Intip Tradisi Jelang Ramadhan dari Jakarta, Lampung hingga Aceh
Dalam menyambut datangnya Ramadhan, warga muslim di berbagai daerah mengadakan bermacam kegiatan yang sudah turun-temurun setiap tahun. Di Jakarta dan beberapa daerah di Jawa, ada kebiasaan tradisi nyekar. Di Tanggerang, Lampung, dan Sumbar ada mandi bersama di sungai. Dan di Aceh ada tradisi Meugang dan juga mandi di laut. Apa tujuannya?
Warga Jakarta dan beberapa daerah lain di Jawa biasanya jelang Ramadhan melakukan nyekar ke makam orang tua atau kerabat. Di makam, warga membaca Surat Yasin. Ada juga yang sengaja meminta pengurus makam atau ustad untuk mempimpin doa dan membacakan Surat Yasin. Setelah itu peziarah menaburkan bunga dan menyirami makan dengan air.
Tujuan nyekar ini, untuk mendoakan ahli kubur agar diampunkan dosanya dan mendapat tempat terbaik di sisiNya.
Jelang Ramadhan ini, sejumlah Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Jakarta ramai di datangi peziarah, sehingga mengakibatkan kemacetan. Tapi disisi lain membawa berkah bagi para pedagang bunga tabur. Salah satu TPU yang padat peziarahnya antara lain TPU Karet Bivak dan TPU Kalibata.
Masyarakat Tangerang, Banten, memiliki tradisi unik yakni keramas bersama di pinggir Sungai (Kali) Cisadane. Tua-muda, lelaki-perempuan tumpah ruah menceburkan diri di sungai terbesar di Tangerang ini.
Ritual ini diyakini warga dapat menyehatkan badan dan membersihkan kotoran dalam tubuh. Padahal penggunaan shampo di sungai ini jelas berdampak pada kualitas air sungai ini
Penduduk lokal di Telung Betung, Lampung pun punya tradisi serupa, mandi massal di tepi Kali Akar. Penduduk setempat yakin dengan mandi bersama ini dapat membuang sifat buruk dan memberi ketenangan dalam beribadah puasa.
Selain dalam rangka menyambut datangnya Ramadhan. Masyarakat menganggap tradisi mandi massal ini sebagai tradisi melepas masa lajang atau gadis.
Pro dan Kontra
Tak berbeda jauh dengan mandi massal, masyarakat Minang di Sumatera Barat juga punya tradisi Balimau yakni mandi basamo (bersama) untuk menyucikan diri dengan limau (jeruk nipis), ditambah ramuan alami beraroma wangi dari daun pandan wangi, bunga kenanga, dan akar tanaman gambelu yang direndam dalam air hangat kemudian dioleskan ke kepala. Konon, ramuan tradisional untuk balimau tersebut adalah warisan turun-temurun sejak ratusan tahun silam.
Kalangan alim ulama di ranah minang menganggap tradisi ini perbuatan bid’ah bahkan ada yang mengharamkan. Di pihak lain ngotot ingin melestarikannya. Yang pasti, pro-kontra Balimau ini tak menyurutkan sejumlah masyarakat untuk melakukannya hingga kini.
Lain lagi dengan masyarakat Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat. Warga setempat membakar lilin pada malam hari di seluruh sudut rumah dan pekarangan. Mitosnya, tradisi ini untuk mengusir setan selama bulan Ramadhan.
Sedangkan masyarakat di sejumlah daerah di Aceh menggelar tradisi Meugang atau potong sapi. Warga bersama-sama menyembeli dam membeli daging sapi sebagai simbol dipenuhinya kewajiban sebagai kepala keluarga menyediakan makanan bergizi selama bulan puasa.
Para suami berusaha membeli daging sapi untuk menu sahur dan buka puasa keluarga tercinta, meskipun harga daging sapi meroket sampai Rp 125 ribu per Kg jelang Ramadhan tahun ini.
Selain tradisi Meugang, warga Aceh pun ada yang melakukan mandi di laut. Tujuannya untuk membersihkan diri. Tapi juga ada yang beralasan karena kalau di bulan puasa tidak bisa mandi di laut, jadi ini kesempatan terakhir mandi sebelum puasa.
Semua tradisi yang sudah berlangsung sejak lama secara turun-temurun ini memang tidak ada dalam Alquran atau hadis yang dilakukan Rosulullah.
Ini murni kebiasan masing-masing warga yang diwariskan generasi mereka sebelumnya. Mereka semata ingin merealisasikan khazanah budaya yang dilakukan para pendahulunya. Sayangnya beberapa ritual tersebut ada yang sudah bergeser dalam tata cara melaksanakannya bahkan kerap disalahgunakan.
