. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Senin, 18 Juni 2012

Merekam Badai Singgalang, Simponi Alam Nan Megah



Huuusssssshhh..., huuusssssshhh.... Begitu suara badai angin yang bergemuruh kencang, berulang-ulang di awal pendakian Gunung Singgalang, Rabu (6/6/2012) siang itu. Tiupan dasyatnya beradu dengan dedaunan dan ranting pepohonan juga ilalang dan bambu. Tak pelak menciptakan suara desiran yang berirama, bak sebuah orkestra yang tengah mengiringi simponi alam nan megah. Aku terhibur dan merekamnya.

Berpuluh-puluh gunung yang telah kudaki di negeri ini, baru kali ini aku temukan badai angin gunung seseru ini. Lebih seru dibanding waktu aku mendaki Gunung Lawu, usai bertemu dengan sekelompok orang Blora yang mengenakan baju hitam-hitam, seperti orang Badui Luar. Dan juga lebih seru daripada badai angin di Gunung Papandayaan beberapa waktu lalu maupun Badai Gerobokan di Gunung Slamet yang sudah memakan sejumlah korban pendaki gunung.

Dan seperti biasa, aku bukan menghindar tapi justru menikmatinya. Alhasil, bukan hanya mendapatkan sebuah tantangan yang mengasyikkan, yakni mendaki sambil disuguhi alunan simponi alam nan megah pun pemandangan yang berbeda.

Saking serunya, aku sengaja menuruni tempo langkahku untuk merasakan tiupan dingin badai angin yang tak henti menerpa wajah dan seluruh tubuhku.

Dan di tempat yang tepat, saat badai itu bergemuruh semakin hebat. Aku segera mengambil digital recorder. “Ini kesempatan langka dan harus kurekam,” kata hatiku.

Merekam suara alam, ya itulah kebiasanku saat berpetualang, selain memotret, menyanyi, dan mengarang lagu. Baik itu suara deburan ombak yang mengantam keras karang di pantai atau desiran angin yang mengalun kencang di gunung maupun di padang savana.

Suara alam itu kadang menginspirasiku dalam menciptakan lagu-lagu balada tentang alam dan lainnya. Dan kali ini dari hasil rekaman badai Singgalang yang melatunkan sabda alam, aku berhasil membuat 3 lagu balada terbaru.


Davit Riyadi (24), Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup (MPALH) Universitas Negeri Padang (UNP) yang menemani pendakianku ke Gunung Singgalang, justru terlihat sedikit cemas. Dia yang berjalan di depanku, heran melihatku tenang-tenang saja dan terus asyik merekam badai yang tengah mendera hebat.

“Bang, nanti kita lihat kondisi badainya yah,” ujarnya. Ada keraguan dibalik ucapannya itu. Aku berusaha menenangkannya. “Kita jalan santai aja, nikmati badai ini sambil nyanyi,” kataku yang memang sedari awal menghibur hati dengan menyanyikan lagu bernada melayu yang pernah sukses dibawakan Victor Hutabarat.

Sejak di awal pendakian di jalur hutan bambu dan ilalang, gemuruh badai angin Singgalang sudah jelas terdengar. Saat itu, kami bertemu dengan 7 mahasiswa dari Universitas Andalas (Unand), Padang yang baru saja menuruni Singgalang. “Kami kena badai dari kemarin, dan dinginnya luar biasa,” kata Ambar, salah seorang dari mereka.

Informasi itu tak membuatku ciut. Tapi justru kian tertantang. Dan aku percaya dengan ucapan Ambar. Terlihat dari kotornya celana dan sepatu yang dia dan juga keenam rekannya kenakan usai menuruni Singgalang yang beberapa bagian jalurnya memang berlumpur, terlebih saat hujan turun dan berbadai.

Cuaca di beberapa wilayah di Sumatera Barat (Sumbar) saat itu memang tengah buruk. Bahkan sehari sebelumnya, Kota Padang, ibukota Sumbar dilanda hujan disertai badai angin kencang. Dan beberapa kota lainnya seperti Bukittinggi pun diterpa hujan deras yang cukup lama. Langitnya kelam seharian.

Aku pikir karena kemarin sudah badai dan hujan deras, pasti hari ini cerah. Tapi ternyata tidak. Badai Singgalang masih meraja. Bahkan menurut Davit yang sudah 8 kali mendaki Singgalang, baru kali ini dia menemukan Badai Singgalang yang sedasyat itu. “Dulu pernah sekali kena badai. Tapi nggak separah ini. Kali ini benar-benar yang namanya badai Singgalang,” jelasnya.

Gunung Singgalang berketinggian 2.877 Mdpl yang berada di Kabupaten Agam, Sumbar ini, selain dikenal keindahannya karena memiliki telaga mungil bernama Telaga Dewi sebelum puncaknya dan juga hutan lumutnya, pun dikenal dengan badainya. Sudah banyak orang yang hilang dan tidak ditemukan di gunung berhutan lebat ini karena tersesat dan diamuk badainya.

Menguntungkan
Buatku, kehadiran badai siang itu justru menguntungkanku. Pukul satu, usai santap siang dengan sebungkus nasi Padang yang kubeli di warung makan Rinai di Pasar Koto Baru, berdua Davit, aku merasa bersemangat untuk segera menapaki medannya.

Kenapa kubilang menguntungkan. Berkat badai angin dingin itu, medan menanjak yang sedari awal mengisi pendakian, tak sampai menguras tenagaku. Bahkan aku yang biasanya berkeringat deras dari ujung kaki sampai kepala saat mendaki, saat itu tak berkeringat sama sekali.

Namun sebagai kompensasi tak berkeringat itu, dingin yang kami rasakan begitu luar biasa. Terlebih ba’da Magrib. Usai mendirikan tenda domme untuk bermalam di bawah Cadas, yakni nama jalur pendakian bermedan batuan cadas cukup terjal yang sesekali ber-scrimbing (memanjat tanpa perlu bantuan tali) untuk menapakinya, sebelum menuju kawasan hutan lumut dan Telaga Dewi, dinginnya kian menjadi.

Di dalam tenda saja seperti berada dalam kulkas. Kalau aku bandingkan, dinginnya setara dengan dingin Alun-alun Surya Kencana (Aa Surken), Gunung Gede, Jawa Barat saat sedang dingin-dinginnya.

Saking dinginnya, Davit tak berhasil membuat api unggun di depan tenda. Dia yang seminggu lalu baru saja mendaki Singgalang dan mengaku badannya saat ini kurang fit, akhirnya memilih tidur berselimut SB (sleeping bag).

Aku yang juga kedinginan, memilih menganti celana dan kaos dengan celana pendek dan sweeater yang lebih kering dan hangat, kemudian berselimut “SB” juga tapi bukan sleeping bag melainkan sarung bag hitam.

Dan berkat badai yang keesokannya mereda namun berganti dengan kabut tebal, membuat pemandangan sekitar hutan lumut dan Telaga Dewi menjadi begitu eksotis dan mencuatkan kesan mistik nan artistik. Suasana seperti itu pun aku rasakan saat berada di puncak Singgalang yang ditandai adanya tower pemancar bertenaga listrik.

Yang cukup mengejutkan, badai dan kabut tebal itu sampai membuat permukaan air Telaga Dewi berombak. “Baru kali ini saya lihat air telaga berombak kayak laut saja, padahal ukuran telaga ini kecil,” kata Davit yang mengaku baru kali ini sampai ke puncak Singgalang karena pendakian sebelum-sebelumnya, dia hanya sampai di Telaga Dewi karena kepicut lebih dulu oleh keindahannya.

Walau tak bertemu pesona matahari terbit dari Cadas dan tak melihat kota-kota di bawah kaki Singgalang dan dua gunung tetangganya, Marapi dan Tandikek dari puncaknya karena terhalang halimun. Namun setidaknya badai Singgalang dengan kabut tebalnya telah menyuguhkan pesona lain yang tak kalah menawan.

Dan uniknya, sekalipun badai angin dan kabut tebal tak pernah berhenti menemani sepanjang pendakian namun hujan lebat tak pernah turun sekejappun. Begitupun saat kami turun gunung usai santap siang di bawah Cadas bersama dengan 4 pendaki dari Bangko, Jambi yang bermalam di tepian Telaga Dewi. Sampai tiba di pos awal pendakian pada hari kedua, Kamis (7/6/2012) sore, tak berhujan sedikitpun.

Hanya gerimis saat pagi buta di bawah Cadas, sebelum kami menapakinya menuju hutan lumut dalam kelebatan kabut. Andai saja badai angin kemudian disusul hujan deras mengguyur terus-menerus, sempurna sudah pendakian Singgalang saat itu. Alhamdulillah, DIA menjaga kami.

Naskah dan foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

NB.: Terimakasih buat Davit Riyadi yang bersedia meluangkan waktu mendampingku mendaki Singgalang. Terimakasih juga buat Bojex, senior Davit yang semula ingin mengantarkanku namun berhalangan karena ada sesuatu hal, lalu menyuruh Davit menemaniku.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP