Suatu Siang di Gedung Joang
Siang itu Gedung Joang’ 45 tetap berdiri anggun seperti biasa. Gedung bekas Hotel Schomper 1 ini masih tetap seperti dulu dengan 6 pilar bergaya Eropa yang kokoh menyangga atap depannya. Namun siang itu, atmosfir petualangan begitu mencuat di gedung yang berdiri tahun 1938 ini. Ada apa gerangan?
Selain atmosfir yang tak biasa itu. Minggu siang di awal Mei, pengunjung Gedung Joang 45 juga nampak berbeda. Wajah-wajah para pegiat wisata, pecinta alam, petualang, dan backpacker datang silih berganti sejak pagi hingga malam.
Mereka yang datang bukan cuma warga Jakarta dan sekitarnya tapi juga dari Eropa dan Malaysia. Ada yang datang sendiri, berdua dengan pasangan atau rekan, ada juga yang berkelompok. Parkiran di depan gedung ini pun dipenuhi mobil dan sepeda motor. Bahkan ada yang parkir di jalan dan halaman gedung sebelah.
Siang itu mereka datang bukan ingin menikmati koleksi gedung itu yang sejak 1974 berganti nama menjadi Muesum Joang 45. Tujuan mereka satu, ingin menikmati kegiatan pameran JUST (Jelajah Untuk Surga Tersembunyi) Travellers @ Weekend yang berlangsung sejak sehari sebelumnya.
Pameran yang rancang Vidyakara Indonesia, kumpulan dari penggiat dan penikmat wisata ini membuat atmosfir geduang ini berubah hangat. Suasana keakraban dan kekeluargaan khas anak-anak alam, begitu terasa siang itu.
Tepat di halaman belakang Museum Joang 45 ini, sejumlah stan sedeharna yang menawarkan aneka perlengkapan kegiatan alam bebas untuk mendaki gunung seperti sandal lapangan, sepatu gunung, ransel, raincoat, kaos, celana dan kemeja lapangan, diserbu para pengunjung yang nota bene para pegiat alam bebas. Maklum harganya lebih miring dibanding harga toko atau pesan secara online.
“Harga barang yang kami jual di pameran ini bisa beda Rp 100 ribu-150 ribuan per item. Soalnya penyelanggara bilang, harganya kalau bisa dimurahin,” jelas Iriel pedagang perlengkapan outdoor lewat internet yang ikut dalam pameran ini.
Bukan cuma bazaar yang diserbu pengunjung, di sudut lain mereka juga menikmati pameran fotografi yang memajang foto-foto keindahan alam Indonesia yang jarang terekspos. Seorang perempuan backpacker asing asal Eropa nampak serius melihat dan mencatat judul foto-foto yang dipamerkan.
Siang itu, beberapa pengunjung juga nampak asyik mengikuti workshop underwater photography oleh Teguh Tirta, dan bedah buku Mountain Climbing For Everybody (MCFE) oleh penulisnya Harley Bayu Sastha serta aksi panjat dinding.
Hari sebelumnya juga ada beberapa workshop lain yang bertujuan untuk menambah ilmu dan pengetahuan tentang dunia wisata dan pecinta alam seperti video travelling dokumentasi oleh Nunu Nugroho, diving oleh Jhon Sijabat, bedah foto eksebisi oleh Arbain Rambe, dan travel journal writing oleh Teguh Sudarisman.
Di pameran yang bertujuan untuk memperkenalkan surga-surga yang tersembunyi di negeri ini, juga membagikan sejumlah doorprizes kenang-kenangan dari penyelenggara.
Sayangnya, hanya segelincir media yang meliput acara ini. Andai saja penyelenggara mengadakan jumpa pers dengan sejumlah media yang konsen di pariwisata, pasti gaungnya akan lebih luas diterima masyarakat dan pastinya yang datang jauh lebih banyak. “Awalnya kami ingin mengadakan preskon, tapi karena keterbatasan waktu akhirnya acara tersebut ditiadakan,” aku Devi salah seorang panita.
Kendati begitu, pameran ini berhasil membuat suasana Gedung Joang siang itu terasa lebih hidup. Seakan pameran itu menjadi wadah ajangsana serta temu kangen para pegiat wisata dan pecinta alam yang mungkin sudah lama tidak bersua.
Iwoe misalnya, perempuan Indonesia yang tinggal dan bekerja di perusahaan minyak di Malaysia, meluangkan waktu datang untuk menikmati pameran ini bersama Tuti, temannya. Sebelumnya dia bermalam di salah satu hotel di Jalan Gatot Subroto. Anggota komunitas pegiat alam KembaraTropis ini mengaku datang ke JUST Travellers khusus untuk melihat bedah buku MCFE sekaligus bertemu rekan lama sesama serdadu KembaraTropis.
“Senang banget bisa ketemu teman sekomunitas dulu, setelah jutaan tahun nggak ketemu,” ungkapnya kepada Travelplusindonesia usai memborong topi, kaos berwarna merah berlabel I Love RI, dan belasan souvenir bertulisankan I’m Indonesian di salah satu stan sebagai oleh-oleh untuk rekan kerjanya di negeri Jiran itu.
Sekali lagi, kendati pengunjung JUST Travellers yang datang ke Gedung Joang siang itu bukan untuk menikmati koleksi museumnya, namun secara tidak langsung kegiatan ini turut menggaungkan nama gedung yang pernah digunakan oleh Kelompok Menteng 31 antara lain Sukarni, Chaerul Saleh, A.M. Hanafi, dan Adam Malik ini.
Semestinyalah, gedung tua dan bersejarah lainnya membuka pintu untuk tempat pameran dan sejenisnya, agar fungsinya lebih luas dan sekaligus menggaungkan namanya sebagaimana dilakukan Museum Joang 45 ini.
Sebagai informasi, Museum Joang 45 yang berada di Menteng Raya 31, Jakarta Pusat, dibuka setiap Hari Selasa s/d Minggu, pukul 9.00 s/d 15.00 WIB dengan tiket masuk Rp 2.000/orang dewasa.
Koleksi yang dapat dilihat antara lain foto-foto para pejuang, patung, maket, film perjuangan, perlengkapan perang, mesin jahit dan celana panjang yang pernah dipakai Bung Karno saat membacakan teks proklamasi, serta Mobil REP 1 dan REP 2 yang pernah dipakai sebagai mobil dinas Presiden dan Wapres RI pertama.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar