"Nama Gunung Kasur diambil dari sebuah lempengan batu yang menyerupai sebuah kasur (tempat tidur)".
Begitu kalimat pertama keterangan tentang Gunung Kasur yang tertera di sebuah baliho yang diikat dengan tali ke kerangka besi.
Baliho horizontal persegi empat berjudul Gunung Kasur itu terpasang di tepi jalan menuju ke gunung tersebut.
"Ini keterangan Gunung Kasur Bang Akmal," kata Hasbi salah seorang adik saya di organisasi pecinta alam Agatra Sraya Jakarta yang mengirimkan foto baliho tersebut ke saya, Sabtu (19/1/2019) lewat japri WA.
Hasbi yang akrab disapa Abi datang ke Gunung Kasur bersama Eko Wijaya, rekan seangkatannya tahun 1991 di Agatra Sraya.
Keduanya juga membawa beberapa anak muda anggota majelis ta'lim.
"Itu acara refreshing untuk mempererat persaudaraan antar-anggota Ta'lim Danghiang, bang," kata Abi menjelaskan tujuannya ke gunung itu awal Januari 2019.
Di baliho berwarna dasar biru dan merah bertuliskan warna putih itu dijelaskan tidak ada yang tahu dari mana asal usul batu kasur tersebut.
Ada beberapa versi yang beredar tentang situs Gunung Kasur, mulai dari datangnya patih pertama di Cianjur yang ditunjukan dengan sebuah batu yang menyerupai telapak kaki berukuran besar.
"Cerita lainnya adalah tentang seorang bernama Habib Ja'far Al Attas yang konon merupakan pembawa Agama Islam di tanah Sunda khususnya di Cianjur 500 tahun silam," bunyi tulisan berikutnya di baliho itu.
Dijelaskan pula, tidak jauh dari batu kasur (sebelah timur turun ke bawah) terdapat tempat ziarah yang terkenal yaitu Makam Syekh Abdul Jabar (Mbah Batu Wangi) dan para murid-muridnya. Sedangkan di bagian kaki baratnya terdapat tempat ziarah makam keramat Gunung Geulis berjarak sekitar 500 meter.
Lokasi Gunung Kasur berada di antara Desa Gadog dan Cibodas, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Selain berpanorama cukup menawan, Gunung Kasur yang berketinggian 1.080 meter di atas permukaan laut (Mdpl), juga dipercaya sebagai salah satu situs prasejarah.
Dari puncaknya, pengunjung disuguhkan hamparan pepohonan serba hijau dengan udara yang segar.
Kalau cuaca bagus, bisa juga menikmati pemandangan Kota Cipanas saat siang maupun malam hari.
Dinamakan Gunung Kasur ya karena di puncaknya terdapat Batu Kasur itu.
Untuk mencapai puncaknya, pengunjung harus menapaki trek mendaki.
"Trek_nya agak nanjak bang, kayak mau ke Curug Cibeureum Cibodas," ungkap Abi lagi.
Kalau pengunjung ingin ke puncaknya disarankan memakai sepatu atau sandal lapangan/gunung yang kuat dan nyaman. Jangan lupa membawa bekal air mineral dan makanan kecil.
Kalau malas jalan kaki, bisa juga menggunakan sepeda gunung atau kendaraan roda dua.
Jarak gunung yang kini menjadi objek wisata ziarah ini dari Istana Cipanas hanya sekitar 2,6 Km.
Pengunjung yang berziarah atau sekadar ingin menikmati pemandangan dari puncaknya, disarankan menjaga ucapan dan perbuatan serta tidak meninggalkan sampah.
Selepas berziarah, Abi dan Eko serta rekan-rekannya tidak langsung pulang ke Jakarta.
Mereka mampir ke Curug (Air Terjun) Cibeureum dan Telaga Warna, melampiaskan hobi lamanya, 'cuci mata' dengan yang ijo-ijo dan udara segar khas alam pegunungan.
"Kebetulan beberapa orang dari anggota ta'lim itu ada yang hobi naek gunung waktu sekolah dulu jadi timbullah ide refreshing ke Curug Cibeureum," aku Abi diamini Eko.
Menurut Abi, trek ke Curug Cibeureum tetap dibuka untuk umum dengan tiket masuk Rp 17 ribu per orang pada hari kerja dan Rp 18 ribu per orang pas akhir pekan.
"Yang ditutup itu jalur pendakian ke Gunung Gede dan Pangrango bang, sampe 31 Maret 2019" terangnya.
Kata Abi lagi, selama ngetrek ke Curug Cibeureum sampai tiba di sana tidak bertemu seorangpun turis bule melainkan orang dari kawasan Timur Tengah.
"Saya tadi cuma ketemu 2 turis Iran pake cadar. Orang bule nggak ketemu satu pun," terang Abi.
Sejak tahun 2000-an kawasan Bopuncur (Bogor-Puncak-Cianjur) memang dikenal sebagai salah satu destinasi favorit bagi para turis berhidung bangir dari Timur Tengah ketimbang turis bule dari Eropa dan lainnya.
Usai menempuh trek 2,7 Km dari pos tiket atau sekitar 45 menit – 1 jam dengan jalan santai serta melewati Telaga Biru, Rawa Panyangcangan, dan jembatan panjang yang terbuat dari batu buatan, sampailah Abi dan Eko di Curug Cibeureum yang berketinggian 40 meter.
Di dekat Curug Cibeureum, ada dua air terjun lain yang lebih kecil, yaitu Curug Cidendeng dan Curug Cikundul.
Selepas puas menikmati kesegaran buih-buih air terjun itu dan tak lupa selfie dan welfie dengan teman-temannya, Abi dan Eko segera meluncur ke Telaga Warna yang diapit deretan bukit pembatas antara wilayah Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Cianjur.
Telaga Warna letaknya tak sampai 300 meter dari jalan raya Puncak, tepatnya di seberang Rumah Makan Rindu Alam yang tersohor sejak dulu itu.
Total luas kawasan Telaga Warna yang beestatus Taman Wisata Alam (TWA) ini mencapai 6,5 hektar, terdiri dari 5 hektar hutan konservasi dan 1,5 hektar luas danau.
Cuma lokasinya memang agak tersembunyi lantaran dikepung hutan tropis berstatus hutan konservasi alias hutan lindung yang kaya akan pepohonan besar, semak belukar, dan hewan liar.
Sewaktu di telaga itu, Abi dan Eko melihat kawanan monyet surili (presbytis aygula). Selain itu ada juga monyet ekor panjang/kera abu-abu (macaca fascicularis) atau lutung (prebytis cristata) yang bergelantungan dari satu pohon ke pohon yang lain.
Air telaganya tetap berwarna kehijauan. Tapi di saat-saat lain warna airnya bisa berubah-ubah. Kadang hijau, cokelat, kuning, sampai kuning terang sekali atau kuning kunyit. Makanya danau ini dinamakan Telaga Warna.
Menurut catatan ilmiah, hal itu dikarenakan pantulan dari dedaunan pepohonan yang ada di tepian telaga. Warnanya bisa berubah sampai 7 warna.
Namun berdasarkan legenda beda lagi. Konon, dulu kala di lereng Gunung Lemo, Mega Mendung ini ada sebuah kerajaan bernama Kutatanggeuhan atau Kerajaan Kemuning yang dipimpin oleh Prabu Swarnalaya.
Pada suatu ketika, sang putri kerajaan bernama Gilang Rukmini memiliki keinginan untuk menghias setiap helai rambutnya dengan emas permata tapi tidak terpenuhi.
Sang putri pun murka Dia melemparkan semua emas permata pemberian Raja. Seketika berguncang lalu air keluar dari tanah yang makin lama makin besar hingga menenggelamkan Kerajaan tersebut berikut isinya.
Akhirnya terbentuklah sebuah danau yang dari dasarnya memancar cahaya berwarna-warni, berasal dari permata yang dibuang tadi.
Selain keindahan alamnya, Telaga Warna pun memiliki daya tarik dari mitosnya.
Konon di dalamnya hidup sepasang ikan bernama Si Tihul dan Si Anting. Konon, bagi siapa saja yang dapat melihat penampakan kedua ikan ini, semua keinginannya akan terkabul.
Mitos lainnya, siapapun yang mandi di Telaga Warna akan enteng jodoh, banyak rejeki, dan awet muda.
Namun apapun tujuan pengunjung datang ke telaga ini, dilarang mengambil satwa, tanaman, menebang pohon, dan memancing ikan di telaga seperti yang tertera di beberapa papan larangannya
Puas mewarnai langit awal tahun dengan menyambangi Gunung Kasur, Curug Cibeureum, dan Telaga Warna, Abi dan Eko serta rekan-rekannya kembali ke Jakarta, kembali meramu realita hidup sesungguhnya.
Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, @adjitropis)
Foto: dok. hasbi & eko
Captions:
1. Hasbi (Abi) & Eko Wijaya anggota Agatra Sraya saat mampit di Telaga Warna usai mendaki Gunung Kasur dan Curug Cibeureum awal Januari 2019.
2. Baliho penjelasan tentang Gunung Kasur.
3. Para peziarah di Gunung Kasur
4. Abi dan rekannya di depan situs Batu Kasur, Gunung Kasur.
5. Trek ke puncak Gunung Kasur.
6. Jadi tujuan objek wisata sejarah.
7. Mandi di tumpahan Curug Cibeureum.
8. Abi saat ngetrek di jalur menuju Curug Cibeureum.
9. Abi mejeng di depan Curug Cibeureum.
10. Spanduk informasi penutupan pendakian ke Gunung Gede dan Pangrango sampai 31 Maret 2019.
11. Salah satu aktivitas di Telaga Warna. (dok. adji)
12. Monyet penghuni Telaga Warna.
13. Akomodasi di tepian Telaga Warna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.