Tujuh Jalan di Jakarta Ini Berdaya Tarik Wisata, 2 di Antaranya Pernah Berjaya
Jakarta memiliki banyak nama jalan, 7 di antaranya berdaya tarik wisata dengan atmosfer dan suasana yang berbeda satu sama lain. Kabarnya, 2 dari 7 jalan tersebut pernah begitu berjaya pada masanya.
Sebelum TravelPlus Indonesia suguhkan keistimewaan 7 jalan tersebut, tak ada salahnya kita tengok sejenak berita yang tengah marak tentang 25 jalan di Jakarta yang akan diberlakukan sistem jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP).
Ke-25 jalan yang tengah mencuri perhatian publik itu adalah Jalan Pintu Besar Selatan, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Majapahit, Medan Merdeka Barat, M.H. Thamrin, Jenderal Sudirman, Sisingamangaraja, Panglima Polim, dan Jalan Fatmawati (Simpang Jalan Ketimun 1-Simpang Jalan TB Simatupang).
Berikutnya Jalan Suryopranoto, Balikpapan, Kyai Caringin, Tomang Raya, Jenderal S. Parman (Simpang Jalan Tomang Raya-Simpang Jalan Gatot Subroto), Gatot Subroto, M.T. Haryono, D.I. Panjaitan, Jenderal A. Yani (Simpang Jalan Bekasi Timur Raya-Simpang Jalan Perintis Kemerdekaan), dan Jalan Pramuka.
Lima lagi adalah Jalan Salemba Raya, Kramat Raya, Pasar Senen, Gunung Sahari, dan Jalan H.R. Rasuna Said.
Kabarnya pemberlakuan ERP di 25 jalan tersebut menjadi salah satu solusi untuk menekan kemacetan melalui pengendalian lalu lintas kendaraan bermotor atau sebagai push strategy.
Kembali ke judul tulisan ini, ke-7 jalan di Jakarta yang berdaya tarik wisata berdasarkan pengamatan langsung TravelPlus dan ditambah data dari berbagai sumber adalah Jalan Sabang, Jenderal Sudirman, M.H. Thamrin, Jaksa, Melawai, Taman Fatahillah, dan Jalan Rawa Belong.
Pertama, Jalan Sabang di Jakarta Pusat.
Nama aslinya adalah Jl. H. Agus Salim yang berada di belakang Sarinah Thamrin serta bersimpang jalan dengan Jl. KH Wahid Hasyim dan Jl. Kebon Sirih.
Kalau Anda cari plang nama Jalan Sabang, tak akan menemukan yang ada plang Jl. H. Agus Salim. Entah kenapa sampai lebih dikenal sebagai Jalan Sabang.
Atmosfer yang bakal Anda temukan di sana adalah lokasi sentra kuliner jalanan (street food) dengan gerobak maupun tenda yang bercampur dengan sederet kafe, kedai kopi, rumah makan, warung nasi, dan restoran yang ramai sejak siang, terlebih sore sepulang orang kantoran gawe sampai larut malam. Selain itu juga ada beberapa hotel, mini market, apotik, toko kelontong, studio foto, tukang buah, dan lainnya.
Sejak tahun 70-an, Jalan Sabang memang sudah menjadi salah satu lokasi hang out atau nongkrong anak muda Jakarta.
Sejumlah kafe, kedai kopi/warung kopi (warkop), rumah makan, warung nasi, dan restoran yang saat ini ada di sana antara lain Play Maker, Sabang 16, Starbucks Sabang. Calypot Popo Sabang, Kopi Oey, Soto Banjar Kuin Abang Suhai, Sedjenak Koffie, Pempek Cawan Putih, Restoran Natrabu, Bakmi Roxy Sabang, Nasi Kambing Kebon Sirih, Seafood Dewi, Soto Tangkar, Soto Ceker Ayam, Soto Kudus, Nasi Gandul Khas Pati, Nasi Goreng, Ayam Bakar, Warkop, HokBen Sabang, Nasi Uduk Mpo Mumun, The Atjeh Connection Neo Sabang, Bobotime Sabang, Kong Guan Biscuit, Yan Kedai Kopi, Roti Pisang Bakar, Waroeng Pah Muh Sabang, Sate Kambing Jaya Agung, Sate Ayam Madura, dan Sate Padang St. Gondangdia.
