Empat Hal ini Bikin Wisata Halal Terhambat
Wisata halal tengah naik daun di dunia. Dari 230 miliar penduduk dunia, peminatnya terus meningkat. Sejumlah negara sudah lebih dulu mengemasnya. Indonesia pun ikut-ikutan meliriknya mengingat kue pasar wisata muslim dunia amat besar. Peluang Indonesia untuk merebut porsi lebih kue itu terbuka lebar, sebab Indonesia punya banyak modal untuk itu. Sayangnya pengembangan wisata halal di Tanah Air berjalan lamban. Masalahnya masih terbentur 4 hal.
Seperti disampaikan ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung Anang Sutono kepada Travelplusindonesia dari Bandung lewat pesan WA, Jumat (24/6), ada empat (4) hal utama yang menghambat pengembangan wisata halal di Indonesia yaitu Human Capital, Government Support, insfrastructure, dan satu lagi Standard.
Government Support yang dimaksud Anang bukan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pariwisata (Kemenpar), melainkan pemerintah daerah (pemda).
Dukungan Kemenpar terhadap pengembangan wisata halal di Tanah Air menurutnya sudah bagus, tidak kurang, bukan basa-basi, tidak setengah hati, dan bukan omdo (omong doang).
“Dukungan Kemenpar sudah top markotop.
Pak AY memang oyeee,” ujar Anang.
Pak AY yang dimaksudnya itu tak lain adalah Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yang memang biasa disapa AY.
“Yang harus dibangunkan justru adalah daerah,” tambahnya. Tanpa merinci daerah mana yang dimaksud, apakah semua pemda di Nusantara atau daerah-daerah tertentu.
Ketika disinggung kenapa Kemenpar terlihat lebih bersemangat menjaring wisatawan Tiongkok (China) dibanding wisatawan muslim dunia misalnya dari kawasan Timur Tengah dan lainnya, Anang punya jawaban tersendiri.
Menurutnya kalau bicara prioritas, pada dasarnya growth atau pertumbuhan ekonomi China memang mantap. “Tapi Moslem countries akan secara signifikan menggebrak,” akunya.
Saat ditanya apa yang harus dilakukan Pemda untuk menjaring wisatawan muslim dunia, terutama Pemda di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas non muslim mengingat sejumlah destinasi andalan Indonesia juga berada di kantong-kantong mayoritas non muslim di antaranya Bali, NTT, Raja Ampat dan sejumlah obyek di Papua, Bunaken di Manado, Danau Toba di Sumut, dan Toraja di Sulsel?
Anang punya pandangan sendiri.
Menurutnya wisata halal ini bukan berperspektif agama tapi perubahan dan perkembangan perspektif baru pariwisata dunia.
Halal tourism itu, lanjutnya merupakan kebutuhan "need", peminatnya bukan hanya moslem tourism atau wisatawan muslim saja.
“Fenomena Islamic Values and Norms menjadi kebutuhan universal dari wisatawan. Pengertian halal di sini mencakup sehat, bersih dan lainnya sehingga quality of tourism services akan makin mantap,” jelasnya.
Indikator dari halal tourism itu, sambungnya adalah untuk memenuhi ekosistem kegiatan wisata yang halal. “Baik itu produknya, support pemerintah, infrastruktur, dan human capital. Indikator tersebut harus saling bersenergi untuk membangun halal tourism,” tambahnya.
Lalu bagaimana wisman muslim bisa betah dan mau datang lagi kalau destinasi-destinasi di daerah non muslim, jika tidak moslem freindly, fasilitas yang ramah muslim amat minim, mushola jarang apalagi masjid, rumah makan halal terbatas, dan lainnya?
Lalu bagaimana wisman muslim bisa betah dan mau datang lagi kalau destinasi-destinasi di daerah non muslim, jika tidak moslem freindly, fasilitas yang ramah muslim amat minim, mushola jarang apalagi masjid, rumah makan halal terbatas, dan lainnya?
“Betul itu, makanya government support masih menjadi tantangan tersendiri. Harus dibangunkan,” tegasnya.
Untuk membantu memecahkan 4 masalah di atas, sambung Anang makanya STP Bandung membentuk Enhai Halal Tourism Centre (EHTC). “Peresmian EHTC berlangsung di Bandung, Jumat kemarin. Timnya mulai turun ke lapangan setelah Lebaran,” terangnya.
Kata Anang, EHTC ini merupakan wadah untuk membantu pariwisata Indonesia. Kinerjanya melakukan riset mengenai halal tourism destination. "Selain itu learning and community development atau membangun human capital and community services," ungkapnya.
Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig:@adjitropis)
Foto: adji & dok. anang sutono
0 komentar:
Posting Komentar