Masjid Tua Madura Jadi Tempat Sumpah Pocong
Madura memiliki sejumlah tinggalan sejarah yang beragam. Ada Masjid, benteng, mercusuar, makam, sumur, dan tentu saja keraton. Khusus masjid, di Pulau penghasil garam ini ada yang arsitekturnya merupakan perpaduan beragam budaya, dan ada juga yang memiliki kisah unik tersendiri seperti digunakan untuk tempat bersumpah pocong. Masjid apa saja?
Selama 4 hari sejumlah tinggalan sejarah yang ada di 4 kabupaten di Madura yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep berhasil didatangi rombongan Press Tour yang selenggarakan oleh Direktorat Nilai Sejarah, Dirjen Sejarah & Purbakala, Depbudpar 8-11 September lalu.
“Tujuan press tour kali ini untuk meningkatkan apresiasi masyarakat pers di bidang kesejarahan dan menyebarluaskan informasi peninggalan sejarah di Pulau Madura,” jelas Dra. Sri Suharni, MM Kasubdit Dokumentasi dan Publikasi Direktorat Nilai Sejarah selaku ketua rombongan.
Dari sejumlah tinggalan sejarah di Madura yang berhasil dikunjungi rombongan press tour, dalam tulisan kali ini cuma membahas masjid dan surau (langgar/mushola) saja.
Di Kabupaten Sampang, misalnya berdiri masjid yang konon tertua di Sampang yaitu Masjid Madegan, di Kampung Madegan, Kelurahan Pologan, Kecamatan Sampang Kota. Masjid yang berada di Kompleks Makam Ratu Ibu ini namanya kalah tenar dibanding pemakaman itu.
Menurut budayawan Sampang H. Abd. Syahid, Ratu Ibu I adalah ibu dari Raden Praseseno seorang penguasa Sampang yang dinobatkan oleh Sultan agung sebagai raja Madura Barat pada tahun 1624 dengan gelar Pangeran Caraningrat I.
Raden Praseno adalah anak dari Ratu Ibu I dengan Pangeran Tengah yang gugur dalam peperangan ketika Praseno masih kecil. Pangeran Tengah adalah anak dari Panembahan Lemah Duwur, seorang raja yang berjasa meletakkan dasar-dasar kepemimpinan Islam di Madura, khususnya di Kabupaten Sampang. Dialah pendiri Masjid Madegan sekitar abad 15.
Sayangnya arsitektur masjid ini sekarang telah berubah, terutama bagian badan masjid yang mengalami renovasi pelebaran. Bangunan aslinya tinggal pada bagian atas saja. Yang unik dari masjid ini ada 4 tiang kayu jati penyangga bangunan yang semuanya miring ke kiri. Kendati sudah beberapakali pilar-pilar itu diperbaiki, tetap saja kembali ke posisi semula.
Melihat keunikan pilar-pilar itu, akirnya membuat banyak orang yang meyakini bahwa masjid tua ini dipercaya keramat. Dan uniknya lagi karena kekeramatannya itu, masjid ini sering dijadikan tempat ritual sumpang pocong. Konon kabarnya, para pelakunya bukan cuma warga setempat tapi juga orang dari luar Sampang. Bila salah satu pihak yang melakukan sumpah pocong itu ternyata bersalah, dia akan meninggal dunia atau paling tidak mendapatkan musibah.
Langgar Atap Rumbai
Kisah unik lainnya berhasil kami dapatkan ketika mengunjungi Langgar Gayam di Desa/Kecamatan Proppo. Langgar (mushola) ini berdiri di areal yang dulu diyakini sebagai Situs Kerajaan Jambaringin pada masa Pangeran Pradoto yang bergelar Pangeran Suhra.
Ada juga yang mengatakan langgar ini merupakan peninggalan dari Bujuk Gayam yang dibangun tahun 1680. Dia berjasa menyebarkan agama Islam di daerah ini oleh karena itu masyarakat setempat sangat menghormatinya. Makamnya terletak di pinggir desa dengan bentuk nisan yang sederhana, tidak berornamen rumit seperti makam keluarga raja dan para bangsawan Madura.
Arsitektur Langgar Gayam sangat sedaerhana. Seluruh pondasinya terbuat dari kayu, atapnya rumbia, dindingnya dari bilik. Lantainya berjarak sekitar 50 Cm dari atas tanah dan berdiri dengan ditopang beberapa tiang kayu yang belum diganti sampai kini. Ada pengeras suara atau speaker yang digantung dengan sebatang bambu di belakang langgar untuk pengeras suara azan.
