Menggapai Atap Dunia Tanpa ‘Cacat’
BISA berdiri di atas Everest (8.850 mdpl), puncak tertinggi Pegunungan Himalaya sekaligus pucuk bumi ini, mungkin jadi obsesi dan kebanggaan banyak pendaki. Sekalipun itu bukan lagi jadi orang pertama, tercepat, termuda, tertua, tanpa oksigen, di jalur tersulit, terbaru, dan prestasi lain dalam meraihnya. Tapi bila pendakiannya berandil kian mengotori atap dunia saja, kebanggaan itu terasa ‘cacat’.
Sejak Sir Edmund Hillary (1919-2008) dari Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay (1914-1986) asal Nepal berhasil menjadi pendaki pertama di dunia yang menapaki kakinya di puncak Everest, 29 Mei 1953 dengan bantuan tabung oksigen, jelas puncak tertinggi di bumi itu tak lagi ‘perawan’. Namun nama puncak tertutup salju abadi itu justru kian tersohor hingga menghipnotis sejumlah pendaki Eropa dan Amerika untuk mendakinya.
Terlebih setelah Messner dan Habeler menorehkan prestasi baru menundukkan gunung di perbatasan antara Nepal dan Tibet dengan puncaknya di Tibet ini tanpa oksigen tahun 1978. Sejak itu berbondong-bondong pendaki dari benua lain baik berkelompok maupun solo berusaha ingin menggapai puncak yang disebut Chomolangma atau Qomolangma oleh orang Tibet yang berarti Bunda Semesta itu.
Sudah ribuan pendaki yang mencoba menorehkan prestasi dengan berbagai cara untuk meraih Sagarmatha, orang Nepal menyebutnya demikian yang berarti Dahi Langit, namun yang gagal bahkan meninggal justru lebih besar. Penyebab utamanya akibat terluka, kelelahan, dan tentu saja terserang sakit ketinggian, baik HACE (high altitude cerebral edema) atau pun HAPE (high altitude pulmonary edema).
Anehnya, fenomena itu tidak menyurutkan niat pendaki manapun untuk menaklukannya. Justru peminatnya semakin bertambah. Sampai-sampai pemerintah Nepal membatasi jumlah pendaki Everest guna meminimalisir jumlah pendaki yang tewas sekaligus kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pendakian dalam jumlah besar tiap tahunnya.
Pembatasannya berupa kenaikkan biaya administrasi pendakian baik untuk ekspedisi, solo maupun pemula, termasuk untuk upah Sherpa_julukan yang diberikan kepada penduduk lokal yang bertugas sebagai kuli barang (porter) atau pemasang tali pengaman di sepanjang rute pendakian. Pembatasan lainnya, pendaki di bawah umur 16 tahun hanya boleh mendaki sampai basecamp pertama.
Sejak Everest berhasil didaki, belum banyak pihak yang begitu memikirkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pendakian itu sendiri. Padahal jelas kerusakan sudah mulai ada kendati skalanya masih kecil ketika itu. Namun ketika gunung tersebut dikomersialkan, dimana sejumlah agen wisata berlomba menjual paket perjalanan ke Everest hingga pendakian massal terjadi, banyak pihak baru sadar akan akibatnya.
Terjadi perubahan tujuan pendakian Everest yang semula untuk penelitian ke tujuan wisata dan sekadar pencapaian ego semata, kerusakan parah pun tak terhindari. Everest menanggung sampah yang ditinggalkan para penakluknya yang tak peduli lingkungan. Beragam sampah terutama tabung gas, botol-botol oksigen kosong, peralatan pendaki yang rusak, tenda-tenda robek, kemasan makanan dan minuman, bahkan mayat pendaki yang kandas, akhirnya menyelimuti beberapa bagian puncaknya.
Hingga akhirnya Everest mendapat julukan memalukan sebagai ‘tempat sampah tertinggi di dunia’. Sebuah julukan yang bukan cuma ‘menampar’ pengelola Everest sekaligus pemerintahan setempat, tapi juga para pendaki itu sendiri.
Mendapat stempel tak enak itu, sejumlah pendaki berinisiatif melakukan aksi bersih sampah Everest sejak 1990 hingga kini. Ratusan Kg sampah memang berhasil diturunkan dari aksi terpuji tersebut. Tapi lantaran tiap tahun yang mendaki Everest makin banyak, gunung ini pun tak pernah bisa bebas dari sampah. April tahun ini giliran death zone yang dibersihkan. Di sebut demikian karena zona di ketinggian 8.000 meter atau 26.246 kaki ini minim oksigen hingga membuat banyak pendaki meregang nyawa.
Kendati alamnya sudah tercemar sampah, daya tarik Everest tetap tak terbantah. Dia pun berhasil menghipnotis para pendaki kita. Sejumlah pendaki di Tanah Air berusaha sekuat tenaga untuk menorehkan prestasi sebagai orang pertama Indonesia yang berada di puncak berketinggian sekitar 8,9 Km dari permukaan laut tersebut.
Asmujiono kelahiran 1 September 1971, seorang anggota Kopassus boleh berbangga merebut predikat tersebut pada 27 April 1997 dan sekaligus sebagai orang pertama pula se-Asia Tenggara. Namun kebanggaan yang diakui pemerintah Indonesia itu seolah terusik dengan pengakuan mengejutkan Clara Sumarwati yang mengaku sebagai orang Indonesia pertama yang berhasil mendaki Everest pada April 1996, sekaligus menjadi pendaki perempuan Indonesia pertama.
Pro-kontra terjadi. Entah siapa sebenarnya yang benar. Yang pasti, seperti pendaki-pendaki dari negara lain, masih banyak pendaki Indonesia lainnya yang tertarik untuk menapaki Everest hingga trianggulasinya.
Lalu masih adakah kebanggaan yang didapat bila kedatangan di Atap Dunia hanya kian memperparah kerusakan lingkungannya? Biarlah hati nurani terdalam yang menjawabnya.
Kalau sekadar mencari kebanggaan karena telah berhasil mendaki Everest, rasanya sia bila punya andil mencemarkan lingkungannya. Pasalnya sudah sederet orang beragam profesi, umur, status kelamin, kepentingan, dan juga cara yang berhasil menapakinya.
Bahkan ada yang sukses menggapainya berkali-kali, seperti pendaki gunung Nepal, Apa Sherpa (50). April 2010 ini dia berusaha mencatatkan rekor 20 kali meraih puncak Everest sekaligus menebar abu jenazah pendaki pertama Everest, Sir Edmund Hillary yang meninggal di Selandia Baru, 2008 lalu.
Sekarang saatnya mengukir prestasi menggapai Atap Dunia yang berdingin ekstrim dan berudara tipis tanpa ‘cacat’. Caranya bukan cuma tidak menyumbang sampah sendiri, tapi ikut pula aksi bersih Everest. Kalau belum mampu, cukuplah di gunung-gunung tropis khas negeri kita sendiri yang tak kalah kotornya oleh sampah. Toh, cara itu tak kurang membanggakan.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Dok.7summits.com
Tulisan ini untuk mengenang 57 tahun keberhasilan Edmud Hillary menapaki Everest, 29 Mei 1953 pada usia 33 tahun hingga mendapat gelar kebangsawan 'Sir' dari Ratu Elzabeth II.
0 komentar:
Posting Komentar