- Kendati tingginya di bawah 2.000 Mdpl, gunung yang mencakup 4 kabupaten yakni Kabupaten Karawang, Purwakarta, Cianjur, dan Kabupaten Bogor di Jawa Barat ini punya atmosfir tersendiri. Terlebih bila mendakinya pada malam hari. Mencekam, mengejutkan, dan penuh tanda tanya mewarnai perjalanan ke puncaknya.
Ada 4 jalur pendakian untuk mencapai puncak utama Gunung Sanggabuana. Dua jalur langsung ke Puncak 1 yakni dari Purwakarta dan Cigeuntis, Karawang. Dua jalur lagi ke Puncak 2 terlebih dulu yakni jalur dari Desa Mekarbuana, Karawang dan jalur dari Bogor serta Cianjur yang menyatu.
Minggu pagi, tanggal 21 April 2013, tepat Hari Kartini, saya berada di Puncak 1 Gunung Sanggabuana bersama Badri, rekan seperjalanan yang biasa saya sapa adek. Kami mengambil jalur pendakian dari Desa Mekarbuana, Kecamatan Tegalwaru menuju Puncak 2 terlebih dulu, baru keesokan harinya ke puncak utamanya.
Keberadaan kami di puncak yang sekelilingnya pepohonan cukup besar dengan batang-batangnya berlumut ini, bukan untuk merayakan Kartini-an. Bukan pula dalam rangka memperingati Hari Bumi yang jatuh sehari kemudian, 22 April.
Kami semata ingin mendaki gunung mungil berbentuk barisan pegunungan yang menyimpan misteri hingga begitu diminati para peziarah serta pencari pesugihan atau kekayaan/kelancaran/keharmonisan dan lainnya dengan jalan pintas atau tak biasa ini.
Tujuan kami bukan untuk menyibak misteri itu, terutama misteri keberadaan makom-makom-nya yang berbentuk kuburan.
Buat saya pribadi, mendaki gunung ini lantaran penasaran ingin mengetahui bentuknya, medan pendakiannya, penghuni hutannya, dan tentu panoramanya terutama dari kedua puncaknya. Sementara Badri mengaku ingin mengulang kembali pendakian pertamanya yang dulu pernah dilakoninya secara rombongan beberapa tahun silam.
Hal yang membuat saya penasaran ingin segera mendaki gunung ini setelah mendapat informasi keberadaannya sepekan sebelumnya, lantaran gunung ini masuk wilayah Karawang juga.
Semula saya kira kabupaten yang pernah berjuluk Lumbung Padi Jawa Barat dan terkenal dengan Goyang Karawang-nya ini, tidak bergunung sama sekali. Ternyata saya keliru. Gunung ini buktinya berada di wilayah Karawang Selatan yang beberapa bagian wilayah memiliki dataran tinggi berudara sejuk dan persawahan di kaki serta lereng-lerengnya.
Kondisi alam Karawang Utara, itu baru wilayah khas tofografi Karawang, termasuk Karawang Timur dan Barat yakni pesisir pantai, persawahan, dan pemukiman penduduk serta perkotaan dataran rendah yang datar.
Perbedaan lainnya, penduduk di wilayah Utara Karawang, Bahasa Sunda-nya agak kasar. Termasuk yang tinggal di Karawang Barat dan Timur. Mungkin karena adanya pengaruh dan pembauran dengan penduduk wilayah pesisir pantai utara atau Pantura lainnya.
Sementara warganya yang di Selatan, termasuk di sekitar Gunung Sanggabuana ini menggunakan Bahasa Sunda yang standar, sama dengan wilayah Sunda lainnya.
Sementara warganya yang di Selatan, termasuk di sekitar Gunung Sanggabuana ini menggunakan Bahasa Sunda yang standar, sama dengan wilayah Sunda lainnya.
Batu semen yang di tengahnya ada lempengan besi bertuliskan 1.074 mdpl adalah triangulasi yang menandakan tempat yang kami pijaki ini adalah puncak utama atau Puncak 1 Gunung Sanggabuana.
Biasanya triagulasi berbentuk tugu, agak tinggi. Tapi di sini, berbentuk kotak kubus dengan tinggi dan lebarnya sekitar 50 Cm. Tak jauh dari triangulasi ada makom berbentuk kuburan yang tidak ada nisannya dan bentuknya pun sudah berantakan.
Puncak 1 ini berupa tanah lapang cukup datar yang mampu menampung sekitar 3 tenda berkapasitas masing-masing 4 orang.
