Bukan saya saja yang bilang begitu. Rekan seperjalanan saya, Badri juga mengatakan yang sama. “Itu Ular Derik bang, awas beracun!,” katanya.
Tanpa dikasih tahu Badri yang agak ketakutan berdiri di belakang saya itu, sebenarnya saya sudah tahu kalau Ular Derik itu beracun, bahkan termasuk salah satu dari 10 ular paling beracun di dunia. Makanya saya tetap jaga jarak dengan ular itu, sewaktu ingin mengabadikannya lebih dekat.
Namun setelah beberapa kali saya memotret ular itu, keraguan pun muncul. Apa benar ular berkulit agak bersisik berwarna hitam dan bermotif warna keperak-perakkan itu Ular Derik?
Keraguan itu sempat saya utarakan pada Badri. Cuma saya tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Mungkin rekan saya itu juga ragu dan tidak begitu tertarik dengan ular itu.
Jujur, seumur hidup saya belum pernah melihat Ular Derik secara langsung. Selama puluhan tahun berpetualang, naik gunung, susur gua, susur pantai, jelajahi hutan, arung jeram, dan lainnya baru Ular Piton, Cincin Mas, Uar Belang Laut, Ular Hijau, Ular Gua, dan beberapa jenis lain yang saya temukan dan lihat di alam liar dengan mata kepala sendiri.
Ular Derik yang pernah saya lihat, cuma di TV lewat tayangan channel-chanel khusus hewan dan petualangan. Dari situlah saya mengetahui bentuk dan ciri khas serta prilaku ular satu ini, termasuk darimana dan dimana biasanya hidup dan berkembangbiak.
Tidak seperti ular-ular yang saya temukan sebelumnya, yang tidak membuat saya tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh. Ular di Sanggabuana justru bikin saya penasaran. Saya semacam diberi “Pekerjaan Rumah” (PR) untuk mencari tahu jenis ular itu sebenarnya.
Dari data yang saya kumpulkan terutama lewat browsing internet, ternyata Ular Derik itu hanya hidup di padang tandus dan gurun di semua negara Amerika Selatan kecuali Ekuador dan Chili serta ditemukan juga di beberapa Pulau Karibia. Jadi Ular Derik bukan ular asli Indonesia dan tidak ada di Indonesia.
Tapi setelah saya cari informasi mengenai Ulai Viper, ternyata ciri dan prilakunya saat tersusik mirip dengan ular yang saya temui di gunung ini.
Selain di Indonesia, Ular Viper yang juga ditemukan di Srilangka dan India ini pun biasa keluar pada malam hari dan sangat beracun. Jadi ada kemungkinan ular di Sanggabuana yang saya dan Badri kira Ular Derik sejak awal, itu adalah Ular Viper. Tapi itu baru dugaan saya.
Alasan saya pertama kali mencap ular di Sanggabuana itu adalah Ular Derik, karena ciri-ciri fisiknya termasuk prilakunya saat terusik itu mirip sekali dengan bentuk dan kebiasaan Ular Derik yang selama ini saya ketahui lewat tayangan TV.
Dari segi fisiknya, kepalanya berbentuk segitiga dengan buntut yang agak tumpul. Prilakunya saat terusik langsung mengambil sikap seperti menyerang dengan kepala meliuk dan buntutnya berderik menimbulkan suara khas.
Keraguan saya muncul setelah mengingat tayangan TV mengenai Ular Derik yang habitatnya di padang tandus dan gurun berudara panas. Belum pernah saya melihat tayangan atau gambar ada ular derik di hutan lebat yang ada di gunung berudara sejuk dan dingin.
Sepulang dari Sanggabuana, hati saya terus bertanya-tanya. Apa benar ada Ular Derik made in Indonesia? Apa benar ada jenis Ular Derik baru yang hidupnya di hutan rimbun yang ada di gunung seperti di Sanggabuana?
Mungkin kalau saya menemukan ular seperti Ular Derik itu di Nusa Tenggara Timur yang beberapa bagian alamnya tandus dan berkaktus, tidak begitu jadi tanya besar karena alamnya rada-rada mirip dengan padang tandus di negara tempat ular itu berasal. Tapi ular yang saya temukan ini berada di dalam hutan Gunung Sanggabuana yang lebat, di ketinggian hampir 1.000 meter di atas permukaan laut, dengan udara sejuk sekalipun di siang hari.
Pertemuan saya dengan ular yang mirip Ular Derik di Sanggabuana, tidak disengaja. Karena niat mendaki gunung berketinggian 1.074 mdpl yang berada di empat (4) kabupaten yakni Kabupaten Karawang, Purwakarta, Cianjur, dan Kabupaten Bogor ini, bukan untuk mencari ular. Melainkan ingin melihat dan merasakan seperti apa kondisi dan suasana gunung yang dua dari empat jalur pendakiannya itu berada di wilayah Kabupaten Karawang.
Waktu pertama kali tahu gunung itu masuk wilayah Karawang juga, saya sempat kaget. “Koq, ada gunung juga yah di Karawang?” tanya hati ini. Dan itulah yang membuat saya penasaran dan ingin mendakinya.
Soalnya sebelum tahu ada Gunung Sanggabuana, saya mengira kondisi alam Karawang hanya melulu dataran rendah, berupa pesisir pantai dan persawahan.
Yang menarik lagi, selama ini saya bertemu ular selalu siang hari. Tapi di Sanggabuana saya bertemu ular yang mirip Ular Derik ini pada tengah malam hari, sekitar pukul 22.45 WIB.
Ketika itu, saya sedang melewati jalur pendakian menuju puncak 2.
Saat melintas, tiba-tiba di depan saya terdengar suara berdesis. Setelah tersorot cahaya dari headlamp saya, baru terlihat ada ular persis di depan saya yang tengah berposisi ingin menyerang mungkin arena terusik. Rupanya ular itu mau menyeberangi lintasan trek itu.
Melihat prilaku dan bentuk kepalanya yang segitiga dengan corak di badannya, kontan saya menyebutnya itu Ular Derik. Cuma warnanya hitam. Sementara yang saya tahu Ular Derik di Amerika Selatan itu berwarna coklat dengan kulit agak bersisik.
Selepas mengambil gambarnya beberapa kali, saya pun membiarkan ular itu merayap kembali dalam kegelapan. Padahal sempat terbersit ingin mengambil ular itu untuk mengetahui jenisnya. Namun kalimat yang kental muatan konservasi-nya; “JANGAN MENGAMBIL SESUATU KECUALI GAMBAR” dan juga kalimat usang sok romantis “MENCINTAI BUKAN BERARTI HARUS MEMILIKI”, seketika terngiang-ngiang di benak hingga saya mengurungkan niat itu.
Yang bikin heran, ketika saya bertanya kepada Kang A’ep, pemilik warung di puncak 2 Gunung Sanggabuana, dia mengaku belum pernah bertemu ular seperti yang saya sebutkan ciri-cirinya. Padahal dia sudah 10 tahun berada di sana.
“Yang sering saya temukan cuma Musang. Sering menyantap ayam saya di kandang,” jelasnya seraya membawa senapan anginnya ke luar, karena mendengar suara berisik di belakang rumahnya.
Bertemu Lagi
Keesokan harinya, sewaktu naik ke Puncak 1 Sanggabuana, saya berharap menemukan ular serupa. Tapi sepanjang jalur menuju puncak dan juga di puncaknya tidak saya temukan. Cuma sebuah kuburan usang dan triangulasi serta sisa-sisa sampah pendaki dan peziarah.
Begitu pun ketika kembali ke Puncak 2. Nah, ketika turun dari puncak 2 menuju titik awal pendakian, saya berharap menemukan ular yang semalam saya temukan di jalur dan di tempat yang sama. Dengan harapan dapat lebih jelas mengamati dan mengambil gambarnya.
