Tak Jumpa Aa Surken Belasan Tahun, Begini Parasnya Sekarang
Hampir 15 tahun tak berjumpa dengan Alun-alun Suryakencana (Aa Surken), paras camp area favorit pendaki Gunung Gede yang oleh orang bule disebut Suryakencana Meadow ini, sekarang tetap menawan sekalipun berselimut kabut tebal dan berteman angin kencang.
Flashback (kilas balik) sedikit, pendakian ke Gunung Gede yang terletak di tiga kabupaten di Jawa Barat (Jabar), yaitu Bogor, Sukabumi, dan Cianjur ini mulai saya lakukan pertama kali pada jelang akhir tahun 80-an. Selanjutnya beberapa kali pada tahun 90-an. Kebanyakan via Cibodas.
Terakhir kali saya mendaki salah satu gunung terpopuler di Jabar yang berketinggian 2.958 meter di atas permukaan laut (Mdpl) ini pada Minggu, 25 Juli 2010 lewat jalur pendakian (japen) Gunung Putri yang berada di Kampung Gunung Putri, Desa Suka Tani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, sekitar 20 menit berkendara dari Pasar Cipanas ataupun Istana Kepresidenan Cipanas.
Ketika itu musim panas, saya mendaki gunung api tipe stratovolcano ini secara melintas (naik dari Gunung Putri turun via Cibodas) bersama rekan pendaki dari Indonesia dan beberapa lagi dari mancanegara. Kami memulai pendakian pukul 7 pagi usai sarapan dan tiba di Aa Surken sekitar pukul 4 sore sehingga keelokan wajahnya masih jelas terlihat.
Paras Aa Surken seluas 50 hektar sore kala itu begitu menawan, cerah, bersih, dan sepi. Hamparan sabana atau padang rumputnya berwarna cokelat keemasan. Deretan pohon cantigi (Vaccinium varingiaefolium), pucuk-pucuknya berwarna kemerahan. Sedangkan tanaman edelweiss (Anaphalis javanica), bunganya tengah bermekaran, putih kekuning-kuningan.
Begitupun di puncak Gunung Gede. Di sana kami mendapatkan suguhan menawan berupa sunrise (matahari terbit) meskipun sinar keemasannya tidak begitu sempurna warnanya lantaran masih terhalang awan.
Alhamdulillah, di sebelah Utara, kami juga dimanjakan dengan pemandangan kerlap-kerlip lampu Kota Cipanas dan sekitarnya yang sekilas seperti hamparan kunang-kunang aneka warna. Di sebelah Barat, panorama cantik berupa kawah Gunung Gede berlatar Gunung Pangrango (gunung terdekat atau bersebelahan dengan Gunung Gede) yang berdiri anggun berselimut hutan hujan tropis yang rimbun. Sedangkan di sebelah Selatan, terlihat jelas Aa Surken yang berhias deretan pohon cantigi di tepinya dan edelweiss yang tersebar di beberapa titik.
Meskipun waktu itu kami mendaki di akhir pekan namun jumlah pendakinya tak banyak sehingga pendakian terasa lengang dan hening. Seingat saya ketika itu di Kampung Gunung Putri, Desa Suka Tani juga masih sepi, tak seramai dan sepadat sekarang.
Kangen Berat
Lantaran sudah kangen berat sama Aa Surken dan ingin melihat langsung perubahannya, saya memutuskan untuk kembali lagi ke camp area yang berada di ketinggian 2.700-an Mdpl tersebut di musim yang berbeda.
Jika di pertengahan tahun 2010 silam saya menemui Aa Surken pada musim panas, kali ini, tepatnya Desember, dua pekan sebelum akhir tahun 2024, saya memilih musim hujan dan naik turun via Gunung Putri.
Mengingat musim hujan, tujuan utama pendakian saya kali ini memang ke Aa Surken bukan puncaknya Gede yang kemungkinan hanya akan mendapatkan pemandangan tembok putih.
Kenapa kali ini di musim hujan? Karena saya ingin mendapatkan atmosfer, vibes, nuansa, dan sensasi yang berbeda dibanding pendakian pada musim panas.
Alhamdulillah, semua keinginan itu saya dapatkan. Paras Aa Surken yang saya dapatkan kali ini tengah berkabut tebal dan berangin kencang.