Hotel berbintangnya antara lain Mercure Sabang, Ashley Sabang,dan MaxOne Hotel.
Kedua, Jl. Jenderal Sudirman di perbatasan Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.
Sesuai namanya, jalan yang membentang sepanjang 4 Km dari Dukuh Atas, Tanah Abang, Jakarta Pusat sampai Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini diambil dari nama seorang Pahlawan Nasional Indonesia yaitu Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman.
Atmosfer yang bakal Anda dapat di salah satu jalan utama Jakarta sekaligus pusat bisnis ini adalah deretan gedung-gedung vertikal seperti Wisma 46 (Kantor Pusat Bank Negara Indonesia (BNI), Wisma Nugraha Santana, Indofood Tower, MidPlaza, Chase Plaza, Da Vinci, Mayapada Tower 2, Mayapada Tower 1, dan lainnya.
Hotelnya antara lain Hotel Grand Sahid Jaya, Hotel Le Meridien Jakarta, dan The Sultan Hotel & Residence Jakarta.
Spot fotonya antara lain Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Gelora Bung Karno (GBK), JPO Pinisi Karet Sudirman yang ramai dikunjungi terutama sore sampai malam hari, Ashta District 8 dengan berfoto berlatar gedung-gedung pencakar langit yang berbaris rapi, dan Hutan Kota GBK yang menjadi ruang terbuka hijau di Jakarta dengan pemandangan sederet gedung jangkung yang terlihat kontras dengan hijaunya taman.
Di jalan yang dilalui bus TransJakarta Koridor 1 (jurusan Blom M - Kota) dan MRT Jakarta Jalur Utara-selatan (Lebak Bulus-Bundaran HI) serta biasa dipakai untuk Car Free Day (CFD) ini juga ada beberapa pusat perbelanjaan antara lain FX Sudirman, Ratu Plaza, dan Ashta District 8 yang berada di kawasan bisnis dan perkantoran SCBD (Sudirman Central Business District).
Ketiga, Jl. M.H. Thamrin alias Jalan Muhammad Husni Thamrin di Jakarta Pusat.
Sama seperti Jalan Sudirman, jalan yang biasa disebut Jalan Thamrin ini juga merupakan salah satu jalan utama Jakarta dan pusat bisnis yang namanya diambil dari nama seorang Pahlawan Nasional Indonesia yaitu Mohammad Husni Thamrin.
Atmosfer yang bakal Anda temukan di jalan yang membentang sepanjang 2,5 Km dari Bundaran Air Mancur Monas sampai Dukuh Atas, Tanah Abang, Jakarta Pusat ini juga deretan gedung-gedung jangkung.
Hotel berbintang ternama yang terdapat di sana antara lain Hotel Indonesia Kempinski, Grand Hyatt Hotel Jakarta, Mandarin Oriental Jakarta, dan Pullman Hotel Jakarta.
Di jalan yang juga dilalui TransJakarta Koridor 1 dan MRT Jakarta Jalur Utara-selatan (Lebak Bulus-Bundaran HI) serta biasa dipakai untuk CFD ini terdapat pusat perbelanjaan The City Tower M.H. Thamrin (sebelumnya bernama Sarinah) dan Grand Indonesia Shopping Town serta sentra kuliner berlabel Thamrin 10.
Spot fotonya antara lain kawasan Monumen Selamat Datang (Bundaran HI), halte Transjakarta Bundaran HI setelah direvitalisasi, Gedung Sarinah juga pasca-revitalisasi, dan sekitar kawasan Stasiun Sudirman Baru (BNI City) yang sempat dikenal dengan Citayam Fashion Week-nya.
Diperkirakan 2 halte Transjakarta yang masih dalam tahap penyelesaian revitalisasi yakni Halte Tosari dan Sarinah bakal menjadi spot foto baru bagi warga maupun wisatawan.
Kantong Turis Ransel
Keempat, Jalan Jaksa di Jakarta Pusat.
Di jalan satu arah dengan panjang sekitar 400 meter ini pernah berjaya pada era tahun 60an - 2.000an karena menjadi kantong para wisatawan mancanegara (wisman) kelas backpacker yang kerap disebut turis ransel atau turis sandal jepit, antara lain dari Eropa, Australia, Amerika, dan belakangan dari Afrika.