Menurut Kiai Moh. Sahid (72), pewaris Langgar Gayam sekaligus juru pelihara, ada cerita menarik dari langgar ini. “Ketika atapnya diganti dengan genting tanah liat, seketika genting-genting itu melorot (jatuh) sendiri. Oleh karena itu sampai sekarang tetap memakai atap rumbia,” jelasnya.
Menurut Miftahussurur Fatah SE (34) putra Sahid yang kadang menjadi muazin dan imam di langgar tersebut, hingga saat ini Langgar Gayam masih digunakan untuk shalat wajib berjamaah, termasuk shalat sunat taraweh. “Meski berukuran kecil, langgar ini mampu menampung 40 jemaah. Sisanya menempati halaman di depan langgar,” ujarnya.
Kurang dari 100 meter dari langgar ini terdapat Sumur Teratai. Dinamakan begitu karena dinding sumur bagian alam berbentuk lekuk-lekuk yang pabila dilihat dari atas nampak seperti bunga teratai. Dulu sumur ini menjadi tepat berwudhu bagi jemaah yang akan bersembahyang di Langgar Gayam. Kini, air sumur yang diyakini masyarakat setempat dapat menyembuhkan bermacam penyakit dan juga bikin awet muda itu, masih digunakan untuk air wudhu dan keperluan sehari-hari.
Masih di Pamekasan, juga terdapat masjid tua yang kini tampilannya sudah berubah total menjadi masjid bergaya modern. Masjid Agung Asy Syuhada namanya. Dulunya dibangun di lokasi Masjid Rongosukowati, yang merupakan masjid pertama di Pamekasan. Warga setempat lebih sering menyebutnya Maseghit Rato.
Semula bentuk Maseghit Rato mirip dengan Masjid Sunan Giri yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia. Namun setelah jaman Walisanga bentuknya disesuaikan dengan keinginan para sunan yaitu memiliki serambi untuk pengajian dan kegiatan dakwah. Pada tahun 1939 masjid lama digusur dan diganti dengan masjid tanpa serambi yang kemudian dinamakan dengan Masjid Jamik Kota Pamekasan.
Tahun 1980 bangunannya diperlebar ke samping dan namanya diganti dengan nama Masjid Asy Syuhada sebagai kenangan saat petumpahan darah dalam serangan umum tanggal 16 Agustus 1947. Masjid ini menjadi saksi atas kepahlawanan Madura dalam mempertahankan kemerdekaan Agustus 1945.
Pada tahun 1996-2002 masjid ini dibongkar habis dari bentuk tajuk tumpang tiga diganti seluruhnya menjadi bangunan beton berkubah gaya Timur Tengah. Pada 1996-2003 masjid ini lalu direnovasi menghasilkan dua menara yang beratap peluru sebagai kenangan bahwa masjid ini menjadi saksi pada masa perjuangan kemerdekaan.
Tak sulit menjangkau masjid yang pernah dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan peringatan Nuzulul Qur’an 1427 H tingkat nasional yang dihadiri oleh Presiden SBY ini, karena berada di jantung Kota Pamekasan. Di depan masjid ini berdiri Monumen Lancor yang berdiri tegar di tengah-tengah Taman Kota.
Masjid 9 Pintu
Kami juga mengunjungi Masjid Agung Sumenep atau Masjid Jami yang dibangun sekitar 1779 di atas tanah seluas satu hektar. Letaknya di jantung Kota Sumenep. Arsiteknya bernama Lauw Piango yang juga membangun Keraton Sumenep. Dia adalah cucu dari Lauh Khun Thing, satu dari enam orang China yang semula datang dan kemudian menetap di Sumenep. Diperkirakan dia lari dari Semarang karena ada Huru-hara Tionghoa.
Ada perpaduan banyak budaya yang mencuat dari arsitektur masjid ini, baik budaya lokal, Islam maupun budaya beberapa bangsa asing lain yang pernah singgah dan menetap di Sumenep. Pengaruh Jawa bisa dilihat dari bangunan bersusun dengan puncak pada bagian atas yang menjulang tinggi menyerupai candi, ini merupakan bentuk warisan Jawa. Begitu juga kubahnya yang berbentuk tajuk.
Pengaruh Arab dan Persia terlihat dari kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid. Pengaruh China dan Gujarat (India) terlihat pada sejumlah ornamen yang dipertegas dengan warna yang mencolok. Sedangkan pengaruh Portugis juga dapat dilihat dari pintu gerbang masjid berupa gapura besar yang menghadap ke Timur.
Berdasarkan tahun berdirinya dan juga keanekaragaman perpaduan arsitekturnya, wajar bila masjid ini termasuk dari 10 masjid tertua di Indonesia yang berarsitektur khas. Sekaligus (masih) menjadi ikon pariwisata Kabupaten Sumenep selain keratonnya.
Masjid ini sudah mengalami beberapakali pemugaran. Semula bangunan masjid ini ditopang 13 pilar yang berukuran besar dengan model Doria. Pintu masuknya ada 9 yang melambangkan 9 lubang dalam tubuh manusia. Di kanan-kiri masjid terdapat pendapa. Kini bentuk asli masjid ini tinggal bagian dalam dan sedikit di halaman depan.
Saat bulan puasa, masjid yang berhadapan dengan Taman Adipura Kota Sumenep ini begitu ‘hidup’ dengan berbagai aktivitas keagamaan. Menjelang sore masjid ini mulai dikunjungi warga maupun pendatang untuk shalat ashar, tadarus, berbuka puasa bersama. Kemudian dilanjutkan dengan shalat magrib, tadarus, sholat isya dan teraweh berjamaah.
Tak sulit menjangkau masjid yang berada sebelah Barat Keraton Sumenep ini. Dari Jembatan Suramadu dengan mobil, sekitar lebih kurang 4 jam melawati jalur utama Madura.
Masjid tua lainnya adalah Masjid Aermata Ebu. Lokasinya dekat dengan Kompleks Makam Aermata Ibu di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Nama masjid ini tenggelam oleh ketenaran makam permaisuri Raja Madura Barat, Cakraningrat I, Syariah Ambami.
Berdasarkan pantauan TravelPlusIndonesia, dari sekian masjid dan langgar tua di Madura yang arsitektur aslinya masih dapat terlihat lumayan utuh hanya Masjid Jami Sumenep dan Langgar Gayam. Selebihnya sudah mengalami pemugaran dan renovasi. Bahkan ada yang merubah total dari bentuk tajuk beratap sebagaimana masjid kuno di Jawa dengan masjid bergaya Arab-Persia sebagaimana terjadi dengan Masjid Jami Pamekasan yang kemudian berganti nama menjadi Masjid Asy Syuhada.
Seharusnya bangunan tua dan bersejarah apapun itu, termasuk masjid dan surau haruslah dipertahankan bentuk asli arsitekturnya. Agar nilai sejarahnya tetap murni. Andai memang harus direnovasi, jangan sampai menghilangkan keaslian arsitekturnya. Semoga ini menjadi pembelajaran sekaligus pencerahan buat kita semua.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Selama 4 hari sejumlah tinggalan sejarah yang ada di 4 kabupaten di Madura yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep berhasil didatangi rombongan Press Tour yang selenggarakan oleh Direktorat Nilai Sejarah, Dirjen Sejarah & Purbakala, Depbudpar 8-11 September lalu.
“Tujuan press tour kali ini untuk meningkatkan apresiasi masyarakat pers di bidang kesejarahan dan menyebarluaskan informasi peninggalan sejarah di Pulau Madura,” jelas Dra. Sri Suharni, MM Kasubdit Dokumentasi dan Publikasi Direktorat Nilai Sejarah selaku ketua rombongan.
Dari sejumlah tinggalan sejarah di Madura yang berhasil dikunjungi rombongan press tour, dalam tulisan kali ini cuma membahas masjid dan surau (langgar/mushola) saja.
Di Kabupaten Sampang, misalnya berdiri masjid yang konon tertua di Sampang yaitu Masjid Madegan, di Kampung Madegan, Kelurahan Pologan, Kecamatan Sampang Kota. Masjid yang berada di Kompleks Makam Ratu Ibu ini namanya kalah tenar dibanding pemakaman itu.
Menurut budayawan Sampang H. Abd. Syahid, Ratu Ibu I adalah ibu dari Raden Praseseno seorang penguasa Sampang yang dinobatkan oleh Sultan agung sebagai raja Madura Barat pada tahun 1624 dengan gelar Pangeran Caraningrat I.
Raden Praseno adalah anak dari Ratu Ibu I dengan Pangeran Tengah yang gugur dalam peperangan ketika Praseno masih kecil. Pangeran Tengah adalah anak dari Panembahan Lemah Duwur, seorang raja yang berjasa meletakkan dasar-dasar kepemimpinan Islam di Madura, khususnya di Kabupaten Sampang. Dialah pendiri Masjid Madegan sekitar abad 15.