Sewaktu melewati tempat itu, saya tak menemukannya. Tapi tak disangka-sangka, sekitar 300 meter dari tempat itu, saya melihat ular lagi yang mirip dengan ular yang semalam saya temukan. Cuma warnanya tidak sehitam yang pertama dan badannya juga lebih kecil.
Sayangnya, saat ingin memotretnya, ular itu langsung merayap dan masuk ke dalam pohon besar yang berlubang.
Selama menaiki dan menuruni Gunung Sanggabuana dari jalur Kabupaten Karawang, bukan ular yang mirip Ular Derik saja yang kami temukan. Pada malam hari, saya juga menemukan beberapa serangga berbentuk aneh yang sedang kawin di sebuah batang pohon. Kami juga mendengar suara burung yang terus berkicau.
Siangnya ketika turun, Badri melihat seekor primata di sebuah pohon besar. “Bang, ada Lutung di atas pohon itu,” teriaknya. Tapi sewaktu dia ingin ambil gambarnya, primata itu meloncat-loncat dengan lincahnya, pergi ke puncak pohon yang rimbun. Badri nampak kecewa karena tak berhasil mengabadikannya.
“Nanti kalau ketemu lagi, jangan teriak dan jangan langsung mengarahkan kamera ke primata itu. Soalnya dia mengira mau ditembak, jadi ketakutan lalu kabur,” jelasku menghiburnya.
Primata yang juga sempat saya lihat itu, bentuk mukanya kecil dan badannya agak gempal dengan bulu lebat dan berekor panjang. Yang buat saya heran, biasanya primata berkelompok saat mencari makan di atas pohon. Tapi yang saya lihat itu sendirian.
Kami juga menemukan ulat pohon berwarna orange cerah yang berkelompok dan beberapa laba-laba yang bentuknya tak lazim.
Laba-laba bertanduk itu tengah menyergap mangsanya yang terjebak di sarangnya.
Badri sempat memotretnya berulangkali dengan susah payah lantaran cahaya matahari amat minim, terhalang kabut. Dua gambar laba-laba itu pun, baru-baru ini dia upload ke dinding facebook-nya.
Menemukan ular yang mirip Ular Derik dan beberapa hewan lain di jalur pendakian Gunung Sanggabuana, buat saya ini kejutan sekaligus bonus. Semula saya tak mengira bakal melihat hewan-hewan itu di gunung yang tak begitu tinggi ini.
Di benak saya, paling bertemu makom-makom berbentuk kuburan yang konon menurut penduduk setempat, jumlahnya semakin bertambah. Dan memang benar, saya menemukan makom-makom yang dianggap keramat dan sekaligus membuat gunung ini amat populer di kalangan peziarah ketimbang pendaki.
Sampai selesai menulis tulisan ini, saya masih belum tahu jenis ular apa di Sanggabuana yang mirip Ular Derik ini. Sementara Badri, di FB-nya juga bertanya-tanya mengenai jenis laba-laba yang berhasil dijepretnya di sana.
Terus terang kami berdua lebih tertarik menyibak misteri kedua hewan itu ketimbang mengungkap misteri makom-makomnya, apalagi sampai melakukan ritual. Sebab, kami berada di ‘jalur’ berbeda.
Tapi tak bisa dipungkiri, keberadaan makom-makom itulah yang membuat nama gunung yang sumber air tawarnya cukup melimpah ini, jadi tersohor juga di kalangan pemburu pesugihan.
Kenapa saya bisa bilang gunung ini temasuk salah satu tempat orang yang mencari kekayaan dan semacamnya itu dengan cara ‘potong kompas’? Soalnya menurut salah seorang warga di sana, tak sedikit orang yang melakukan ritual tertentu.
“Ada yang membawa sesajen macam-macam tergantung kemauan kuncen-nya. Ada yang melempar koin uang, membawa buah, ayam bahkan kambing,” kata warga yang enggan disebut namanya.
Kata warga itu lagi, pernah ada kejadian peziarah sampai meninggal dunia karena kuncen-nya mengharuskan orang itu naik gunung itu. “Kalau ingin sembuh, kuncen itu menyuruh peziarah itu naik, padahal orang itu sedang sakit. Ya akhirnya meninggal,” terangnya.
Pada waktu-waktu tertentu, ratusan bahkan ribuan orang rela bersusah payah menapaki jalur pendakiannya yang tak bisa diangap enteng sampai ke puncaknya. Dan sampai kini masih banyak orang yang melakukannya, membawa sesajen, berdoa, dan atau melakukan ritual tertentu sebagai sarat di makom-makom pilihan, yang biasanya dipandu atau dipimpin kuncen-nya dengan tujuan dan harapan masing-masing yang sulit diterima akal sehat.
Sewaktu di Puncak 2 dan saat menuruni Sanggabuana, kami berpas-pasan dengan sejumlah peziarah dan pencari pesugihan itu.
Beberapa di antaranya terlihat terengah-engah, kelelahan menapaki medan menanjak Sanggabuana dengan perlengkapan dan perbekalan seadanya.
Hmmm.., melihat ada ‘sesuatu’ di gunung ini, lagi-lagi hati ini cuma bisa bilang; “Betapa uniknya perbedaan keyakinan penghuni negeri ini, termasuk perbedaan cara meraih sesuatu yang diinginkannya.
Nama Lokalnya Ular Gibuk
Kembali ke soal ular di Sanggabuana yang fotonya terpampang di tulisan saya ini. Lantaran hampir seminggu belum menemukan jawaban apa jenisnya, akhirnya saya menghubungi, temannya Badri di Karawang Selatan yang mengenal betul kondisi Sanggabuana.
Setelah saya beri tahu soal penemuan ular mirip Ular Derik di Sanggabuana dan ciri-cirinya ternyata Kacel mengetahuinya. Menurutnya itu ular lokal yang hidup di Gunung Sanggabuana dan sekitarnya. “Ular itu sangat beracun dan penduduk setempat menyebutnya Ular Gibuk,” kata Kacel yang mengaku pernah menemukan ular itu juga di gunung ini.
Selain berada di lereng-lereng Sanggabuana, ular ini pernah ditemui penduduk di areal dekat persawahan di kaki Sanggabuana. “Dulu pernah ada beberapa penduduk yang dicatek ular itu, ada yang tertolong nyawanya, ada juga yang meninggal dunia,” terangnya.
Tapi anehnya, selama ini Kacel belum pernah mendengar ada peziarah atau pendaki yang tercatek ular itu. “Ular Gibuk ini memang mirip Ular Derik, kalau terganggu dia pasti menyerang. Tapi kalau tidak terganggu aman-aman aja,” jelasnya.
Mendengar keterangan Kacel, misteri ular di Sanggabuana mulai tersibak. Kini yang menjadi pertanyaan, apa benar Ular Gibuk itu termasuk keluarga atau saudara jauh Ular Derik yang berasal dari dataran tandus Amerika Selatan atau satu kerabat dengan Ular Viper yang ada Srilangka, India, Timur Tengah, dan Afrika? Hmmm.., saya belum menemukan jawabannya.
Satu yang pasti, setelah melihat langsung dan juga berdasarkan keterangan dari Kacel, saya menyarankan para pendaki atau pun peziarah yang mendaki Gunung Sanggabuana harus tetap waspada. Kalau bisa mengenakan sepatu dan kaos kaki serta celana panjang. Dan yang terpenting tidak mengganggu ular tersebut.
Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Foto: adji & badri
Captions:
1. Inilah ular yang saya temukan di trek pendakian Gunung Sanggabuana, Karawang Selatan, Jawa Barat.
2. Laba-laba bertanduk di hutan Gunung Sanggabuana
3. Ular di Gunung Sanggabuana yang mirip Derik dan Viper ini bernama lokal Ular Gibuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.