Setibanya di puncak ini, kami tidak dapat menyaksikan matahari terbit. Cuaca pagi itu masih berkabut dan mendung. Andai saja cerah juga tak akan sempurna melihatnya, lantaran terhalang kerimbunan pepohonan yang mengitari puncak ini.
Kami pun tidak menemukan rombongan pendaki lain. Padahal, sebelumnya saya sempat mengira rombongan pendaki muda dari Bekasi dan Kerawang itu langsung ke Puncak 1 ini semalam. “Kalau kita bawa tenda dan semalam tidur di sini, pasti bakal dapati atmosfir BEDA,” kataku pada Badri. “Iya bang, soalnya sepi, nggak ada pendaki lain,” balasnya.
Kendati tak populer di kalangan pendaki, puncak gunung ini pun tak bebas sampah. Beberapa sampah logistik kemasan plastik, bungkus rokok, dan kardus entah milik pendaki atau peziarah berserakan di bekas tempat pembakaran. Selepas sarapan dengan roti, Badri mengumpulkan sampah-sampah itu lalu membakarnya.
Tak lebih dari 30 menit kami berada di puncak itu, lantaran tak banyak obyek menawan yang bisa membuat kami bertahan lama. Kami hanya memotret pepohonan berakar artisitik dan berlumut, ada juga pohon perdu yang daun-daunnya berwarna hijau berbentuk hati, karenanya saya sebut Pohon Perdu Cinta, dan tak ketinggalan foto narsis. Itu saja. Lalu kembali turun ke puncak 2.
Perjalanan dari puncak 2 ke puncak utama Sanggabuana pagi itu, terbilang kurang berkesan. Pertama, karena sudah agak terang dan tidak menemukan sesuatu yang mengejutkan, entah itu bertemu hewan dan atau lainnya. Kedua, medan pendakiannya pun terbilang mudah dan singkat.
Tak sampai 30 menit, kami sudah sampai di puncaknya walau sempat meragu ketika bertemu dengan setapak bercabang. Namun berkat insting ormed (orientasi medan) yang kuat, kami dengan cepat menemukan jalur yang sebenarnya. Begitupun ketika turun ke Puncak 2. Mulus-mulus saja.
Beda sekali dengan kemarin, sewaktu kami memulai pendakian dari Desa Mekarbuana, sekitar 35 Km dari pusat Kota Karawang. Butuh waktu 6 jam untuk mencapai Puncak 2, itu sudah termasuk istirahat sekitar 1,5 jam di perjalanan. Pendakian dimulai pukul 17.00 WIB atau jam 5 sore sampai di Puncak 2 Pukul 23.00 WIB atau jam 11 malam.
Dan sebelum sampai ke desa terakhir di kaki gunung itu, saya sudah menangkap ada keraguan terselip di hati Badri. Waktu menjemput saya di pertigaan lampu jalan baru Karawang Barat, dia sempat bilang. “Bang, teman-teman saya enggak ada yang bisa ikut lantaran sibuk. Jadi kita berdua aja. Gimana nih?” tanyanya. “Ga apa, nanti kita cari penduduk lokal. Kalau enggak dapat, ya kita berdua. Tenang saja,” balasku meyakinkannya.
Rupanya Badri masih kurang yakin. Di tengah perjalanan, selepas membeli logistik di mini market dan makan siang dengan karedok di warung kecil dekat mini market tersebut, dia bertanya. “Bang, nanti kita mampir ke tempat teman saya dulu. Dia tahu kondisi Sangabuana, siapa tahu dia bisa antar kita. Kalau dia nggak bisa, bang yakin kita nanjak berdua dan malam hari pula,” tanyanya lagi. “Iya lah, kan pakai senter. Bawa senter nggak?” tanyaku santai. “Lupa bang,” balas Badri. “Bentar saya cariin di mini market, mumpung dekat” jawabku.
Benar saja, Badri menyempatkan waktu menjumpai temannya yang akrab dipanggil Kacel.
Dia berharap temannya itu mau menemani kami mendaki.
Sayangnya, Kacel tidak bisa karena malamnya ada acara resepsi pernikahan saudaranya. “Mudah koq jalurnya, 99 % enggak bakal nyasar. Nanti kalau ketemu pertigaan selepas sawah terakhir ambil setapak yang ke kiri, itu jalur trek ke Sanggabuana. Jangan yang ke kanan, itu arah ke Kebon Jahe,” pesan Kacel.