Sayangnya arsitektur masjid ini sekarang telah berubah, terutama bagian badan masjid yang mengalami renovasi pelebaran. Bangunan aslinya tinggal pada bagian atas saja. Yang unik dari masjid ini ada 4 tiang kayu jati penyangga bangunan yang semuanya miring ke kiri. Kendati sudah beberapakali pilar-pilar itu diperbaiki, tetap saja kembali ke posisi semula.
Melihat keunikan pilar-pilar itu, akirnya membuat banyak orang yang meyakini bahwa masjid tua ini dipercaya keramat. Dan uniknya lagi karena kekeramatannya itu, masjid ini sering dijadikan tempat ritual sumpang pocong. Konon kabarnya, para pelakunya bukan cuma warga setempat tapi juga orang dari luar Sampang. Bila salah satu pihak yang melakukan sumpah pocong itu ternyata bersalah, dia akan meninggal dunia atau paling tidak mendapatkan musibah.
Langgar Atap Rumbai
Kisah unik lainnya berhasil kami dapatkan ketika mengunjungi Langgar Gayam di Desa/Kecamatan Proppo. Langgar (mushola) ini berdiri di areal yang dulu diyakini sebagai Situs Kerajaan Jambaringin pada masa Pangeran Pradoto yang bergelar Pangeran Suhra.
Ada juga yang mengatakan langgar ini merupakan peninggalan dari Bujuk Gayam yang dibangun tahun 1680. Dia berjasa menyebarkan agama Islam di daerah ini oleh karena itu masyarakat setempat sangat menghormatinya. Makamnya terletak di pinggir desa dengan bentuk nisan yang sederhana, tidak berornamen rumit seperti makam keluarga raja dan para bangsawan Madura.
Arsitektur Langgar Gayam sangat sedaerhana. Seluruh pondasinya terbuat dari kayu, atapnya rumbia, dindingnya dari bilik. Lantainya berjarak sekitar 50 Cm dari atas tanah dan berdiri dengan ditopang beberapa tiang kayu yang belum diganti sampai kini. Ada pengeras suara atau speaker yang digantung dengan sebatang bambu di belakang langgar untuk pengeras suara azan.
Menurut Kiai Moh. Sahid (72), pewaris Langgar Gayam sekaligus juru pelihara, ada cerita menarik dari langgar ini. “Ketika atapnya diganti dengan genting tanah liat, seketika genting-genting itu melorot (jatuh) sendiri. Oleh karena itu sampai sekarang tetap memakai atap rumbia,” jelasnya.
Menurut Miftahussurur Fatah SE (34) putra Sahid yang kadang menjadi muazin dan imam di langgar tersebut, hingga saat ini Langgar Gayam masih digunakan untuk shalat wajib berjamaah, termasuk shalat sunat taraweh. “Meski berukuran kecil, langgar ini mampu menampung 40 jemaah. Sisanya menempati halaman di depan langgar,” ujarnya.
Kurang dari 100 meter dari langgar ini terdapat Sumur Teratai. Dinamakan begitu karena dinding sumur bagian alam berbentuk lekuk-lekuk yang pabila dilihat dari atas nampak seperti bunga teratai. Dulu sumur ini menjadi tepat berwudhu bagi jemaah yang akan bersembahyang di Langgar Gayam. Kini, air sumur yang diyakini masyarakat setempat dapat menyembuhkan bermacam penyakit dan juga bikin awet muda itu, masih digunakan untuk air wudhu dan keperluan sehari-hari.
Masih di Pamekasan, juga terdapat masjid tua yang kini tampilannya sudah berubah total menjadi masjid bergaya modern. Masjid Agung Asy Syuhada namanya. Dulunya dibangun di lokasi Masjid Rongosukowati, yang merupakan masjid pertama di Pamekasan. Warga setempat lebih sering menyebutnya Maseghit Rato.
Semula bentuk Maseghit Rato mirip dengan Masjid Sunan Giri yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia. Namun setelah jaman Walisanga bentuknya disesuaikan dengan keinginan para sunan yaitu memiliki serambi untuk pengajian dan kegiatan dakwah. Pada tahun 1939 masjid lama digusur dan diganti dengan masjid tanpa serambi yang kemudian dinamakan dengan Masjid Jamik Kota Pamekasan.
Tahun 1980 bangunannya diperlebar ke samping dan namanya diganti dengan nama Masjid Asy Syuhada sebagai kenangan saat petumpahan darah dalam serangan umum tanggal 16 Agustus 1947. Masjid ini menjadi saksi atas kepahlawanan Madura dalam mempertahankan kemerdekaan Agustus 1945.