Sewaktu menyusuri dataran Aa Surken dari Timur ke Barat, atmosfer Aa Surken kali ini terasa lebih horor dan mencekam namun tampil lebih artistik dengan nuansa putih keabu-abuan (warna kabut). Sensasinya pun terasa jelas lebih menantang.
Sebenarnya waktu tempuh dari Alun-alun Timur ke Alun-alun Barat Surken hanya sekitar 30 menit berjalan kaki santai di trek datar. Namun karena dibeberapa titik saya berhenti lalu asyik mengabadikan deretan pohon cantigi, edelweiss, dan spot alam menarik lainnya, membuat waktu tempuhnya membengkak sampai satu jam lebih.
Bukan cuma vibes dan nuansa seperti itu, saya juga menemukan beberapa perubahan wajah Aa Surken, di antaranya di beberapa titik terpasang patok area camping (tanda panah berwarna hijau) dan dilarang camping (tanda panah berwarna merah).
Di ujung Barat Aa Surken juga sudah berdiri musala berukuran kecil, tepat di atas aliran sumber air. Selain itu, ada emergency shelter yang jaraknya sekitar 100 meter dari sumber air dan 30 meter dari japen menuju puncak. Kabarnya kedua bangunan itu sempat menimbulkan pro dan kontra.
Saya pribadi menilai kedua fasilitas di Alun-alun Barat yang berketinggian 2.738 Mdpl itu wajib ada. Kalau perlu ditambah lagi di Alun-alun Timur yang berketinggian 2.752 Mdpl dengan catatan, bangunannya tetap mengedepankan konsep back to nature selaras dengan konsep kawasan konservasi, mengingat Aa Surken merupakan bagian kawasan konservasi berstatus taman nasional yakni Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Kenapa kedua fasilitas itu penting? Karena keberadaan musala itu amat memudahkan pendaki yang ingin menunaikan kewajiban solat lima waktu secara berjemaah. Sedangkan emergency shelter antara lain berguna sebagai tempat sementara untuk menolong pendaki yang sakit, mengalami hipotermia, dan lainnya.
Perubahan lain yang cukup mencengangkan, keberadaan sejumlah warung terpal di dekat Alun-alun Timur dan juga sampah yang berserakan di mana-mana, terutama di area camping-nya.
Sewaktu saya tiba di Alun-alun Timur sudah pukul 7 malam usai mendaki dari BC Gunung Putri pukul 9 pagi. Akhirnya saya memutuskan untuk beristirahat dan tidur di salah satu warung terpal, yang berada di mulut pintu Aa Surken bagian Timur. Sewaktu tidur, terasa berada di pantai, lantaran hembusan angin kencang yang menampar terpal plastik warung, suaranya bergemuruh keras bak deburan ombak.
Kenapa durasi nanjak cukup lama? Ya karena beberapa kali saya mampir di warung terpal yang juga banyak terdapat di beberapa titik sepanjang japen Gunung Putri sampai Aa Surken.
Pro Kontra
Keberadaan warung-warung terpal itu juga membuahkan pro kontra. Pihak yang pro menilai keberadaannya sangat membantu pendaki, terlebih bagi pendaki yang tidak membawa banyak logistik. Selagi istirahat sejenak, mereka bisa sekaligus mampir dan membeli dagangan yang dijual si pemilik warung tersebut.
Hal itupun saya lakukan. Sekalipun membawa cukup banyak logistik. Saya tetap mampir. Niatnya ingin berbagi rezeki sedikit dengan membeli dagangannya dan sekaligus merasakan sensasi kulineran sederhana di gunung.
Warung terpal yang saya sambangi saat nanjak antara lain di Pos 1 untuk menyantap buah semangka harganya Rp 5.000 per potong, pisang tanduk goreng Rp 2.000, dan tempe goreng juga Rp 2.000 yang dijual Yusuf, pedagangnya.
Sewaktu turun, saya juga mampir antara lain di warung yang ada di Pos 3 untuk santap siang dengan nasi uduk berukuran kecil dengan lauk bihun dan sepotong kecil telor goreng seharga Rp 10.000 per bungkus.
Adapun pihak yang kontra, menilai keberadaan warung-warung terpal tersebut merusak pemandangan dan tidak sesuai dengan konsep kawasan konservasi. Terlebih kondisi warungnya amat sederhana. Ada yang seperti gubuk kayu dan atau beratap terpal plastik berwarna biru dan lainnya sehingga membuahkan kesan kumuh.
Bagaimana solusinya? Menurut saya perlu ada penataan kondisi warung-warung terpal itu agar lebih rapi dan harus berkonsep back to nature. Selain itu jumlahnya pun, sebaiknya dibatasi dengan cara kerjasama usaha antar-pedagang. Jadi tidak setiap pedagang mendirikan warung.
Bagaimana dengan sampahnya? Menurut saya, sampah yang saat ini masih ada di Aa Surken bahkan sampai puncak, sebaiknya segera dibersihkan lalu ditempatkan di pembuangan sampah di luar kawasan TNGGP untuk diproses lebih lanjut. Langkah selanjutkan mulai menerapkan kembali dengan tegas kewajiban setiap pendaki untuk bawa turun sampah logistik terutama sampah kemasan plastik, dan lainnya.
Caranya dengan memeriksa jumlah logistik yang dibawa setiap pendaki sewaktu akan mendaki di Pos Pemeriksaan Sampah. Setiap mendaki wajib mencatat jumlah logistik yang dibawa dan jenisnya. Lalu memeriksa kembali sampahnya sewaktu turun. Jika ternyata ada sampah yang tidak dibawa turun, maka pendaki tersebut diberi denda uang ataupun sanksi lain agar pendaki itu kapok.
Apakah ada perubahan lainnya? Yup, masih. Saat ini sudah ada jasa ojek gunung dari BC Gunung Putri ke batas terakhir ojek, tarifnya Rp 50.000 per pendaki.
Dulu, di tahun 2010 belum ada ojek gunung selain itu sepertinya juga belum ada BC, andaikan ada mungkin masih sedikit. Tapi saat ini BC di Kampung Gunung Putri, Desa Suka Tani sudah menjamur. Ada yang letaknya di kiri-kanan jalan, tak sedikit yang agak masuk ke dalam perkampungan.
Bukan cuma BC, rumah penduduknya pun semakin padat. Selain itu juga ada penjual bakso, martabak, warung nasi, warung kelontong, pengambilan uang tunai dengan kartu ATM, toko merchandise seperti kaos, gantungan kunci, topi, dan lainnya.
Menurut salah seorang warga, jumlah BC dan lainnya bertambah di sana lantaran beberapa tahun belakangan ini japen Gunung Gede via Gunung Putri ramai digunakan para pendaki terutama dari wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten. "Tahun 90-an sampai 2010-an japen via Cibodas yang ramai. Tapi setelah itu sampai sekarang sebaliknya yang ramai via Gunung Putri," terangnya.
Tips Nyaman
Berdasarkan perubahan paras Aa Surken dan Kampung Gunung Putri, Desa Suka saat ini, saya memberikan sedikit tips buat pembaca TravelPlus Indonesia ataupun pendaki gunung yang berencana ingin mendaki Gunung Gede via Gunung Putri untuk menggapai puncaknya ataupun sekadar mengeksplorasi ragam pesona Aa Surken.
Pertama, cek apakah pendakian di japen tersebut dibuka atau ditutup. Kedua, bila dibuka, pesan Simaksi secara online. Ketiga, cari info BC yang akan dipilih, sebaiknya pilih BC yang dekat jalan raya karena lebih praktis untuk mencari makan, naik-turun kendaraan, dan lainnya.
Keempat, bila ingin mendapatkan pemandangan yang cerah baik di Aa Surken maupun di puncak sebaiknya mendaki di musim panas antara Juni sampai Agustus. Kelima, sebaliknya jika ingin mendapatkan atmosfer berkabut tebal, berangin kencang dan diguyur hujan, mendakilah saat musim hujan antara November sampai Februari (tapi cek terlebih dulu apakah pendakian umum dibuka atau ditutup).
Tips berikutnya atau keenam, kalau ingin mendapatkan suasana yang lebih tenang/hening, sebaiknya pilih pendakian saat week day atau diluar akhir pekan/liburan.
Ketujuh, kalau Anda mendaki di akhir pekan (Sabtu - Minggu) dan musim liburan. Sepertinya untuk mengurangi beban, Anda tak perlu membawa terlalu banyak logistik dari BC. Namun obat-obatan pribadi dan P3K standar tetap wajib Anda bawa. Soalnya aneka logistik tambahan, dapat Anda beli di warung terpal seperti mie rebus, mie goreng, nasi uduk, aneka gorengan, aneka minuman ringan, aneka minuman hangat/panas, dan lainnya. Namun harganya tentu lebih mahal.
Tips terakhir atau kedelapan, kalau anda menggunakan trip/tour operator (TO) dengan mengikuti open trip (OT) pendakian yang dibuatnya, pilihlah TO yang profesional, bertanggung jawab dari mulai awal pendakian sampai pulang atau yang punya predikat bagus baik dalam pengaturan/penyediaan alat transportasi dari mepo ke BC dan sebaliknya, pemilihan BC yang letaknya strategis, penyediaan tenda kelompok yang nyaman (tenda kelompok dibawa dan dipasang/dibongkar oleh panitia bukan peserta), pembayaran Simaksi secara legal, dan lainnya.
Sebagai informasi tambahan, selain via Gunung Putri, masih ada 2 japen untuk menggapai puncak Gunung Gede, yakni via Cibodas dan Selabintana. Via Gunung Putri japennya terpendek namun treknya lebih sulit dibanding via Cibodas. Sebaliknya via Cibodas japennya lebih panjang dari Gunung Putri namun lebih mudah treknya. Sedangkan via Selabintana, japennya terpanjang dan treknya tersulit dibanding via Cibodas maupun Gunung Putri.
Apapun japen yang Anda pilih, kesiapan fisik mental sebelum mendaki Gunung Gede harus dinomorsatukan. Terlebih bila ingin mendaki di musim hujan seperti sekarang ini. Satu lagi, tetap mengedepankan pendakian yang pro konservasi atau ramah lingkungan, minimal membawa turun sampah logistik sendiri, tidak memetik edelweiss maupun cantigi, dan tidak mencemari sumber air.
Naskah & foto: Adji TravelPlus, IG @adjitropis, TikTok @FaktaWisata.id
Captions:
1. Pesona Aa Surken di musim hujan, berbalut kabut dan berangin kencang, saat mendaki bulan Desember ini, tepatnya 2 pekan sebelum akhir tahun 2024. (foto: adji)
2. Pendakian Gunung Gede terakhir kali bareng pendaki mancanegara pada Juli 2010 atau musim panas. (foto: adji)
3. Pendakian Gunung Gede pada musim panas cuacanya cerah, baik di Aa Surken maupun di puncaknya. (foto: adji)
4. Kangen berat sama Aa Surken akhirnya mendaki Gunung Gede lagi jelang akhir tahun ini. (foto: adji & Arvin)
5. Deretan edelweiss, cantigi, dan sumber air di Aa Surken. (foto: adji)
6. Musala kecil berselimut kabut tebal di Alun-alun Barat Surken. (foto: adji)
7. Beberapa pendaki memasak dan foto bareng di Aa Surken. (foto: dok. WAG brother adventure)
8. Kondisi beberapa warung terpal di Alun-alun Timur Surken, perlu penataan yang lebih rapi dan mengedepankan konsep back to nature. (foto: adji)
9. Ojek gunung di japen Gunung Gede via Gunung Putri dari BC ke pemberhentian ojek terakhir.
10. Aneka merchandise di toko suvenir yang ada di japen Gunung Gede via Gunung Putri, seperti kaos, jaket, sarung tangan, gantungan kunci, gelas kaleng, tingkat kayu ( treking pole alami), dan lainnya. (foto: adji)
11. Arvin, pendaki muda yang begitu antusias mengeksplorasi (mengabadikan spot-spot alam yang menarik) sepanjang Alun-alun Timur sampai Alun-alun Barat Surken. (foto: adji)
12. Foto bareng di beberapa pos pendakian dan pastinya di Aa Surken yang berkabut tebal saat itu. (foto: Arvin & rekan pendaki)
0 komentar:
Posting Komentar