Sekotak Cinta dari Negeri Stroberi
Bila cinta diungkapkan dengan bunga, mawar merah pastinya. Tapi bila dengan buah, sekotak stoberi tentunya.
Begitu garis merah pembicaraan antara Juwita dengan Moura di kebun stroberi milik Asep di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pagi itu. Pembicaraan itu keluar dari dasar hati perempuan tentang kisah asmara dengan lelaki pilihan yang kini mengisi ruang jiwa mereka masing-masing. Obrolan ringan namun dalam itu tentang perasaan dan harapan mereka di antara kabut yang masih belum rela diusir bias mentari Gunung Patuha. Perbincangan mereka itu terbawa angin dingin yang mengalir sepoi-sepoi hingga terekam telinga ini.
“Anton sering kali kasih aku mawar merah sebagai tanda cinta. Nah, sekarang giliran aku bawain oleh-oleh sekotak stroberi sebagai simbol cintaku yang besar buatnya. Kalau panjaga hatimu, si Andre gimana?” kata Juwita diakhiri sebuah pertanyaan menyelidik buat Moura.
“Andre tidak seromantis pria idamanmu. Tapi aku yakin dengan cintanya. Meskipun dia pelit mengungkapan rasa itu dengan benda apalagi bunga tapi setidaknya dia pernah mengatakannya langsung. Dan itu sudah cukup buatku lega dan bahagia. Meskipun sebenarnya aku berharap dia bisa romantis dengan memberiku bunga mawar juga,” terang Moura sambil memetik stroberi yang kemudian dimasukkan ke dalam keranjang rotan kecil yang dipegang Juwita.
Mendengar suara hati Moura itu, wajah Juwita mencuatkan rona sedikit keheranan. Rupanya dia tak mengira sahabatnya yang berkarakter tomboy dengan rambut pendek itu punya sisi feminin juga.
Perbincangan dua perempuan cantik berusia duapuluhlimaan itu makin mendalam. Sampai-sampai kehadiran pengunjung lain yang baru datang di kebun stroberi itu, tak membuat mereka berpaling sedikitpun. “Jangan-jangan kehadiranku sejak tadi pun sama sekali tak mereka hiraukan,” kataku dalam hati agak kesal.
“Aku punya ide,” kata Juwita tiba-tiba. “Kamu bawain aja sekotak stroberi ini buat Andremu. Siapa tahu hatinya tersentuh dan berubah lebih romantis,” ujar Juwita yang tampil manis bak peri dengan rambut hitam panjang terurai, mengenakan rok bermotif kupu-kupu.
Mendengar saran brilian sahabatnya itu, Moura yang berperawakan tinggi dengan pakaian casual sporty sempat kaget. “Aduh, kenapa aku nggak kepikiran kesitu yah,” katanya sambil memandang Juwita. “Kamunya juga sih kebangetan tomboy, sekali-kali kasih surprise menyenangkan buat orang terkasih dong. Nggak salah kan tomboy tapi ngarep pangeran romantis,” goda Juwita sambil tertawa disambung tawa panjang Moura yang membuat aku dan beberapa pengunjung lain mengarahkan pandangan ke mereka.
Petik Sendiri
Ciwidey kian terang tapi hawa sejuk terus berlanjut. Suhu seperti itu pula yang membuat sebagain besar tanahnya yang berlembah dan berbukit didominasi perkebunan stroberi. Selepas alun-alun Ciwidey hingga di ujung bukit dekat Resort Patuha, tersebar beberapa perkebunan stroberi yang oleh pemiliknya sekaligus dijadikan obyek agrowisata. Itu yang terlihat dari depan jalan utama, belum lagi perkebunan stroberi yang berada di bagian dalam desa yang jumlahnya ratusan hektar.
Saat melintasi jalan itu, hamparan perkebunan stroberi begitu mendominasi selain perkebunan sayur mayur seperti kol dan bawang. Namun tetap saja kehadiran stroberi begitu mencolok, hingga dalam hati terbersit kata, “Ciwidey negeri stroberi”. Di beberapa perkebunan stroberi di sepanjang jalan utama itu, terlihat sejumlah pengunjung yang datang dalam kelompok kecil, satu keluarga atau bahkan rombongan yang tengah asyik memetik sendiri stroberi.
Entah sejak kapan penduduk Ciwidey menjadikan stroberi sebagai salah satu komoditas utama perkebunan mereka. Yang jelas menurut beberapa petani yang aku temui di sana, Ciwidey sudah sejak lama dikenal sebagai sentra penghasil buah kecil berbentuk hati itu. Menurut Asep, dia mejadi petani stroberi melanjutkan usaha kakek dan ayahnya yang sudah almarhum. “Saya jadi petani stroberi turun-temurun. Dulu perkebunan stroberi milik kakek ada di seberang sana yang kini menjadi villa milik orang Jakarta. Sekarang, tinggal perkebunan ini bekas milik orang tua saya,” jelas Asep seraya menunjuk sebuah villa mungil yang halamannya juga ditanami stroberi dan berbagai bunga hias.
Seiring harumnya nama stroberi Ciwidey, membuat wisatawan yang datang semakin banyak, terutama pada akhir pekan dan liburan sekolah. Mereka yang datang bukan cuma warga Kota Bandung dan Jakarta saja. “Beberapa turis asing juga pernah bertandang ke sini, petik stroberi,” aku Asep. Kehadiran para penikmat buah mungil merah ranum itu tak bisa disangkal ikut memompa perekonomian penduduk Ciwidey. Mereka bukan hanya menjual agrowisata dengan konsep petik sendiri melainkan juga membuat souvenir dan oleh-oleh yang masih beraromakan stroberi.
Di sepanjang jalan utama Ciwidey misalnya, banyak kios sederhana yang menjual aneka cenderamata berupa bantal, pin dan bross berbentuk stroberi berwarna merah mudah dan marun. Selain itu ada sirup, selai, dan dodol dari stroberi dengan harga bervariasi. Bahkan ada beberapa lokasi agrowisata stroberi yang lengkapi dengan café bermenu aneka kue berbahan dasar stroberi dan minuman segar menyehatkan, jus stroberi.
Kunjungan wisatawan yang kian meningkat tiap tahun membuat Ciwidey kian berdenyut. Dampak positifnya, banyak warga setempat terutama para ‘penggede’ dari Bandung dan Jakarta yang berlomba membuat penginapan. Di sepanjang jalan utama Ciwidey misalnya ada beberapa hotel, villa dan penginapan kelas melati yang kian menjamur dan fullbook setiap musim liburan.
Dampak negatifnya, lahan perkebunan stroberi Ciwidey yang dulu mendominasi sepanjang jalan utama itu semakin menyusut. Data akurat penyusutan itu memang belum jelas. Namun menurut Asep, banyak penduduk membuka lahan baru di dalam desa, di lereng-lerang bukit. “Rasanya perkebunan stroberi di Ciwidey bukan menyusut tapi justru bertambah. Cuma lahan hutan jadi semakin menyusut karena dibuka untuk perkebunan itu,” terangnya.
Mungkin karena hutan di bukit dan gunung sekitar Ciwidey sudah berubah fungsi, mengakibatkan longsor seperti terjadi di Pasirjambu, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jabar baru-baru ini. Bencana itu mengubur hidup-hidup puluhan korban. Memilukan.
Di kebun stroberi milik Asep, dua perempuan Juwita dan Moura masih asyik berbicara seraya tangan-tangannya memetik buah mungil yang menggoda. Kini giliran Juwita yang memetik stroberi lalu memasukkannya ke keranjang yang dipegang Moura. Rupanya Moura menyetujui saran karibnya itu untuk memberikan hadiah sekotak cinta dari negeri stroberi buat kekasih hati.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji-travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar