Ngantor di Puncak Tertinggi Marapi, Ah Bukan Cari Sensasi
Bosan ngantor di rumah, di café apalagi di kantor? Cobalah sesekali di outdoor beraroma petualangan. Tinggal pilih, mau di pantai berpasir putih sebuah pulau terpencil yang masih perawan, di keteduhan hutan belantara yang jarang terjamah, di lembah savana berpadang edelweiss, di dekat air terjun yang hening atau di kemegahan puncak gunung api berpanorama menawan.
Selain memusnahkan kejenuhan, cara itu pun dapat membuahkan semangat baru. Ini cocok buat Anda yang dulunya gemar berkegiatan di alam bebas lalu terkukung rutinitas kerja kantoran sekian lama.
Selain memusnahkan kejenuhan, cara itu pun dapat membuahkan semangat baru. Ini cocok buat Anda yang dulunya gemar berkegiatan di alam bebas lalu terkukung rutinitas kerja kantoran sekian lama.
Saya bisa merasakan dan mengatakan manfaatnya itu, karena baru-baru ini melakukannya, dengan berkantor sejenak di salah satu puncak gunung di Sumatera Barat (Sumbar), tepatnya di puncak Gunung Marapi usai meliput rangkaian acara Pesona Hoyak Tabuik Piaman 2016 di Kota Pariaman.
Kamis (20/10), saya bergerak menuju Koto Baru dari Kota Padang setelah bermalam di rumah Julian Bernardi, sobat lama semasa kuliah yang sudah beberapa tahun tinggal dan bekerja di Padang, Ibukota Sumbar ini.
Tak jauh dari seberang pusat perbelanjaan Basko, saya naik mobil angkutan sejenis L-300 berlabel ‘Ayah’ dengan rute Padang-Payahkumbuh.
Saya tidak sendiri, Erwandi Sahputra dan Ikha Patriana menjadi rekan sependakian saya ke Gunung Marapi kali ini.
Erwandi yang akrab disapa Bojex merupakan pecinta alam dan pendaki gunung senior di Sumbar. Pria asli Koto Baru ini lulusan Institut Teknologi Padang (ITP) jurusan Teknik Elektro yang sampai sekarang masih aktif berkegiatan di alam bebas.
Ikha sendiri tercatat sebagai mahasiswi semester 7 di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Padang. Gadis asli Pulau Sikakap, Kabupaten Mentawai, Sumbar ini muka baru di kegiatan pendakian.
Gunung Marapi menjadi gunung perdana yang didakinya bersama saya dan Bojex.
Tak sampai 2 jam, kami tiba di Koto Baru, tarifnya Rp 20 ribu per orang. Kami turun di sebuah pasar di tepi jalan utama yang juga jalur wisata antara Kota Padang Panjang ke Kota Bukittinggi.
Tak sampai 2 jam, kami tiba di Koto Baru, tarifnya Rp 20 ribu per orang. Kami turun di sebuah pasar di tepi jalan utama yang juga jalur wisata antara Kota Padang Panjang ke Kota Bukittinggi.
Di Pasar Koto Baru yang hari pasarnya jatuh setiap Senin dan Selasa hingga kerap menimbulkan kemacetan ini, kami makan siang di kedai sederhana, kemudian membeli logistik untuk bekal pendakian di salah satu toko sembako.
Di rumah Bojex, kami packing perlengkapan pendakian yang wajib dibawa seperti 3 sleeping bag, 3 matras, 1 tenda dome berkapasitas 5 orang, senter, jaket, pakaian ganti, obat-obatan pribadi, 2 direjen untuk tempat air berkapasitas masing-masing 5 liter, dan tentu saja bermacam logistik ke ransel kami masing-masing.
Sewaktu tiba di rumah Bojex saya sempat kaget, lantaran rumahnya merupakan Rumah Gadang Sambilan Ruang satu-satunya yang tersisa di Koto Baru.
Koto Baru merupakan nagari atau desa di kaki di antara dua gunung, yakni Gunung Marapi dan Singgalang. Dari nagari berhawa sejuk yang sebagia besar penghuninya bertani ini, biasanya para pendaki memulai pendakian, baik ke Gunung Singgalang maupun Marapi yang letaknya berseberangan, dipisahkan jalan raya.