Dulu di sana ada beberapa penginapan yang ramai diminati para bule yang mencari akomodasi dan hiburan murah meriah antara lain Wisma Delima dan Djody Hostel dengan tarif per malamnya hanya berkisar Rp 150 ribu - Rp 200 ribu.
Selain itu di jalan yang terletak sekitar 1 Km di Selatan Monas dan sebelah Barat stasiun kereta api Gondangdia ini dulu menjamur kafe yang menjual bir, minuman favorit para bule waktu itu, antara lain Cocktail Cafe serta sejumlah restoran yang menyajikan aneka western food.
Dinas Pariwisata Jakarta pada tahun 1993 pernah mencatat sebanyak 57.201 wisman menginap di hotel dan hostel di sepanjang jalan ini dengan rata-rata masa inapnya 3 hari.
Atmosfer yang Anda temukan saat ini memang tak akan sama seperti dulu. Tapi tetap saja jalan yang konon katanya namanya tercipta karena banyak mahasiswa Rechts Hogeschool Batavia (Akademi Hukum Jakarta) yang tinggal di kawasan ini baik saat masih kuliah maupun setelah lulus lalu bekerja di pengadilan dan menjadi jaksa ini, menarik untuk ditelusuri.
Kabarnya ada beberapa penyebab yang membuat Jalan Jaksa kini sepi turis bule, di antaranya krisis moneter (krismon) 1998, pengeboman Bali 2002, pengeboman kedutaan besar Jakarta 2004, dan keputusan tahun 2005 untuk mengurangi visa standar turis dari 60 menjadi 30 hari.
Jalan yang berada di kawasan Blok M ini juga pernah berjaya mulai era tahun 60an-90an, puncaknya tahun 80-an.
Jalan yang sering juga disebut Simpang Melawai ini dulu menjadi tempat nongkrong favorit kaula muda Jakarta. Di sana mereka ngeceng, mejeng, dan sekaligus pamer fesyen, mobil mewah, atau unjuk kebolehan antara lain breakdance atau menari tari kejang setiap sore.
Lantaran saking tersohor dan ramainya membuat jalan ini menjadi lokasi syuting film Catatan Si Boy (1987) yang dibintangi Onky Alexander dan film Blok M (Bakal Lokasi Mejeng) yang dibintangi Desy Ratnasari dan Paramitha Rusady yang menceritakan kehidupan zaman SMA di tahun 1990.
Selain film, ada novel remaja yang dibuat di era itu, seperti Lupus dan Olga Sepatu Roda karya Hilman Hariwijaya yang ber-setting antara lain di kawasan Blok M tempat hangout nge-hits generasi '80 dan '90-an.
Ada juga beberapa lagu ngetop yang terinspirasi dari Jalan Melawai antara lain JJS Lintas Melawai milik penyanyi Harry Moekti dan Jalan Jalan Sore (JJS) yang dinyanyikan Denny Malik. Bahkan video klip lagu JJS ini berlokasi di sepanjang Jalan Melawai.
Ketika itu selain Jalan Melawai, lokasi nongkrong lainnya di kawasan Blok M yang booming antara lain Melawai Plaza, Sarinah Blok M kemudian menjadi Pasaraya Blok M, dan Aldiron Plaza yang terkenal tempat main dingdong (sekarang Blok M Square) serta arena clubing dengan sepatu roda indoor, yakni Lipstick Disco Skate dan Happy Day.
Atmosfer seperti itu saat ini mungkin tidak akan Anda temukan lagi di Jalan Melawai, tapi kalau sekadar ingin tahu ya boleh-boleh saja ditelusuri. Toh, di sekitar sana juga masih ada beberapa spot untuk nongkrong ataupun berwisata kuliner seperti lesehan di Blok M Square, gultik alias gule tikungan di sekitar Blok M Plaza dan Bulungan, Taman Literasi Martha Christina Tiahahu serta lokasi hangout urban kekinian, M Bloc Space.
Keenam, Taman Fatahillah di Jakarta Barat.
Bila di Jl. Sudirman dan Thamrin Anda bakal mendapatkan atmosfer deretan bangunan modern yang menjulang, sebaliknya di Jl. Taman Fatahillah Anda menemukan atmosfer bangunan tua dan bersejarah peninggalan zaman kolonial Belanda.
Ikon bangunan di jalan itu sekaligus di kawasan Kota Tua Jakarta adalah Museum Fatahillah yang beralamat di Jl. Taman Fatahillah No.1, Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Kota Jakarta Barat.
Museum Fatahillah yang bernama resmi Museum Sejarah Jakarta ini dulunya merupakan Balai Kota Batavia yang dibangun pada tahun 1707 - 1710 atas perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoorn.
Di jalan lain dekat Jl. Taman Fatahillah juga ada beberapa bangunan tua dan bersejarah yang kemudian berfungsi sebagai museum seperti Museum Bank Indonesia, Magic Art 3D Museum di Jl. Kali Besar Timur, Museum Seni Rupa dan Keramik di Jl. Pos Kota dan Museum Wayang di Jl. Pintu Besar Utara. Selain itu ada Toko Merah Kota Tua (bukan museum) di Jl. Kali Besar Barat, Kafe Batavia di Jl. Pintu Besar Utara.
Terakhir atau ketujuh, Jalan Rawa Belong di Jakarta Barat.
Nama jalan yang menghubungkan kawasan Palmerah di Selatan dan Kemanggisan di Utara yang melintang sepanjang 850 meter ini kabarnya diambil dari berbagai sumber antara lain dari nama kampung yang terletak di jalan ini, yaitu Kampung Rawa Belong yang terdiri atas 2 kata, yakni rawa dan balong.
Rawa adalah daerah yang digenangi air dan biasanya cukup dalam dan tidak terawat, sedangkan balong menunjukkan empang yang dalam. Bisa jadi dulunya Rawa Belong adalah kawasan rawa yang dalam-dalam.
Atmosfer yang bakal Anda temukan di jalan yang dilewati transportasi umum Transjakarta Jaklingko JAK-14 jurusan Tanah Abang - Meruya, Transjakarta Jaklingko JAK-53 jurusan Grogol - Pos Pengumben via Slipi, Mikrolet M11 Tanah Abang - Meruya, dan Mikrolet M24 Pasar Slipi - Srengseng ini cukup menarik dan beda dengan ke-6 jalan di atas.
Di jalan yang dimulai dari persimpangan Rawa Belong (Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat) sampai persimpangan Jalan Raya Kebon Jeruk dan Jalan Kemanggisan Raya ini setiap menjelang perayaan Imlek atau Tahun Baru China menjadi lokasi warga berburu Bandeng Imlek.
Ikan Bandeng Imlek yang dijual disini ukurannya "raksasa", besar-besar, sampai ada yang sebesar paha orang dewasa dengan berat 8 hingga 12 Kg per ekornya.
Harganya bukan per ekor melainkan per kilogram, yaitu mulai dari Rp 50 ribu per Kg.
Biasanya pembeli Ikan Bandeng Imlek membludak dua atau sehari menjelang Imlek dan puncaknya pas malam Imlek. Warga Betawi dan keturunan Tionghoa yang membeli Bandeng Imlek umumnya diolah menjadi masakan Pindang dan Pesmol Bandeng.
Atmosfer lainnya, kalau Anda kesana jelang Imlek bisa sekaligus melihat-lihat Pasar Kembang Rawa Belong atau berwisata kuliner khas Betawi seperti Nasi Uduk, Ketupat, Mie Juhi, Kue Dongkal, dan lainnya.
Itulah 7 jalan di Jakarta yang memiliki pesona lebih hingga menjadi daya tarik wisata.
Di luar Jakarta juga ada sejumlah jalan wisata ternama, di antaranya Jalan Malioboro di Kota Jogja, DIY; Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, dan Jalan Cihampelas di Kota Bandung, Jabar; Jalan Tanjung Bunga (kawasan Pantai Losari) di Kota Makassar, Sulsel; Jalan Legian Kuta di Kabupaten Badung, Bali; dan Jalan Pandanaran di Kota Semarang, Jateng.
Naskah & foto: Adji TravelPlus @adjitropis & @travelplusindonesia
0 komentar:
Posting Komentar