Kendati tradisi itu berbeda di masing-masing tempat, pada prinsipnya muara tujuannya sama yakni untuk menyambut Ramadhan sebagai persiapan diri agar ibadahnya semakin berkualitas dan mendapat pahala berlipat dari Allah SWT.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Warga Jakarta dan beberapa daerah lain di Jawa biasanya jelang Ramadhan melakukan nyekar ke makam orang tua atau kerabat. Di makam, warga membaca Surat Yasin. Ada juga yang sengaja meminta pengurus makam atau ustad untuk mempimpin doa dan membacakan Surat Yasin. Setelah itu peziarah menaburkan bunga dan menyirami makan dengan air.
Tujuan nyekar ini, untuk mendoakan ahli kubur agar diampunkan dosanya dan mendapat tempat terbaik di sisiNya.
Jelang Ramadhan ini, sejumlah Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Jakarta ramai di datangi peziarah, sehingga mengakibatkan kemacetan. Tapi disisi lain membawa berkah bagi para pedagang bunga tabur. Salah satu TPU yang padat peziarahnya antara lain TPU Karet Bivak dan TPU Kalibata.
Masyarakat Tangerang, Banten, memiliki tradisi unik yakni keramas bersama di pinggir Sungai (Kali) Cisadane. Tua-muda, lelaki-perempuan tumpah ruah menceburkan diri di sungai terbesar di Tangerang ini.
Ritual ini diyakini warga dapat menyehatkan badan dan membersihkan kotoran dalam tubuh. Padahal penggunaan shampo di sungai ini jelas berdampak pada kualitas air sungai ini
Penduduk lokal di Telung Betung, Lampung pun punya tradisi serupa, mandi massal di tepi Kali Akar. Penduduk setempat yakin dengan mandi bersama ini dapat membuang sifat buruk dan memberi ketenangan dalam beribadah puasa.
Selain dalam rangka menyambut datangnya Ramadhan. Masyarakat menganggap tradisi mandi massal ini sebagai tradisi melepas masa lajang atau gadis.
Pro dan Kontra
Tak berbeda jauh dengan mandi massal, masyarakat Minang di Sumatera Barat juga punya tradisi Balimau yakni mandi basamo (bersama) untuk menyucikan diri dengan limau (jeruk nipis), ditambah ramuan alami beraroma wangi dari daun pandan wangi, bunga kenanga, dan akar tanaman gambelu yang direndam dalam air hangat kemudian dioleskan ke kepala. Konon, ramuan tradisional untuk balimau tersebut adalah warisan turun-temurun sejak ratusan tahun silam.
Kalangan alim ulama di ranah minang menganggap tradisi ini perbuatan bid’ah bahkan ada yang mengharamkan. Di pihak lain ngotot ingin melestarikannya. Yang pasti, pro-kontra Balimau ini tak menyurutkan sejumlah masyarakat untuk melakukannya hingga kini.
Lain lagi dengan masyarakat Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat. Warga setempat membakar lilin pada malam hari di seluruh sudut rumah dan pekarangan. Mitosnya, tradisi ini untuk mengusir setan selama bulan Ramadhan.
Sedangkan masyarakat di sejumlah daerah di Aceh menggelar tradisi Meugang atau potong sapi. Warga bersama-sama menyembeli dam membeli daging sapi sebagai simbol dipenuhinya kewajiban sebagai kepala keluarga menyediakan makanan bergizi selama bulan puasa.
Para suami berusaha membeli daging sapi untuk menu sahur dan buka puasa keluarga tercinta, meskipun harga daging sapi meroket sampai Rp 125 ribu per Kg jelang Ramadhan tahun ini.
Selain tradisi Meugang, warga Aceh pun ada yang melakukan mandi di laut. Tujuannya untuk membersihkan diri. Tapi juga ada yang beralasan karena kalau di bulan puasa tidak bisa mandi di laut, jadi ini kesempatan terakhir mandi sebelum puasa.
Semua tradisi yang sudah berlangsung sejak lama secara turun-temurun ini memang tidak ada dalam Alquran atau hadis yang dilakukan Rosulullah.
Ini murni kebiasan masing-masing warga yang diwariskan generasi mereka sebelumnya. Mereka semata ingin merealisasikan khazanah budaya yang dilakukan para pendahulunya. Sayangnya beberapa ritual tersebut ada yang sudah bergeser dalam tata cara melaksanakannya bahkan kerap disalahgunakan.
Kendati tradisi itu berbeda di masing-masing tempat, pada prinsipnya muara tujuannya sama yakni untuk menyambut Ramadhan sebagai persiapan diri agar ibadahnya semakin berkualitas dan mendapat pahala berlipat dari Allah SWT.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar