Mendaki 9 Gunung Jawa Barat Lewat Buku
2 Mei 2010
For Adji...
“Thx mas udah memberi pelajaran berharga tentang penulisan...mohon masukan”.
Begitu tulisan tangan Harley Bayu Sastha yang ditorehkan dengan pena tinta biru di halaman pertama buku karyanya yang berjudul Mountain Climbing For Everybody Panduan Mendaki Gunung. Buku yang dibelikan rekanku di pameran Jelajah Untuk Surga Tersembunyi (JUST) Travellers @ Weekend di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat (2/5) itu juga dibubuhi tandatangan dan namanya.
Membaca tulisan tangannya itu, mencermikan si penulis yang mencoba mengkhususkan di bidang penulisan pendakian gunung ini adalah pribadi yang rendah hati. Tulisan itu membuktikan pula bahwa dia berusaha ingin seperti penggalan puisinya yang tercantum di dalam buku tersebut “...Berdiri di puncak gunung, meruntuhkan segala kesombongan pada diriku...”.
Sejatinya pendaki haruslah seperti itu. Mengubur keakuan dan keangkuhan adalah tujuan utama dari pendakian itu sendiri, bukan semata mengusung dada kebanggaan dan kepuasan atas keberhasilan menggapai pucuk-pucuk bumi itu.
Dan sejatinya penulis harusnya pun begitu. Memberikan sejujurnya apa yang diketahui, dirasakan, dan dialaminya lewat tulisan, tanpa lupa meminta masukan guna menambah, memperkaya, dan menyempurnakan tulisan-tulisan untuk buku terbitan berikutnya kelak.
Sebelum membuka dan membaca buku ini, saya menduga pasti isinya berisi informasi awal pendakian gunung seperti beberapa buku panduan mendaki gunung lainnya. Sebagai 'bekal' pengantar orang untuk mendaki gunung yang benar dan nyaman, tak lebih dari itu. Dan ternyata dugaan itu benar.
Buku setebal 264 hal ditambah galeri foto ini berisi panduan bagaimana mendaki 9 gunung di Jawa Barat, yakni Gunung Gede, Pangrango, Ceremai, Salak, Cikurai, Papandayan, Guntur, Burangrang, dan Gunung Halimun, hasil pendakiannya selama beberapa tahun plus data skunder dari berbagai sumber.
Pra mengurai satu-persatu gunung tersebut, penulis yang juga pengurus Federasi Mountaineeering Indonesia (FMI) ini mencantumkan informasi singkat persiapan dan tips seputar pendakian gunung dari hal 9 s/d 27. Sayang penyajian tulisan terasa kaku dan terkesan menggurui. Andai saja, ditulis dalam bentuk bertutur atau bercerita pasti lebih lentur dan bersahabat, apalagi bila ditambah dengan gambar misalnya foto peralatan pendakian gunung dan lainnya.
Tulisan sekilas Jawa Barat di hal 30 s/d 39 terasa mubazir. Andai penulis mengganti tulisan tersebut untuk menambah tulisan masing-masing gunung dengan informasi mengenai legenda, sejarah keaktifannya atau hal-hal menarik seputar kebiasan unik masyarakat yang tinggal kaki gunung-gunung tersebut, pastinya jauh lebih menarik dan punya nilai lebih.
Sebagaimana panduan mendaki gunung, infomasi ke-9 gunung dalam buku yang kata pengantarnya ditulis oleh Herman O.Lantang- salah seorang pendiri MAPALA UI ini hanya berisi profil gunung dan informasi bagaimana mendaki gunung-gunung tersebut di jalur pendakian yang sudah tersedia, berikut pos-pos pendakiannya, obyek menarik di gunung dan sekitarnya serta peta rute pendakian sederhana.
Andai saja penulis menulisnya dengan gaya bercerita dan dibubuhi dengan sisi-sisi lain buah pengalaman pendakiannya sebagaimana yang dilihat, dirasakan, dialami, dan didengarnya baik itu hal yang indah, seram, sulit, takjub, dan lainnya, pasti tulisannya jauh lebih ‘hidup’, dalam, dan berwarna.
Sayangnya lagi, foto gunung yang dimuat hitam putih sehingga tak memunculkan keindahannya. Terutama foto Gunung Cikurai hal 166-167, gelap sekali tak sesuai dengan caption-nya yang bertuliskan “Kendahan Sebuah Kerucut Raksasa”. Boleh saja hitam putih, asal masih menampilkan keindahan dan karakter gunung tersebut.
Pencantuman tiga puisi karya si penulis berjudul “Berdiri di Puncak Gunung” yang ditulisnya di Puncak Selatan Gunung Raung pada 2005, “Rindu Nyanyian Alam “(Bogor-2006), dan “Mandalawangi” (alun-alun Mandlawangi-2006) terkesan ingin memberitahukan kepada pembaca bahwa penulis adalah pendaki yang juga berjiwa seni. Penulis seolah ingin bilang bahwa di gunung pun seorang pendaki dapat berkreasi menciptakan sesuatu. Kebetulan si penulis bisa menulis puisi, lalu mencatumkannya dalam buku ini. Itu sah-sah saja, meskipun hanya sebatas pemanis.
Sampul muka buku ini memang nampak elegan dengan warna putih awan berkombinasi biru langit. Tapi kalau diperhatikan lebih detail, terasa ada yang ganjil. Gambar pendaki gunung di cover depan buku ini dengan berjaket biru, berpenutup kepala warna senada, lengkap dengan kacamata khusus besar serta tali karmantel yang melilit di badannya lebih terkesan seperti pendaki gunung bersalju, bukan pendaki yang mendaki ke-9 gunung tropis yang dibahas dalam buku ini.
Pemberian judul buku ini dalam Bahasa Inggris juga meninggalkan pertanyaan. Apakah karena tuntutan pasar biar lebih gaya dan menarik pembeli? Apa benar kalau buku ini mengunakan judul berbahasa Indonesia, jadi ‘murahan’? Dengan penggunaan bahasa asing dalam buku ini seolah-olah meniru judul-judul film kita yang juga banyak berbahasa Inggris. Justru penggunaan bahasa asing itu memberi kesan kita tidak percaya diri dan tidak menghargai bahasa sendiri.
Lepas dari semua itu. Buku terbitan Hikmah (PT Mizan Publika) ini jelas sangat membantu pendaki pemula atau masyarakat awam yang ingin mendaki gunung kendati tak beda jauh dengan buku-buku panduan gunung yang telah lebih dulu hadir.
Upaya Harley memperkenalkan dan mengajak orang untuk menikmati gunung-gunung di Jawa Barat khususnya lewat buku ini patut dihargai dan didukung.
Indonesia masih membutuhkan penulis-penulis yang segar, kreatif, dan menarik untuk mempromosikan kekayaan, keindahan dan kekhasan alamnya (gunung, gua, air terjun, hutan belantara, dan sebagainya) ke dalam bentuk buku maupun wadah lain (blog, buletin, dsb) agar orang lain dapat menikmatinya pula.
Masih banyak yang bisa digali dan ditulis mengenai pendakian gunung-gunung populer maupun yang tidak terkenal dengan menitikberatkan pada sisi-sisi lain, misalnya dari geologinya, flora-faunanya, potensi kepariwisataannya, ataupun petulangan membuka jalur pendakian terbaru. Dan, Harley adalah segelincir pendaki yang baru saja memulai menuliskan buah pendakiannya di jalur umum dalam bentuk buku panduan, sesuai gaya dan kemampuannya.
Ayo mendaki gunung dan menulislah!
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar