Serunya “Kondangan” ke Telaga Warna, Monyet pun Terpesona
Telaga Warna di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat cuma satu. Letaknya pun tak sampai 300 meter dari jalan raya Puncak, tepatnya di seberang Rumah Makan Rindu Alam yang tersohor sejak dulu itu. Tapi anehnya banyak yang tidak tahu keberadaannya. Buktinya, kelima rekanku yang note bene kerap wara-wiri ke kawasan berhawa sejuk ini, tidak ada yang tahu. “Woooiii…, kemana aja kalian dari dulu,” godaku.
Sebenarnya tujuan utama kami hari itu bukan ke Telaga Warna, melainkan ke Istana Cipanas. Meliput acara budaya sekaligus melihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari dekat sebelum dia kembali menjadi rakyat biasa. Maklum dalam hitungan hari lagi Presiden RI ke-6 itu bakal melepas jabatannya.
Karena ke Istana Kepresidenan, jelas baju batik, celana bahan, dan sepatu non sport pun kami kenakan dari Jakarta. Tapi sesampainya di sana justru, batik yang kami pakai harus diganti dengan kaos putih. Semuanya tanpa kecuali, termasuk panitia dan rombongan Pak SBY dan keluarga serta jajaran menterinya.
“Ah udah pakai batik dari rumah, sampai sini ganti. Ga asyik nih,” celuk Wawa. “Ya udah dari Istana ini kita ke Telaga Warna pakai batik,” balasku menghiburnya. “Tapi kita cari bakso dulu ya nanti,” pinta Ana yang memang penggila bakso.
Ongki, sopir avanza yang membawa kami, pun meluncur meninggal Istana Cipanas menuju Telaga Warna jelang sore. Tak sampai 20 menit, kami tiba di seberang Rumah Makan Rindu Alam II, tepatnya di deretan kios pedagang sayur dan buah khas Puncak, di mana terdapat plang bertuliskan Taman Buah Telaga Warna.
Melihat deretan aneka sayur dan buah yang segar dan tertata rapi di deretan kios tersebut, naluri belanja perempuan rekan-rekanku ini pun kambuh. Evi, Wawa, dan Ana langsung pasang aksi, pilah-pilih dan tentu saja tawar-menawar dengan pedagangnya.
Daripada mengikuti para ibu belanja, aku dan Aldi memilih nongkrong di warung Dedeh, dekat deretan kios tersebut. "Ngopi dan tahu Sumedang enak juga nih," kata Aldi Ongki pun ku ajak untuk gabung menikmati kopi plus tahu Sumedang yang baru digoreng..
Vani tiba-tiba datang. Entah kenapa perempuan beranak putri kembar ini tak tertarik bergabung dengan kaumnya berbelanja.
“Mas, kayaknya ubi Cilembu enak tuh,” ujarnya. Aku langsung pesan ubi madu yang dimaksud Vani. “Teteh, pesanin ubi madu panggang ya,” pintaku.
Tak lama kemudian ubi Cilembu datang. Kami berempat menyantapnya. “Alamak enak bingits, cocok sama udara puncak yang sejuk,” kata Vani.
Dari warung itu, aku melihat ketiga rekanku yang lain masih asyik belanja buah dan sayur. Mereka sepertinya sudah lupa, bawah tujuan utama ke sini ke Telaga Warna, bukan hanya belanja. Aku datangi mereka, membantu bawaan belanjaannya. Ada manggis, tomat, terong, kembang kol, mentimun, wortel, nenas, pisang, alpukat, dan lainnya. Pak Zaenal, salah satu pedagang sampai memberikan mereka bonus papaya karena dagangannya “diserbu”.
Melihat aneka buah dan sayur mereka, Vani akhirnya tergoda juga. Dia langsung turun dari warung untuk belanja manggis, dan lainnya. “Hmmm, kirain beda, ga suka belanja. Eh sama aja, dasar naluri ibu-ibu,” gumanku dalam hati.