Selepas minum kopi, kami pun berdua melanjutkan perjalanan menuju Desa Mekarbuana.
Dia berharap temannya itu mau menemani kami mendaki.
Sayangnya, Kacel tidak bisa karena malamnya ada acara resepsi pernikahan saudaranya. “Mudah koq jalurnya, 99 % enggak bakal nyasar. Nanti kalau ketemu pertigaan selepas sawah terakhir ambil setapak yang ke kiri, itu jalur trek ke Sanggabuana. Jangan yang ke kanan, itu arah ke Kebon Jahe,” pesan Kacel.
Selepas minum kopi, kami pun berdua melanjutkan perjalanan menuju Desa Mekarbuana.
Dari kejauhan barisan pegunungan berhutan lebat sudah semakin terlihat. Saya yakin salah satunya, atau mungkin di balik pegunungan itu berdiri Gunung Sanggabuana yang kami incar.
Akses jalan menuju desa ini belum sepenuhnya mulus. Mendekati desa ini, jalannya rusak parah, berbatu-batu besar. Dengan sangat hati-hati, Badri mengendari motor matic-nya.
Akhirnya kami sampai di sebuah rumah sebelum tanjakan berbatu. Cuma motor bermesin besar yang melewati tanjakan berbatu itu. Badri menitipkan motornya di rumah yang merangkap warung dan juga tempat parkir motor.
Akhirnya kami sampai di sebuah rumah sebelum tanjakan berbatu. Cuma motor bermesin besar yang melewati tanjakan berbatu itu. Badri menitipkan motornya di rumah yang merangkap warung dan juga tempat parkir motor.
Di ujung desa ini ada belasan rumah merangkap warung dan parkir motor. Ini membuktikan bahwa pengunjung Sanggabuana ramai. Namun yang ramai bukan pendaki yang hendak mendaki Sanggabuana melainkan muda-mudi berpasangan atau keluarga yang ingin berwisata ke Curug Cigeuntis, di kaki gunung ini.
“Setiap akhir pekan ramai pengunjungnya. Apalagi kalau lebaran, pengunjungnya membludak. Jalanan ini sampai macet,” kata pemuda penjaga warung tempat Badri menitipkan motornya.
“Setiap akhir pekan ramai pengunjungnya. Apalagi kalau lebaran, pengunjungnya membludak. Jalanan ini sampai macet,” kata pemuda penjaga warung tempat Badri menitipkan motornya.
Selain motor Badri, ada beberapa motor lain yang diparkir di situ. Kata ibu pemilik warung, ada rombongan anak muda dari Karawang dan Bekasi yang baru saja berangkat ke Sanggabuana. “Paling juga baru sampai sawah terakhir, nanti pasti ketemu mereka,” kata ibu itu. Mendengar itu, kami sedikit senang. Berarti nanti ada teman seperjalanan.
Tepat pukul 17.00 WIB atau 5 sore, kami beranjak dari warung itu. Selepas tanjakan berbatu kami sempat ragu. Tapi sebelum berangkat, Badri sempat bertanya sama ibu pemilik warung dalam Bahasa Sunda. Ibu itu bilang, nanti setelah tanjakan berbatu itu, ambil ke kanan. “Kalau jalan ke kiri itu ke Curug Cigeuntis,” kata ibu tadi.
Rupanya Badri mengingatnya, dan jalur yang diambilnya benar. Namun untuk lebih meyakinkan, saya memintanya bertanya lagi dengan seorang ibu lainnya lantaran jalur itu melewati samping rumah penduduk yang sempat bikin saya ragu.
Ternyata benar, setelah melewati beberapa rumah penduduk yang sebagian besar pondasinya diberi penyangga batu, baru nampak setepak menuju persawahan. Di samping kanan setapak itu ada aliran sungai berair jernih dan berarus cukup deras. Kami terus menyusuri setapak itu, di beberapa bagiannya ada perkebunan kopi yang kelihatannya kurang terawat.
Beberapa kali kami berpas-pasan dengan petani yang hendak pulang ke rumah usai bersawah. Setiap bertemu, kami disalami (berjabat tangan), terutama oleh petani yang sudah uzur.
“Penduduk di sini masih ramah-ramah ya bang,” ujar Badri. “Iya, itulah salah satu kepribadian asli Indonesia. Sayang semakin maju, semakin banyak orang Indonesia termasuk orang desa yang keramahannya memudar,” balasku.
Di ujung persawahan terakhir kami menemukan pertigaan yang dibilang Kacel tadi. Untuk lebih meyakinkan, Badri bertanya dengan seorang petani muda yang terakhir kami temui. Dan dia membenarkan rute ke kiri arah ke Sanggabuana. Sementara arah ke kanan melintasi jembatan bambu yang membentang di atas sungai kecil berair jernih, itu ke Kebon Jahe.
Kami sempat beristirahat sejenak di sewung milik penduduk. Setelah itu rute perkebunan kopi dengan medan sedikit menanjak mewarnai perjalanan.
Sebelum perkebunan kopi berakhir, hari sudah gelap. Mata kami sudah tak bisa melihat lagi kondisi jalur. Saya segera mengenakan headlamp dan menyalakannya. Sementara Badri memakai senter tangan kecil barunya. Lumayan juga cahayanya.
Sejak di sawung tadi, saya berjalan di depan Badri. Menapaki medan pendakian pada malam hari ketimbang tadi selagi masih terang, jelas BEDA. Kami merasakan atmosfir lain. Terlebih sebelumnya saya mendengar di gunung ini banyak makom berbentuk kuburan yang dikeramatkan.
Dan atmosfir itu semakin terasa setiap kali melihat bangunan, berupa rumah gubuk dalam kegelapan. Angker, itulah kesan awal yang saya rasakan.
Entah kenapa, biasanya setiap kali mendaki gunung, saya senang kalau bertemu bangunan di jalur pendakiannya. Itu pasti pos atau shelter buat istirahat sejenak.
Lain halnya dengan di Sanggabuana, bangunan itu justru makom berisi kuburan yang dinaungi rumah seperti gubuk. Yang membuat kami tak mau berlama-lama di situ. Melewati saja agak sedikit ketakutan, terlebih dalam kegelapan malam.
Jujur, jantung saya berdebar agak cepat ketika melihat gubuk itu yang ternyata makom kuburan pertama. Di samping makom itu ada pohon besar dan di depannya ada rumah merangkap warung namun tutup.
Saat memasuki areal makom itu, saya mengucapkan salam Assalamu’alaikum dan juga bilang permisi. Begitu juga ketika bertemu makom-makom lainnya di beberapa titik sampai di Puncak 2.
Sempat Salah Jalur
Lepas dari makom pertama itu, perasaan saya agak sedikit tenang. Untuk lebih menenangkan suasana, saya mengajak ngobrol Badri. Kadang bernyanyi-nyanyi kecil. Sampai airnya kami tiba di aliran sungai terakhir di gunung ini.
Setelah menyeberang, ada pancuran air sungai yang kerap dipakai peziarah mandi dan bersih-bersih. Masyarakat setempat menamakannya Pancuran Kejayan.
Keberadaan pancuran ini amat disayangkan. Bagaimana tidak, waktu pertama kali melihatnya terkesan kumuh. Pancuran tersebut ditutupi bentangan lembaran plastik biru sebagai dinding dan karung plastik sebagai pintunya.
Di dalamnya terdapat beberapa pancuran yang terbuat dari bilahan bambu yang ditancapkan di bebatuan yang dialiri air sungai. Di luar dan bagian dalam pancuran itu, saya menemukan banyak celana dalam dan kaos yang tercecer di bebatuan, juga bungkusan samphoo sachetan.
Bayangkan kalau saat musim peziarah tiba, mungkin ada puluhan atau bahkan ratusan orang yang mandi dan bersih-bersih di sini. Aliran air sabun dan samphoo-nya pasti ikut mengalir ke bawah hingga ke desa di kaki gunung ini. Pencemaran pun tak terhindari, dan entah sudah berapa lama berlangsung.
Melihat kondisi pancuran itu, saya jadi teringat kearifan Suku Badui di Banten yang begitu santun menjaga hutan dan sungai-sungai yang mengalir di dalamnya. Di Badui, warga dan pengunjungnya dilarang mandi mengenakan sabun, samphoo, dan pasta gigi langsung di aliran sungainya. Kalau mau, harus di pancuran yang sudah disediakan.
Aliran pancurannya tidak mengalir ke sungai utama. Pancuran khusus perempuan dan laki-laki dibedakan. Yang menarik kondisi pancurannya, kendati kecil tapi tetap alami dan bersih dengan memanfaatkan bambu-bambu setempat sebagai penutupnya, jauh dari kesan kumuh.