Sore hari, dengan 3 ojek sepeda motor di pertigaan Koto Baru kami menuju Pos Marapi. Ongkosnya Rp 10 ribu per ojek. Di pos tersebut semua pendaki wajib mendaftar dan membayar tiket pendakian Rp 10 ribu untuk setiap pendaki nusantara dan Rp 25 ribu per pendaki asing atau mancanegara.
Bagi yang membawa kendaraan, dikenakan tarif parkir Rp 10 ribu per motor dan Rp 25 ribu per mobil sampai pendaki kembali turun.
Dari pos pendaftaran itulah pendakian ke puncak Marapi yang berketinggian 2.891 Meter di atas permukaan laut (Mdpl) ini dimulai.
Jalur awal yang dilalui pendaki masih beraspal hingga ujung perkebunan penduduk.
Kami sempat bertemu beberapa penduduk yang tengah bekerja, salah satunya ibu muda bernama Inur yang tengah memanen terong ungu di kebunnya yang berada di tepi kanan jalan.
Inur dengan ramah menawarkan saya beberapa buah terong dari tanamannya, dan saya pun menerimanya dengan senang hati. Lumayan buat campuran mie rebus dan tumis ikan sarden nanti di camp.
Lepas dari kebun milik Inur, kami lanjutkan langkah. Jalurnya masih beraspal dan masih bisa dilalui motor. Di kiri jalan terhampar kebun tomat dan lobak atau kol. Sayang petaninya tidak ada.
Di ujung perkebunan batas terakhir dengan kawasan hutan Marapi, kami masih bertemu dengan ladang tanaman lado (cabe). Kebetulan ada pemiliknya yang tengah panen. Bojex pun berinisiatif meminta cabe rawit. Petani itu pun mempersilakannya memetik sendiri.
Selepas ladang itu, kami lanjutkan perjalanan sampai di Pos KSDA. Namun sebelumnya berdoa bersama agar diberi kelancaran selama pendakian hingga turun kembali.
Di pos KSDA ini ada tiga bangunan utama, yakni rumah panggung dari kayu bercat hijau milik KSDA Marapi, toilet berjumlah dua kamar, dan musholah.
Di pos KSDA ini ada tiga bangunan utama, yakni rumah panggung dari kayu bercat hijau milik KSDA Marapi, toilet berjumlah dua kamar, dan musholah.
Di pos ini kerap dijadikan base camp para pendaki sebelum ataupun sesudah mendaki Marapi. Kerap juga digunakan buat perkemahan setiap Sabtu-Minggu. Maklum di sekeliling pos ini ada tanah lapang dan tentunya toilet serta sumber air.
Di toilet yang ada di pos tersebut, saya sempatkan BAB karena tak mau ‘buang hajat’ di atas gunung. Tak lupa tunaikan Shalat Ashar di musholahnya yang terbuka namun berlantai porselin coklat dengan beberapa sajadah, mukena, dan sarung.
Selanjutnya kami beranjak lagi memasuki hutan hingga bertemu mata air yang disebut Sumur Koncek. Dinamakan begitu karena karena terdapat beberapa katak (koncek-dalam Bahasa Minang) di sekitar sumur berukuran kecil itu dan juga sejumlah kecebong atau anak katak di dalamnya.
Ikha mengisi air di salah satu direjen yang dibawanya. Ketika saya mau mengambil dirijen plastik warna putih yang saya ikat di belakang ransel, ternyata tidak ada.
Akhirnya saya kembali ke Pos KSDA untuk mencarinya, siapa tahu tertinggal di sana. Tapi tidak ada. Justru saya menemukan beberapa dirijen yang sengaja ditinggalkan pendaki di kolong rumah panggung KSDA. Saya pinjam satu dan kembali ke Sumur Kocek untuk diisi dengan air alami.
Selain Sumur Kocek masih ada dua sumber air yang ada di jalur pendakian Marapi lewat Koto Baru, yakni di Pos Sumber Air 1750 Mdpl dan Pos Pintu Angin. Namun saat musim kemarau, air di sumber mata air tersebut kadang menipis.
Selepas Sumur Kocek, hari sudah gelap. Hewan tongerek berbunyi serempak seperti ingin memberitahukan bahwa malam sudah datang. Kami pun menggunakan lampu senter sebagai penerang jalan.
Ada jembatan bambu yang harus kami lewati sebelum sampai di warung milik Uni Liberti yang saat itu belum buka.
Setelah itu kami harus berjibaku melawan gelap, dingin, beban berat, dan tentu saja medan yang variatif menanjak dan diselengi trek datar yang kami sebut ‘bonus’.
Entah beberapa kali kami berhenti setiap kali menapaki medan menanjak hingga akhirnya kami memutuskan mendirikan tenda di lahan datar setelah Pos Atas Paninjauan, tepat pukul 1 malam.
Paginya, selepas sarapan kami lanjutkan perjalanan ke Cadas, pos terakhir sebelum ke Puncak Marapi. Namun terlebih dulu melewati Pos Pintu Angin yang treknya terasa semakin menanjak.
Sebagai penghibur dari rasa lelah, di Pos Pintu Angin kami foto-foto berlatar pemandangan menawan Gunung Singgalang dan Gunung Tandike yang letaknya berdampingan, serta lembah subur di antara Marapi dan Singgalang yang membentang luas.
Dari pos yang agak terbuka hingga hembusan angin begitu terasa ini, terlihat juga Kota Padang Panjang yang berjuluk Kota Serambi Mekkah dan juga Kota hujan. Nampak pula Koto Baru hingga Kota Bukittinggi berikut persawahan, ladang, jalan raya, dan rumah-rumah penduduk yang sepertinya semakin bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun.
Untuk sampai ke Cadas, treknya kian menanjak dan berbatu.
Jumat (21/10) pukul 10 pagi, akhirnya kami tidak di Cadas.
Di sekitar Cadas, ada warung milik Uda (abang dalam Bahasa Minang) Naro yang menjual aneka makanan ringan, mie, teh, kopi, rokok, dan lainnya. Sayangnya tutup.
Kata Bojex, biasanya Uda Naro buka warungnya Sabtu hingga Minggu saja, terutama saat pendakian ramai.
Sekitar 20 meter dari warung tenda terpal plastik itu, kami mendirikan tenda.
Selesai mendirikan tenda, Bojex memasak menu utama untuk makan siang, Ikan Sarden ditambah potongan terong dan mie rebus dengan potongan cabe rawit.
Selagi memasak, salah seroang pendaki asal Pekanbaru, Riau yang tendanya berdiri di bawah tenda kami, memberikan dua piring plastik masing-masing berisi kerupuk dan bakwan goreng.
Lengkap sudah menu makan siang kami, sebelum bersantap, kami sempat mengembalikan dua piring milik tetangga terdekat itu dengan memberikan ikan sarden plus terong dan beberapa potong roti tawar.
Usai santap siang, kami tidak melanjutkan ke puncak karena cuaca gelap. Kami santai-santai di dalam tenda.
Jelang sore aktivitas ngantor pun dimulai saat matahari perlahan tenggelam di balik awan di antara punggungan Gunung Tandike dan Singgalang.
Saya mulai mengetik tulisan ini sambil diabadikan Bojex. Setelah itu bergantian Bojex dan Ikha ‘ngantor’ dan tentunya seraya narsis.
Ngantor perdana di Cadas dengan latar belakang sunset memompa semangat kami untuk meraih puncak Marapi keesokan paginya.
Di Cadas, kami bermalam. Ini malam kedua kami di gunung berapi yang masih aktif ini.
Selepas membuat menu makan malam, kami dikejutkan dengan seekor babi berukuran besar melintas di depan tenda. Anehnya, babi itu santai saja berjalan sambil memandangi kami yang terpana karena melihat ukuran babi itu yang besar dan bercaling gading.
Sebelumnya kami sudah dikejutkan dengan seekor babi berukuran kecil dengan warna rambut kecoklatan dan ada garis rambut berwarna kekuningan, oleh karena itu kami namakan babi itu ‘highlight’.
Pagi usai sarapan, kami pun bergegas menapai medan Cadas menuju puncak Marapi. Bojex membingat kami supaya jalan fokus dan hati-hati karena medannya sebagian berupa batu dan kerikil yang berserakan di sepanjang trek.
Akhirnya kami sampai di Tugu Memorial Mulzafri, pendaki yang tewas saat mendaki Marapi 26 April 2015 dan tugunya didirikan setahun kemudian.
Puas foto-foto di Tugu Memorial dengan latar pemandangan terbuka berupa panorama Gunung Tandike dan Singgalang, kami bergerak ke Tugu Memorial berikutnya yang letaknya lebih tinggi, yakni Tugu Memorial Abel Tasman yang tewas 5 Juli 1992.
Selepas itu kami berjalan di medan datar yang luas, luasnya kira-kiras melebihi dua kali lipat lapangan sepakbola. Di lapangan berpasir ini terdapat batu-batu yang disusun beberapa pendaki membentuk tulisan namanya.
Usai melewati lapangan yang kami sebut medan diskon 100 % karena luas dan datar itu, kami tiba di kawasan puncak Marapi.
Ada 4 titik puncak, pertama setelah lapangan datar dengan panorama kawah utama, kedua sebelah kiri puncak di atas kawah utama dimana terdapat alat pengukur gempa, ketiga ke arah kanan puncak dengan latar pemandangan Danau Singkarak nun jauh di bawah sana, dan terakhir Merpati yang merupakan puncak tertinggi Gunung Marapi.
Ada 4 titik puncak, pertama setelah lapangan datar dengan panorama kawah utama, kedua sebelah kiri puncak di atas kawah utama dimana terdapat alat pengukur gempa, ketiga ke arah kanan puncak dengan latar pemandangan Danau Singkarak nun jauh di bawah sana, dan terakhir Merpati yang merupakan puncak tertinggi Gunung Marapi.
Untuk mencapai Merpati, ada jalur menanjak yang diapit dua jurang. Sebelah kiri jurang yang mengarah ke panorama Danau Singkarak dan sebelah kiri jurang ke kawah utama Marapi yang tak pernah lelah mengepulkan asap belerangnya, tanda gunung ini masih aktif.
Di titik puncak tertinggi Gunung Marapi itulah kami kembali ngantor usai puas berfoto dan mengabadikan pemandangan di segala penjuru arah yang begitu menawan.
Di Puncak kami pun bertemu Arief, pendaki asal Padang Panjang yang kini tinggal di Ciledug, Jakarta dan Chandra teman semasa SMP-nya. Usai berkenalan dan ngobrol di puncak, kami pun berfoto bersama.
Selepas berkantor di puncak Merpati, kami turun melewati rute yang sama. Setibanya di Cadas kami sempat mampir di Warung Uda Naro untuk santap siang.
Selepas berkantor di puncak Merpati, kami turun melewati rute yang sama. Setibanya di Cadas kami sempat mampir di Warung Uda Naro untuk santap siang.
Sabtu (22/10) siang kami turuni Marapi hingga tiba di sore di Pos KSDA. Sewaktu turun, kami berpas-pasan dengan ratusan pendaki yang tengah tertatih-tatih menapaki trek variatif Marapi.
Kebanyakan pendaki yang kami temui dari Pekanbaru-Riau selain dari Kota Padang, Kota Padang Panjang, Kota Pariaman, dan Kota Bukittinggi.
Uniknya sapaan mereka saat bertemu dengan sesama pendaki, kalau laki-laki disapa “Pak” sedangkan perempuan “Bu” sekalipun belum menikah. Jadinya terkesan formil dan merasa seperti sudah tua sekali.
Saya sendiri sampai bosan dipanggil dengan sapaan “Pak”. Maunya ya disapa bang atau om saja.
Saya sendiri sampai bosan dipanggil dengan sapaan “Pak”. Maunya ya disapa bang atau om saja.
Ternyata "Pak" dan "Bu" itu sapaan akrab para pendaki di gunung-gunung yang ada di Sumbar, termasuk Marapi yang menjadi gunung paling popular se-Sumbar dan Riau.
Pas Maghrib kami tiba di Koto Baru di Rumah Gadang kediaman Bojex. Selepas sholat dan makan malam, saya kembali merampungkan tulisan ini hingga tuntas. Misi ngantor di puncak Marapi berjalan sukses, cuaca bersahabat meskipun harus inap dua malam di lerengnya. Alhamdulillah.
Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig:@adjitropis)
Foto: adji & bojex
0 komentar:
Posting Komentar