“Jadi ke Telaga Warna ga nih?, tanya Wawa sambil menyantap pepaya. “Jauh ga sih jalannya?, sambung Evi. “Jadi lah, kan tanggung dah sampe di sini,” balasku. “Ya udah pake sandal aja, biar nyaman,” saranku.
Para ibu itu pun langsung ngacir ke warung dekat deretan kios buah sayur. Mereka belanja sandal jepit masing-masing. “Ah dasar ibu-ibu, kirain sudah bawa sandal dari rumah,” gumanku lagi.
Kami pun segera menuju Telaga Warna dari belakang deretan kios tersebut . Kami melewati musolah yang tengah dibangun. Dulu, puluhan tahun silam, musolah itu pernah aku inapi waktu begadang di puncak.
Selepas musolah, terbentang perkebunan teh yang menghampar bak permadani hijau raksasa di kiri-kanan setapak, menggoda rekan-rekanku. “Foto-foto dulu di sini mas,” pinta Evi, si ratu narsis.
Kami pun beraksi jeprat-jepret dengan kamera, smartphone, dan BB lengkap dengan baju batik. “Keren juga nih fotonya, bener-benar kayak kondangan ke Telaga Warna,” ujarku sambil menunjukan foto kepada rekan-rekanku.
Foto-foto di perkebunan sebelum sampai di pintu masuk Telaga Warna ini, tidak gratis lho. Ada penjaganya yang menawarkan tiket masuk seharga Rp 4.000 buat foto-foto di perkebunan teh tersebut.
Akhirnya kami tiba di pintu masuk merangkap loket Telaga Warna. Tiket masuknya Rp 2.500 untuk turis domestik dan Rp 25.000 untuk turis mancanegara.
Telaga Warna sendiri berada sekitar 15 Meter dari pintu masuk. Telaga ini berada di ketinggian 1.400 Meter dari atas permukaan laut (Mdpl).
Telaga ini diapit deretan bukit yang membatasi wilayah Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Cianjur.
Luasnya lumayan, sekitar 1,5 hektar. Letaknya agak tersembunyi lantaran dikepung hutan tropis berstatus hutan konservasi alias hutan lindung yang kaya akan pepohonan besar, semak belukar, dan hewan liar.
Statusnya kini Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna. Floranya yang dilindungi di sini antara lain jenis pepohonan seperti Saninten, Puspa, dan Rasamala; jenis tumbuhan bunga seperti Kantong Semar dan Anggrek Kasut serta jenis tumbuhan obat antara lain Pulasari, Katungtungkul, dan Tabatbarito.
Sebelum tiba di tepi telaga, kami disambut beberapa ekor monyet surili (presbytis aygula). Di pepohonan lainnya terlihat juga monyet ekor panjang/kera abu-abu (macaca fascicularis) atau lutung (prebytis cristata) yang bergelantungan dari satu pohon ke pohon yang lain.
Aku sendiri dulu pernah melihat babi hutan (sus serova) dan Elang Jawa yang melayang-layang di langit birunya seperti sedang mengawasi kawasan ijo royo-royo ini. Beberapa orang lain katanya pernah melihat macan tutul (panthera tigris).
Total luas kawasan TWA Telaga Warna mencapai 6,5 hektar, terdiri dari 5 hektar hutan konservasi dan 1,5 hektar luas danau. TWA ini berada di bawah naungan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bandung.
Sewaktu kami tiba di Telaga Warna, airnya berwarna kehijauan. Di saat-saat lain warna airnya bisa berubah-ubah. Kadang hijau, cokelat, kuning, sampai kuning terang sekali atau kuning kunyit. Makanya danau ini dinamakan Telaga Warna.
Menurut catatan ilmiah, hal itu dikarenakan pantulan dari dedaunan pepohonan yang ada di tepian telaga. Warnanya bisa berubah sampai 7 warna.
Namun berdasarkan legenda beda lagi. Konon, dulu kala di lereng Gunung Lemo, Mega Mendung ini ada sebuah kerajaan bernama Kutatanggeuhan atau Kerajaan Kemuning yang dipimpin oleh Prabu Swarnalaya.
Pada suatu ketika, sang putri kerajaan bernama Gilang Rukmini memiliki keinginan untuk menghias setiap helai rambutnya dengan emas permata tapi tidak terpenuhi. Sang putri pun murka Dia melemparkan semua emas permata pemberian Raja. Seketika berguncang lalu air keluar dari tanah yang makin lama makin besar hingga menenggelamkan Kerajaan tersbut berikut isinya. Akhirnya terbentuklah sebuah danau yang dari dasarnya memancar cahaya berwarna-warni, berasal dari permata yang buang tadi.
Saat berada di telaga ini,terlihat sejumlah turis Arab. Ada yang tengah bersantai duduk beralas tikar di tepiannya. Beberapa lagi terlihat naik rakit bambu mengelilingi danau.
Ada juga yang meluncur ber-flying fox dari ujung tepian danau ke ujung lainnya dengan seutas tali baja dan perlengkapan lainnya.
Sejak beberapa tahun belakangan ini, Telaga Warna memang menjadi salah satu objek wisata favorit turis dari kawasan Timur Tengah di kawasan Puncak, Bogor. Objek lainnya Taman Safari Cisarua, Taman Bunga Nusantara, dan Cimory, serta warung kaleng.
Mitos Enteng Jodoh
Rupanya selain keindahan alamnya, Telaga Warna pun memiliki daya tarik dari mitosnya. Konon di dalamnya hidup sepasang ikan bernama Si Tihul dan Si Anting. Konon, bagi siapa saja yang dapat melihat penampakan kedua ikan ini, semua keinginannya akan terkabul.
Mitos lainnya, siapapun yang mandi di Telaga Warna akan enteng jodoh, banyak rejeki, dan awet muda. Dengan catatan setelah mandi, pakaian dalam ditinggalkan. “Ah ada-ada aja,” pikirku.
Tapi percaya apa tidak, di beberapa ranting pohon di telaga ini aku temukan sempak, celana dalam, kaos singlet, bahkan bra.
Jadi terbukti sudah pengunjung yang datang ke telaga ini ternyata bukan hanya untuk menikmati keindahan panorama dan kesejukan udaranya, tapi tak sedikit yang diam-diam bertujuan menjalani ritual mandi di telaganya.
Namun apapun tujuannya, pengunjung yang datang ke telaga ini dilarang mengambil satwa, tanaman, menebang pohon, dan memancing ikan di telaga seperti yang tertera di beberapa papan larangannya.
Puas mengabadikan telaga warna dan berfoto-foto, lengkap dengan baju batik, kami pun pulang. Tapi sebelum meninggalkan telaga ini para ibu kembali unjuk gigi, mereka belanja cimol dulu. “Ga dapat bakso, tapi lumayan ada cilok,” kata Ana.
Selain cilok di sini juga ada pedagang yang menjual sekoteng, aneka aksesoris, dan kerajinan mobil-mobilan dari kayu.
Lucunya sewaktu kami ingin pulang, beberapa monyet menatap sendu kami. Sepertinya mereka terpesona melihat kami kompak mengenakan batik, “kondangan” ke Telaga Warna yang sudah lama menjadi "istana" mereka.
Naskah: adji kurniawan (adji-travelplus@yahoo.com)
Foto: adji & ongki
Captions:
1. Pesona Telaga Warna, Puncak, Bogor, Jawa Barat.
2. Borong buah dan sayur khas Puncak Bogor .
3. Santap ubi Cilembu dan tahu Sumedang.
4. Bergaya di hamparan teh dekat pintu masuk Telaga Warna.
5. Mejeng di tepian Telaga warna yang kehijauan.
6. Makan cilok sebelum meninggalkan Telaga Warna.
0 komentar:
Posting Komentar