Sabtu, 24 Agustus 2019

Suguhan Festival Pesona Budaya Tua Buton Bikin Kagum 77 Yachter Mancanegara

Sampai puncak acara Festival Pesona Budaya Tua Buton 2019, jumlah kapal yacht yang sudah berlabuh di Teluk Pasarwajo sebanyak 33 kapal dengan jumlah awak kapal 77 orang yang berasal dari 14 negara.

Hal itu diungkapkan Bupati La Bakry saat membacakan laporan penyelenggaraan Festival Pesona Budaya Budaya Buton ketujuh ini dalam pembukaan puncak acara festival ketujuh tersebut yang berlangsunh di depan perkantoran Takawa, Pasarwajo, Kabupaten Buton, Sabtu (24/8).

Selama di Pasarwajo, sambung bupati, para yachter itu sudah melakukan berbagai kegiatan antara lain diving di Teluk Pasarwajo, mengunjungi penyulingan arak khas Buton yang diproses dari Pohon Aren di Desa Waanguangu, melihat pameran Buton Expo, ke desa adat melihat kerajinan tenun di Wabula, dan berbelanja di pasar tradisional di Pasarwajo.

Selain itu mereka juga menyambangi tambang aspal di Wining, ke rumah-rumah penduduk yang melaksanakan tradisi pingitan, mengikuti lomba dayung tradisional baik secara perpasangan dengan penduduk lokal maupun perorangan, dan belajar memasak kuliner khas Buton seperti Kasuami dan Sop Parende.

"Terima kasih atas kehadiran para yachter mancanegara di Pasarwajo, Kabupaten Buton guna menyaksikan dan mengikuti serangkaian acara Festival Budaya Tua tahun ini, semoga membawa kesan yang baik dan kami sangat berharap ikut membantu promosi potensi alam dan budaya untuk peningkatan dan kemajuan pariwisata Kabupaten Buton," harap La Bakry.

Dihadapan Gubernur Sulawesi Tenggara H. Ali Mazi SH, Kadispar Kabupaten Buton La Ode Zainuddin Napa, dan sejumlah tamu perwakilan dari Kementerian Pariwisata, Bupati  La Bakry menjelaskan Festival Pesona Budaya Tua Buton 2019 yang mengambil tema "Budaya Buton dan Masa Depan" ini bermakna betapa luhur dan kuatnya kebudayaan Buton dalam menyatukan perbedaan dan memperkokoh persatuan.

Falsafah Buton mengatakan "poromu iyinda saangu, pogaa iyiinda koolota" yang artinya berkumpul tidak bersatu, bercerai tidak berantara, sehingga budaya dan kearifan lokal daerah mampu mengendalikan pengaruh buruk globalisasi dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya kedepan.

Festival ini, sambungnya telah menjadi kebutuhan rutin masyarakat lebih khusus bagi yang tidak mampu membiayai ritual adat yang diwariskan secara turun temurun, seperti tradisi pedole-dole (imunisasi), tandaki (sunatan), posuo (pingitan) yamg wajib dilaksanakan dalam setiap keluarga di Buton.

Semua ritual tradisi itu diakhiri dengan acara makan bersama (pekande-kandea) sebagai bentuk syukur dan diiringi dengan penampilan seni tari tradisional sebagai hiburan rakyat.

Sebab kalau semua tradisi itu dilaksanakan perorangan/perkeluarga, lanjut La Bakry akan membutuhkan biaya yang cukup mahal.

"Karena itu Pemkab Buton berinisiatif melaksanakan secara massal guna membantu kesulitan ekonomi masyarakat, juga sekaligus untuk ajang promosi lewat beragam media sehingga festival budaya ini mampu menjadi daya tarik wisata," terangnya.

Dalam pelaksanaan festival ini selain menampilkan produk budaya dalam bentuk ritual fisik juga disertai peningkatan wawasan kesejarahan yaitu berupa Seminar Bedah Buku "Revolusi Mental Zaman Kesultanan Buton Abad XIX", yang ditulis oleh Prof. Dr. La Niampe.

Mengingat festival ini telah menarik perhatian publik, berbagai lomba budaya pun digelar, baik yang bernuansa seni seperti lomba lagu daerah dan lomba tari tradisional maupun lomba budaya bernuansa olahraga seperti seni bela diri dan lomba dayung tradisional yang melibatkan para yachter peserta Wonderful Sail Indonesia yang datang dengan kapal-kapal yacht.

Berhubung culture event ini telah menjadi lokomotif pariwisata daerah, maka digelar pula pemilihan Laoti Waoti 2019.

"Kalau di Jakarta, Laoti Waoti itu semacam Abang None atau Abnon. Laoti Waoti ini diharapkan akan menjadi icon dan duta pariwisata Kabupaten Buton," pungkas La Bakry.

Selepas La Bakry menyampaikan laporan dilanjutkan dengan sambutan perwakilan dari para yachter, kali ini disampaikan yachter bernama Graig dari Australia dan Cynthia asal Amerika Serikat.

Baik Graig maupun Cynthia mengaku kagum bukan hanya keindahan alam dan keragaman budaya Buton, pun pelayanan panitia pendamping serta semua kegiatan yang telah mereka ikuti.

"Amat mengagumkan..., kami akan menginformasikan kekaguman ini bukan hanya di negara kami masing-masing tapi juga disetiap negara yang akan kamu singgahi berikutnya," terang Craig dalam Bahasa Inggris yang langsung diterjemahkan oleh Sekretaris Pariwisata Kabupaten Buton, Rusdi Nudi.

Selanjutnya giliran Gubernur H. Ali Mazi SH memberikan sambutan, lalu diakhiri dengan pekande-kandea atau makan bersama.

Untuk menjamu semua yachter mancanegara, para tamu VVIP, sejumlah undangan dan juga warga, panitia menyiapkan 2019 talang, dimana setiap talangnya berisi aneka kuliner khas Buton seperti nasi merah, buras, ayam opor walio, udang, ikan bakar, kue tuli-tuli, dan bermacam buah.

Pantauan TravelPlus Indonesia, sebelum mengikui acara inti tersebut, para yachter sempat menyaksikan atraksi ratusan ibu-ibu menenun kain khas Buton, pembuatan gerabah, dan tradisi imunisasi ala Buton.

Beberapa yachter pria terlihat ada yang membeli sarung khas Buton sebagai cindera mata. Harganya Rp 350 ribu per sarung. Sarung itu pun langsung mereka kenakan di lokasi acara.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.