, dan intoleran apabila berhadapan dengan masalah hubungan sosial antarwarga berbeda agama.
”Masyarakat Poso pascakonflik menjadi “terbelah”. Masyarakat berbondong-bondong mencari wilayah yang aman dalam standar keagamaan mereka,” jelasnya.
Pascakonflik, lanjut Bambang terjadi segregasi penduduk hampir total. ”Orang Muslim mengungsi atau mengelompok di wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim di Poso Kota dan Poso Pesisir. Sedangkan orang Kristen juga mengelompok di wilayah “Kristen” di Tentena,” terangnya.
Yang lebih parah, pascakonflik meninggalkan prasangka dan hilangnya kepercayaan dalam masyarakat antarkelompok Islam dan Kristen. ”Saling diwaspadai dan mewaspadai lalu muncul istilah kitorang yanag berarti kita orang yang seiman atau seagama, dan istilah dorang yang berarti mereka yang beragama lain,” ungkapnya.
Menurut Bambang, kebersamaan masyarakat Poso yang bersifat lintas agama dan etnis dapat kembali dibangun dengan menerapkan filosofi budaya Sintuwu Maroso.
Penerapam filosofi tersebut antara lain melakukan tradisi tolong-menolong yang dilandasi rasa persaudaraan antarkerabat, tetangga, sahabat dan kenalan yang berakar pada tradisi suku bangsa Pamona ketika masih hidup sebagai peladang, ekonomi subsisten, masa pra-kolonial. Disamping itu menjalankan mosintuwu atau beraktivitas tolong menolong disebut dan menerapkan posintuwu atau saling menyumbangkan uang, binatang ternak atau pun barang.
Sintuwu Maroso sebagai model sosial pendekatan rekonsiliasi konflik di Poso, lanjut Bambang dapat berhasil dilakukan di ranah antarkerabat yang berbeda agama dan ranah hubungan ketetanggaan dalam satu kampung. ”Ketika dipakai sebagai pendekatan rekonsiliasi dalam skala antarkomunitas yang tidak saling mengenal secara pribadi akan gagal,” jelasnya mengiangat Sintuwu maroso berakar pada budaya Pamona sementara di Poso banyak suku bangsa lain yang berbeda entitas budayanya.
Kata Bambang, ada beberapa upaya bina perdamaian yang dapat dilakukan dari elemen masyarakat sipil di Poso, antara lain mengaktifkan peran pedagang dan pembeli di pasar tradisional terutama perempuan untuk menjalin interaksi antarwarga berbeda agama.
Jaringan tokoh-tokoh agama moderat harus berinisiatif melakukan kunjungan persahabatan ke komunitas-komunitas yang berbeda agama. ”Mereka membentuk jaringan early warning system untuk menerangkan akibat tindak kekerasan lintas agama,” jelasnya.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membuat program temu anak-anak korban konflik. Dan organisasi olah raga tingkat kampung melakukan pertandingan persahabatan antarkampung yang “berbeda agama”
Dengan menerapkan kembali filosofi Sintuwu Maroso sebagai model pendekatan rekonsiliasi konflik di Poso, diharapkan masa depan Poso damai, dalam artian berkembangnya masyarakat sipil yang kuat berupa organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang inklusif.
”Masyarakat yang memiliki kemampuan keswasembadaan dan keswadayaan, serta kemadirian yang tinggi sehingga tidak terkooptasi oleh kekuatan politik dan ekonomi tertentu,” jelas Bambang yang Minggu depan akan meneliti kearifan lokal orang Samelue, Aceh dalam mengatasi tsunami.
Pesona Danau Poso
Bila kondisi dan citra damai sudah tercipta di Poso, wisatawan dengan sendirinya akan datang kembali ke Poso untuk berwisata ke sejumlah obyeknya seperti Danau Poso dan lainnya.
Danau seluas sekitar 32.000 hektar ini membentang dari Utara ke Selatan sepanjang 32 Km dengan lebar 16 Km dan kedalaman mencapai 510 meter. Danau yang berada pada ketinggian 657 meter di atas permukaan laut ini, memiliki keunikan berupa pantai berpasir putih dan kuning keemasan serta bergelombang seperti air laut.
Panoramanya sekelilingnya sangat indah. Ada perbukitan dan hutan yang berdiri dan memagari danau. Udaranya sejuk menyegarkan dan air danuanya jernih.
Danau yang berada di Kota Tentena, Kabupaten Poso, Sulteng ini letaknya sangat strategis di lintasan perjalanan Trans Sulawesi antara Toraja, Poso, Gorontalo, dan Manado. Karenanya kerap disinggahi wisatawan sebelum terjaadi konflik. Danau ini dapat dicapai dengan perjalanan darat 57 Km dari Kota Poso atau 283 Km dari Kota Palu, Ibukota Sulteng.
Untuk menjaring wisatawan kembali ke danau yang menjadi ikon wisata Kabupaten Poso ini, setiap tahun Pemprov Sulteng menggelar Festival Danau Poso. Event budaya ini menyuguhkan bermacam pertunjukan kesenian daerah dari kabupaten/kota se-Sulteng, pameran kerajinan dan kuliner khas Sulteng, serta atraksi olahraga tradisional dan permainan rakyat setempat.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Dok. Kemenbudpar
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Bambang H. Suta Purwana, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Budpar, Kemenbudpar di Poso selama 10 hari pada Desember 2009 lalu, dia menemukan gambaran masyarakat Poso sebelum kerusuhan atau konflik.
Dalam hasil penelitian bertajuk "Sintuwu Maroso ri Tana Poso : Analisis Kapasitas Modal Sosial Masyarakat Poso dalam Membangun Integrasi Sosial Pasca Konflik", yang disampaikan di Jakarta, Selasa (28/6/2011), Bambang mengarisbawahi bahwa dahulu orang Poso hidup rukun, gotong royong, dan penuh toleransi antarpemeluk agama.
Dulu saat Natal, orang-orang Islam berkunjung mengucapkan selamat Natal kepada saudara, tetangga, dan sahabatnya yang beragama Kristen. Sebalikanaya ketika Lebaran, orang-orang Kristen pun mendatangi rumah orang-orang Islam untuk mengucapkan selamat Idul Fitri. “Pada pawai Natal, anak-anak Muslim banyak yang ikut bergabung dengan teman-temannya yang Kristiani,” jelasnya.
Namun kondisi itu berubah ketika terjadi konflik berdarah yang banyak pihak disebut-sebut sebagai ‘Perang Agama’. Sikap orang Poso berubah menjadi parsial, sektarian, dan intoleran apabila berhadapan dengan masalah hubungan sosial antarwarga berbeda agama.
”Masyarakat Poso pascakonflik menjadi “terbelah”. Masyarakat berbondong-bondong mencari wilayah yang aman dalam standar keagamaan mereka,” jelasnya.
Pascakonflik, lanjut Bambang terjadi segregasi penduduk hampir total. ”Orang Muslim mengungsi atau mengelompok di wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim di Poso Kota dan Poso Pesisir. Sedangkan orang Kristen juga mengelompok di wilayah “Kristen” di Tentena,” terangnya.
Yang lebih parah, pascakonflik meninggalkan prasangka dan hilangnya kepercayaan dalam masyarakat antarkelompok Islam dan Kristen. ”Saling diwaspadai dan mewaspadai lalu muncul istilah kitorang yanag berarti kita orang yang seiman atau seagama, dan istilah dorang yang berarti mereka yang beragama lain,” ungkapnya.
Menurut Bambang, kebersamaan masyarakat Poso yang bersifat lintas agama dan etnis dapat kembali dibangun dengan menerapkan filosofi budaya Sintuwu Maroso.
Penerapam filosofi tersebut antara lain melakukan tradisi tolong-menolong yang dilandasi rasa persaudaraan antarkerabat, tetangga, sahabat dan kenalan yang berakar pada tradisi suku bangsa Pamona ketika masih hidup sebagai peladang, ekonomi subsisten, masa pra-kolonial. Disamping itu menjalankan mosintuwu atau beraktivitas tolong menolong disebut dan menerapkan posintuwu atau saling menyumbangkan uang, binatang ternak atau pun barang.
Sintuwu Maroso sebagai model sosial pendekatan rekonsiliasi konflik di Poso, lanjut Bambang dapat berhasil dilakukan di ranah antarkerabat yang berbeda agama dan ranah hubungan ketetanggaan dalam satu kampung. ”Ketika dipakai sebagai pendekatan rekonsiliasi dalam skala antarkomunitas yang tidak saling mengenal secara pribadi akan gagal,” jelasnya mengiangat Sintuwu maroso berakar pada budaya Pamona sementara di Poso banyak suku bangsa lain yang berbeda entitas budayanya.
Kata Bambang, ada beberapa upaya bina perdamaian yang dapat dilakukan dari elemen masyarakat sipil di Poso, antara lain mengaktifkan peran pedagang dan pembeli di pasar tradisional terutama perempuan untuk menjalin interaksi antarwarga berbeda agama.
Jaringan tokoh-tokoh agama moderat harus berinisiatif melakukan kunjungan persahabatan ke komunitas-komunitas yang berbeda agama. ”Mereka membentuk jaringan early warning system untuk menerangkan akibat tindak kekerasan lintas agama,” jelasnya.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membuat program temu anak-anak korban konflik. Dan organisasi olah raga tingkat kampung melakukan pertandingan persahabatan antarkampung yang “berbeda agama”
Dengan menerapkan kembali filosofi Sintuwu Maroso sebagai model pendekatan rekonsiliasi konflik di Poso, diharapkan masa depan Poso damai, dalam artian berkembangnya masyarakat sipil yang kuat berupa organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang inklusif.
”Masyarakat yang memiliki kemampuan keswasembadaan dan keswadayaan, serta kemadirian yang tinggi sehingga tidak terkooptasi oleh kekuatan politik dan ekonomi tertentu,” jelas Bambang yang Minggu depan akan meneliti kearifan lokal orang Samelue, Aceh dalam mengatasi tsunami.
Pesona Danau Poso
Bila kondisi dan citra damai sudah tercipta di Poso, wisatawan dengan sendirinya akan datang kembali ke Poso untuk berwisata ke sejumlah obyeknya seperti Danau Poso dan lainnya.
Danau seluas sekitar 32.000 hektar ini membentang dari Utara ke Selatan sepanjang 32 Km dengan lebar 16 Km dan kedalaman mencapai 510 meter. Danau yang berada pada ketinggian 657 meter di atas permukaan laut ini, memiliki keunikan berupa pantai berpasir putih dan kuning keemasan serta bergelombang seperti air laut.
Panoramanya sekelilingnya sangat indah. Ada perbukitan dan hutan yang berdiri dan memagari danau. Udaranya sejuk menyegarkan dan air danuanya jernih.
Danau yang berada di Kota Tentena, Kabupaten Poso, Sulteng ini letaknya sangat strategis di lintasan perjalanan Trans Sulawesi antara Toraja, Poso, Gorontalo, dan Manado. Karenanya kerap disinggahi wisatawan sebelum terjaadi konflik. Danau ini dapat dicapai dengan perjalanan darat 57 Km dari Kota Poso atau 283 Km dari Kota Palu, Ibukota Sulteng.
Untuk menjaring wisatawan kembali ke danau yang menjadi ikon wisata Kabupaten Poso ini, setiap tahun Pemprov Sulteng menggelar Festival Danau Poso. Event budaya ini menyuguhkan bermacam pertunjukan kesenian daerah dari kabupaten/kota se-Sulteng, pameran kerajinan dan kuliner khas Sulteng, serta atraksi olahraga tradisional dan permainan rakyat setempat.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Dok. Kemenbudpar
0 komentar:
Posting Komentar