Pada tahun 1996-2002 masjid ini dibongkar habis dari bentuk tajuk tumpang tiga diganti seluruhnya menjadi bangunan beton berkubah gaya Timur Tengah. Pada 1996-2003 masjid ini lalu direnovasi menghasilkan dua menara yang beratap peluru sebagai kenangan bahwa masjid ini menjadi saksi pada masa perjuangan kemerdekaan.
Tak sulit menjangkau masjid yang pernah dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan peringatan Nuzulul Qur’an 1427 H tingkat nasional yang dihadiri oleh Presiden SBY ini, karena berada di jantung Kota Pamekasan. Di depan masjid ini berdiri Monumen Lancor yang berdiri tegar di tengah-tengah Taman Kota.
Masjid 9 Pintu
Kami juga mengunjungi Masjid Agung Sumenep atau Masjid Jami yang dibangun sekitar 1779 di atas tanah seluas satu hektar. Letaknya di jantung Kota Sumenep. Arsiteknya bernama Lauw Piango yang juga membangun Keraton Sumenep. Dia adalah cucu dari Lauh Khun Thing, satu dari enam orang China yang semula datang dan kemudian menetap di Sumenep. Diperkirakan dia lari dari Semarang karena ada Huru-hara Tionghoa.
Ada perpaduan banyak budaya yang mencuat dari arsitektur masjid ini, baik budaya lokal, Islam maupun budaya beberapa bangsa asing lain yang pernah singgah dan menetap di Sumenep. Pengaruh Jawa bisa dilihat dari bangunan bersusun dengan puncak pada bagian atas yang menjulang tinggi menyerupai candi, ini merupakan bentuk warisan Jawa. Begitu juga kubahnya yang berbentuk tajuk.
Pengaruh Arab dan Persia terlihat dari kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid. Pengaruh China dan Gujarat (India) terlihat pada sejumlah ornamen yang dipertegas dengan warna yang mencolok. Sedangkan pengaruh Portugis juga dapat dilihat dari pintu gerbang masjid berupa gapura besar yang menghadap ke Timur.
Berdasarkan tahun berdirinya dan juga keanekaragaman perpaduan arsitekturnya, wajar bila masjid ini termasuk dari 10 masjid tertua di Indonesia yang berarsitektur khas. Sekaligus (masih) menjadi ikon pariwisata Kabupaten Sumenep selain keratonnya.
Masjid ini sudah mengalami beberapakali pemugaran. Semula bangunan masjid ini ditopang 13 pilar yang berukuran besar dengan model Doria. Pintu masuknya ada 9 yang melambangkan 9 lubang dalam tubuh manusia. Di kanan-kiri masjid terdapat pendapa. Kini bentuk asli masjid ini tinggal bagian dalam dan sedikit di halaman depan.
Saat bulan puasa, masjid yang berhadapan dengan Taman Adipura Kota Sumenep ini begitu ‘hidup’ dengan berbagai aktivitas keagamaan. Menjelang sore masjid ini mulai dikunjungi warga maupun pendatang untuk shalat ashar, tadarus, berbuka puasa bersama. Kemudian dilanjutkan dengan shalat magrib, tadarus, sholat isya dan teraweh berjamaah.
Tak sulit menjangkau masjid yang berada sebelah Barat Keraton Sumenep ini. Dari Jembatan Suramadu dengan mobil, sekitar lebih kurang 4 jam melawati jalur utama Madura.
Masjid tua lainnya adalah Masjid Aermata Ebu. Lokasinya dekat dengan Kompleks Makam Aermata Ibu di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Nama masjid ini tenggelam oleh ketenaran makam permaisuri Raja Madura Barat, Cakraningrat I, Syariah Ambami.
Berdasarkan pantauan TravelPlusIndonesia, dari sekian masjid dan langgar tua di Madura yang arsitektur aslinya masih dapat terlihat lumayan utuh hanya Masjid Jami Sumenep dan Langgar Gayam. Selebihnya sudah mengalami pemugaran dan renovasi. Bahkan ada yang merubah total dari bentuk tajuk beratap sebagaimana masjid kuno di Jawa dengan masjid bergaya Arab-Persia sebagaimana terjadi dengan Masjid Jami Pamekasan yang kemudian berganti nama menjadi Masjid Asy Syuhada.
Seharusnya bangunan tua dan bersejarah apapun itu, termasuk masjid dan surau haruslah dipertahankan bentuk asli arsitekturnya. Agar nilai sejarahnya tetap murni. Andai memang harus direnovasi, jangan sampai menghilangkan keaslian arsitekturnya. Semoga ini menjadi pembelajaran sekaligus pencerahan buat kita semua.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar