Inilah 15 Indikator Kota/Kabupaten Berkalender Wisata Terbaik
Jumlah kota/kabupaten Indonesia ada ratusan. Setiap tahun sebagian besar membuat Calendar of Events untuk menjaring wisnus dan wisman. Namun rata-rata telat bahkan ada yang tidak me-launching-nya. Sanpai tahun ini hanya segelintir yang mendapat gelar agenda wisata terbanyak event-nya, tercepat launching-nya, dan tereksis expose-nya. Belum ada satu pun yang pantas menyandang predikat kota/kabupaten berkalender wisata terbaik.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Ada beberapa indikator yang harus dipenuhi sebuah kota/kabupaten jika ingin Calendar of Events (CoE)-nya berpredikat terbaik.
Berdasarkan hasil pengamatan Travelplus Indonesia selama ini, sekurangnya ada 15 indikatornya.
Pertama, CoE tersebut harus mempunyai banyak even yang berkualitas, baik berskala nasional maupun internasional. Contoh, Bali dengan even Pesta Kesenian Bali dan lainnya.
Jumlah even yang berkualitas dunia harus lebih besar dari even yang berkualitas lokal. Jangan sampai CoE-nya yang penting punya banyak even tapi apa adanya dan bersifat jangka pendek sehingga jauh dari kata bermutu.
Kedua, launching CoE-nya dilakukan beberapa bulan sebelum akhir tahun. Misalnya kalau kalender wisatanya 2018, minimal sudah di-launching bulan November 2017. Bukan awal 2018.
Ketiga, launching-nya harus berskala nasional, jangan di kandang sendiri melainkan di Jakarta. Bisa bekerjasama dengan kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Pariwisata (Kemenpar) atau dengan pihak swasta.
Keempat, lokasi launching-nya harus di tempat yang strategis seperti di mal dan atau public space lainnya yang ramai dikunjungi masyarakat Jakarta dan sekitarnya dengan kemasan acara yang menarik dan kreatif.
Kelima, mengundang sejumlah jurnalis/blogger khusus pariwisata yang andal dan tepat, saat launching CoE-nya dan saat pelaksanaan even-evennya agar terekspos luas, sekaligus dapat memberi masukan agar ke depannya lebih baik dan berkualitas.
Prilaku melek promosi harus dimiliki walikota/bupati/kadisbudpar/kepala bidang promosinya. Jika tidak, CoE-nya hanya sebatas ‘jeruk makan jeruk’, cuma buat kalangan sendiri/interen, bukan justru terpromosikan dengan gencar dan tepat sasaran.
Keenam, CoE-nya harus eksis dengan cara di-share ke media sosial (medsos) dalam bentuk foto maupun video.
Selain itu di-publish di blog, dibuatkan buku saku yang memuat CoE dengan info yang lebih lengkap, serta dibuatkan backdrop/selebaran/poster/spanduk/papan reklame, dan lainnya kemudian dipasang di lobi hotel/resto/café/bandara/stasiun, terminal, halte, dan tempat-tempat strategis lainnya.
Ketujuh, info CoE-nya harus komplit. Selain tertera nama even, tanggal, venue, foto even, dan contact person (CP), juga mencantumkan peta lokasi, alat transportasi, paket wisata terkait even tersebut, dan ditambah info even utama CoE tahun berikutnya. Misalnya kalau yang dirilis itu CoE 2018, maka harus disertakan menu utama CoE 2019.
Rasanya tak perlu mencantumkan gambar pejabat pemerintah (menteri/gubernur/bupati/walikota) apalagi dengan ukuran jumbo, karena yang dibutuhkan wisatawan bukan itu melainkan informasi sedetil-detilnya/selengkap-lengkapnya mengenai even tersebut berikut foto-foto objek wisata atau kegiatannya yang menarik.
Kedelapan, info CoE-nya bisa diakses di website maupun mobile app khusus sejak di-launching secara nasional.
Kesembilan, kalau target pasar evennya itu wisman, misalnya asal Malaysia, maka CoE-nya harus disebarluaskan pula di Malaysia dengan waktu dan tempat seperti indikator kedua dan keempat di atas. Atau bisa bekerjasama dengan travel agent setempat dan pihak terkait lainnya.
Kesepuluh, even-evennya tidak pasaran (tidak serupa dengan even daerah lain, atau dengan kata lain tidak menjiplak). Andaikan ada yang serupa misalnya even tour sepeda, parade budaya, carnival dan lainnya, harus punya keistimewaan/kekhasan/daya tarik tersendiri.
Kesebelas, evennya variatif dan bersifat spektakuler, ada even seni budaya, kuliner, wisata olahraga, bahari, petualangan, religi, sejarah, pameran, musik dan lainnya.
Keduabelas, evennya mandiri artinya alokasi dananya tidak tergantung dari bantuan pemerintah pusat (Kemenpar) melainkan gabungan PAD dengan sejumlah pihak industri wisata dan lainnya.
Lebih bagus lagi kalau punya tabungan khusus untuk membiayai setiap evennya sehingga lancar terlaksana setiap tahunnya. Dengan begitu, tidak ada alasan klise lagi tidak di-launching/telat/tidak bikin even karena anggaran minim, anggaran belum telat turun, anggaran dialihkan, dan alasan purba lainnya.
Ketigabelas, evennya berdampak pada peningkatan kunjungan wisnus dan wisman serta pendapatan perekonomian rakyat serta PAD.
Keempatbelas, evennya melibatkan warga lokal. Jangan sampai warga lokal hanya jadi penonton.
Kelimabelas, evennya punya manfaat bagi pengembangan objek wisata setempat. Misalnya kalau evennya diadakan di objek wisata pantai atau sejarah, harus bisa memberikan donasi untuk pengembangan objek-objek tersebut, entah itu untuk kebersihan, pembuatan fasilitas pendukung, dan lainnya.
Itulah 15 indikator yang harus dipenuhi kota/kabupaten, jika ingin CoE-nya menyandang predikat terbaik. Kalau tidak bisa semuanya dipenuhi, minimal indikator pertama sampai kedelapan terpenuhi.
Mudah-mudahan ke-15 indikator di atas bisa dijadikan bahan acuan oleh seluruh pihak terkait, terlebih pemkot/pemkab/pemprov beserta dinas-dinas kebudayaan dan pariwisatanya di seluruh Indonesia, agar pariwisata Indonesia lebih maju dan bermutu serta bermanfaat bagi peningkatan perekonomian rakyat, bukan sekadar target kunjungan wisnus dan wismannya tercapai.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
0 komentar:
Posting Komentar