Menikmati Sejuta Pesona Perbatasan Indonesia-Timor Leste di Kabupaten Belu
Belu merupakan nama salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi daerah perbatasan atau tapal batas antara Indonesia-Timor Leste. Objek wisatanya beragam dan sejuta pesonanya sudah berhasil memikat warga negara tetangga dan wisatawan dari negara lain.
Objek wisata alamnya antara lain Lembah Fulan Fehan, Gunung Laka’an, Air Terjun Mauhalek, dan Kolam Susuk.
Objek wisata alamnya antara lain Lembah Fulan Fehan, Gunung Laka’an, Air Terjun Mauhalek, dan Kolam Susuk.
Terkait desa wisata ada Desa Dirun, sedangkan yang berkenaan dengan sejarah ada situs bersejarah Kikit Gewen dan Benteng Tujuh Lapis.
Sementara yang berhubungan dengan bahari ada Pantai Pasir Putih, Pantai Atapupu, Pantai Sukaerlaran, dan Tanjung Gurita.
Objek wisata buatannya antara lain Pos Lintas Batas (PLB) Motaain yang sudah diresmikan Presiden Jokowi tahun lalu, dan PLB Motamasin yang akan diresmikan tahun ini, serta pacu kuda di Desa Tnimanu.
Lembah Fulan Fehan di Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, berjarak sekitar 26 Km dari Atambua, Ibukota Kabupaten Belu yang pernah menjadi lokasi syuting garapan Mira Lesmana (Miles) dan Riri Riza berjudul “Atambua 39 Derajat Celsius”.
Suasana Lembah Fulan Fehan yang berbatasan dengan Timor Leste ini masih sangat alami, apa adanya.
Tak ada rumah, tak ada warung, tak ada hiruk-pikuk. Yang ada hanya beberapa kelompok kuda yang tengah bercanda dan bermanja-manja di padang luas dan berbukit. Pun segerombolan sapi kecoklatan yang tak henti merumput.
Tumbuhannya pun minim. Paling khas kaktus yang tumbuh mengelompok di beberapa tempat yang kian memperkuat karakter lembah satu ini.
Benteng Lapis Tujuh berada masih di lembah ini, tepatnya di puncak Bukit Makes. Disebut begitu karena untuk mencapai pusat benteng itu ada pagar dari sususan batu karang alam yang mengelilingi lingkaran batu itu sampai tujuh lapis.
Ada juga yang menyebutnya Benteng Makes, lantaran berada di atas Bukit Makes, tepatnya di wilayah Desa Dirun, Kecamatan Lamakne.
Benteng ini merupakan salah satu peninggalan bersejarah para pejuang lokal yang mempertahankan NKRI dari penjajahan bangsa Portugis.
Benteng yang diperkiraan dibangun tahun 1800 ini disusun dari batu-batu karang yang berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh kala itu.
Benteng Makes berada 25 Km. sebelah Timur Atambua. Perlu waktu sekitar 2 jam untuk mencapainya dengan kendaraan roda empat. Aksesnya belum sepenuhnya mulus. Jalannya menanjak dan berkelok-kelok.
Gunung Laka’an juga berada di kawasan Lembah Fulan Fahen. Gunung berketinggian 1.580 Mdpl ini merupakan atap tertingginya Belu sekaligus salah satu gunung tertinggi di Pulau Timor.
Meski tak terlalu tinggi, gunung ini punya arti penting bagi masyarakat Belu bahkan dianggap sakral dan suci. Maklum, di atas puncaknya terdapat Patung Kristus Raja dan Patung Bunda Maria sehingga menjadi tempat ziarah.
Setiap tanggal 7 Oktober, gunung ini ramai didaki para peziarah untuk mengikuti misa dan berdoa.
Gunung ini juga dinilai unik karena di puncaknya tumbuh pohon bakau, tanaman penyerap air yang biasanya tumbuh di pesisir pantai dataran rendah.
Konon, dulunya seluruh daratan Kabupaten Belu merupakan lautan. Daratan yang tersisa hanyalah puncak Gunung Laka’an yang ditumbuhi bakau.
Sebagai puncak tertinggi di Kabupaten Belu, orang Belu pun menjuluki puncak gunung itu dengan julukan Baudinik Mesak atau Seperti Bintang Tunggal.
Ada juga yang menyebutnya Sa Mane Mesak (Seperti Lelaki Tunggal), Foho Laka An (Gunung Yang Memiliki Cahaya Sendiri), dan sebutan Manu Aman Laka An yang berarti Ayam Jantan Merah Bercahaya Sendiri.
Keunikan lainnya, puncak gunung ini diyakini masyarakat Belu sebagai tempat lahirnya manusia pertama Belu.
Tak sulit mendaki gunung ini, cuma butuh sekitar 1 jam-an dari lembah di kakinya. Dari puncaknya, di sebelah Utara Anda bisa melihat rerimbunan hutan yang menutupi Benteng Tujuh Lapis yang berada di kaki gunung ini atau berada di puncak Bukit Makes.
Di arah lainnya, Anda dapat melihat suguhan menawan Lembah Fulan Fehan dan beberapa lembah berbukit dan berkaktus lainnya serta deretan perbukitan yang berbatasan dengan Timor Leste.
Untuk menjangkau desa terakhir di kaki gunung ini, dari Kupang Ibukota NTT, Anda bisa naik kendaraan umum dua kali ganti ke Atambua. Lalu dilanjutkan dengan bus travel ke kaki gunung ini, kemudian treking atau berjalan kaki. Bisa juga dari Kupang naik pesawat kecil ke Atambua lalu naik mobil travel ke lokasi.
Situs Bersejarah Kikit Gewen berada di ujung Timur lembah ini. Berupa kuburan tua dan sakral. Jika ingin mendatanginya harus ditemani juru kunci dari Suku Lepo. Sedangkan Air Terjun Mauhalek berlokasi di Desa/Kecamatan Lasiolat, sekitar 30 Km dapat di tempuh menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat dari Atambua. Suasana di air terjun ini masih asri dan rindang.
Pantai Pasir Putih hanya berjarak sekitar 24 km dari Atambua ke arah Utara. Selain bersantai di pantainya yang berpasir putih, pengunjung bisa berenang, menyewa sampan tradisional atau duduk-duduk di pondok-pondok yang dapat digunakan untuk beristirahat.
Teluk Gurita terletak di Kecamatan Kakuluk Mesak, sekitar18 Km dari Atambua ke arah Barat Laut atau lebih kurang 30 menit.
Pesona teluk ini, selain lautnya yang dalam, airnya juga tenang dan dikelilingi bukit-bukit.
Objek wisata Kolam Susuk berada di Desa Junelu, Kecamatan Kakuluk Mesak, sekitar 17 Km arah Utara dari Atambua. Dapat dicapai sekitar 20 menit dengan mobil.
Kolam alami ini memiliki tanah berwarna putih sehingga kalau terkena sinar matahari airnya memantulkan cahaya yang berwarna putih seperti susu. Sementara susuk, bahasa lokal berarti nyamuk.
Desa Dirun berada di kaki Bukit Makes. Dulu pusat desa ini berada di Benteng Makes namun setelah Indonesia merdeka, pindah ke kaki Bukit Makes. Keseluruhan perkampungan di desa ini beserta pemandangan alam sekitarnya jelas terlihat dari Bukit Makes, tepatnya di belakang Benteng Tujuh Lapis.
Di desa ini, ada beberapa peninggalan bersejarah yang dulunya digunakan untuk ksadan atau upacara adat antara lain besi dara yaitu tempat keramat yang dipakai untuk ritual jika ada warga hendak merantau atapun berperang. Sarat ritual tersebut dengan memotong ayam jantan merah dan babi.
Selain itu ada rumah-rumah adat dan bangunan tua tempat kediaman Raja Laku Mali serta sebuah Kapela tua permanen pertama di Lamaknen yang di tengah perkampungan Desa Dirun.
Pacu Kuda digemari baik masyarakat di Kabupaten Belu maupun di Timor Leste. Lokasinya di Desa Tnimanu sekitar 44 Km dari Atambua.
Atambua juga kian ramai dikunjungi wisatawan maupun pebisnis. Maklum kota ini menjadi transit poros Kupang ke Dili, ibukota negara Timor Leste.
Ada belasan hotel kelas melati yang layak diinapi antara lain Hotel Nusantara Dua. Rata-rata hotelnya ramai pada hari-hari biasa, mulai Senin sampai Jum’at. Tamunya para pebisnis dari Kupang dan kota lain juga dari Dili serta instansi pemerintah.
Di kota ini mudah ditemukan rumah makan Padang yang pastinya menyajikan aneka masakan Minang yang halal.
Murahnya harga seekor sapi di sini menjadi salah satu faktor banyak perantau asal Sumatera Barat yang merantau di Atambua dan di sejumlah kecamatan di Belu.
Atambua juga diminati wisatawan karena memiliki atraksi budaya, seperti Tarian Likurai dan Tarian Tebe.
Wisatawan juga bisa memborong kerajinan khas Tenun Belu berupa Tais Futus (tenun ikat bersulam) dan Tais Soru (kain Tenunan).
Menjadi daerah perbatasan (cross border) tentunya menguntungkan bagi Kabupaten Belu dari sektor pariwisata, asalkan dikemas/dikelola dengan baik dan berjangka panjang serta dipromosikan secara gencar dan tepat sasaran, antara lain dengan melibatkan jurnalis/blogger khusus wisata yang andal.
Kenapa? Ya karena bisa menarik kunjungan asal Timor Leste dalam jumlah signifikan, juga wisman dari negara lainnya yang tengah berwisata di Timor Leste dan ingin melanjutkan kunjungannya ke Indonesia, terutama ke NTT dan provinsi lainnya lewat jalur darat (overland).
Wisman yang kerap datang ke Atambua selain dari Timor Leste, juga dari Australia, dan Eropa, sisanya dari negara-negara ASEAN.
Selama ini biasanya wisman asal Negeri Kangguru juga Eropa, lebih banyak yang hanya transit di Atambua sebelum ke Dili atau sebaliknya ke Kupang.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
0 komentar:
Posting Komentar