Mungkinkah Pancuran Kejayan di Sanggabuana dan atau pancuran lainnya bisa dibuat seperti di Badui? Semestinya BISA. Dan seharusnya pengelola gunung ini termasuk masyarakat setempat melakukan hal serupa, sebelum terlambat. Mengingat Sanggabuana dengan hutannya yang masih lebat menjadi sumber mata air sungai-sungai yang mengalir di Karawang Selatan.
Sewaktu kami menyeberangi sungai itu, kami berpas-pasan dengan rombongan peziarah ditemani penduduk setempat dan juga kuncen-nya.
Kenapa kami berkesimpulan mereka itu peziarah, karena bisa dilihat dari perlengkapan yang mereka bawa. Tak seorang pun yang membawa ransel khusus mendaki. Dan biasanya, kalau bertemu sesama pendaki pasti sering tegur sapa. Ini tidak sama sekali. Entah mereka seperti buru-buru dan seakan mereka tidak mau diketahui orang lain, habis apa dan dari mana.
Di seberang sungai itu, ada sawung terbuka. Di sana ada beberapa orang tengah istirahat dan di depannya, mereka pasang tenda.
Semula kami pikir mereka rombongan anak muda yang menitipkan motor-motornya di warung yang sama di Desa Mekarbuana. Ternyata bukan. Mereka siswa pecinta alam (Sispala) Wanareksa, SMA Pedes Kabupaten Karawang yang tengah beristirahat.
Sejak jam 3 sore, mereka berada di sini dan berencana bermalam lalu keesokan paginya ke puncak. Mereka tengah mengadakan kegiatan pengembaraan dan survival, didampingi seorang guru pria. Kami pun mampir di sawung itu sekalian istirahat.
Hampir tiap tiga bulan sekali, Sispala Wanareksa mengadakan kegiatan kepecintalaman di gunung ini. “Sanggabuana merupakan gunung favorit pecinta alam di Karawang karena dekat dan murah ongkosnya. Selain itu ada juga Gunung Rungking lewat Tegalwaru,” kata Ozi pelajar kelas 2 SMA sekaligus anggota Sispala tersebut.
Oji juga akui alasan lain mengapa Sanggabuana jadi gunung favorit anak-anak pecinta alam Karawang, lantaran tidak ada pilihan gunung lain. Tidak seperti daerah di Jawa Barat lainnya yang memiliki banyak gunung.
Ketika ditanya kenapa tidak mencoba Gunung Salak, Gede, dan Gunung Pangrango yang letaknya masih di Jawa Barat, Oji punya jawaban yang juga masuk akal. “Sebenarnya mau banget tapi jauh. Ongkosnya mahal buat pelajar seperti kami,” jawabnya. Jawaban itu pun diamini Hasan, temannya yang menyuguhkan kami kopi hangat.
Ongkos mahal. Itulah salah satu kendali pendaki gunung sekarang, mulai era tahun 2000-an. Bukan cuma ongkos transportasi, biaya logistik dan perlangkapan pendukungnya pun ikut-ikutan membengkak.
Jelas ini memberatkan, khususnya buat mereka yang masih sekolah dan kuliah apalagi kebanyakan peminatnya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Tak heran kalau hobi mendaki gunung di era kini, buat mereka menjadi salah satu hobi MAHAL. Faktor lainnya, banyak pilihan kegiatan lain seperti touring motor, sepeda gunung, dan lainnya belakangan ini.
Beda sekali dengan kondisi pendaki era tahun 70-an hingga 90-an. Ketika itu biaya transportasi dan lain-lainnya masih teramat murah. Dan belum begitu banyak pilihan kegiatan outdoor. Kendalanya justru akses dan alat transportasinya yang minim.
Contohnya jika dulu ke desa terakhir di kaki gunung-gunung tidak ada ojek motor bahkan jalan pun belum ada. Satu-satunya jalan dengan berjalan kaki. Jadi agak irit.
Tapi sekarang, sudah ada akses jalan dan biasanya pendaki naik ojek motor, sewa angkot dan lainnya yang jelas menambah biaya. Belum lagi sekarang banyak pendaki yang memakai jasa porter yang tarifnya juga menambah ongkos lantaran tak mau susah-susah bawa barang sendiri.
Saya masih ingat, ketika masih kuliah, berpetualang sendirian ke Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1991. Dengan modal tak sampai Rp 500 ribu saya bisa keliling Flores dari Taman Nasional Gunung Kelimutu atau Danau Tiga Warna, mendaki Gunung Meja, ke Situs Rumah Bung Karno di Ende, lalu ke Ruteng dan lanjut ke Labuan Bajo menyeberang dan bermalam ke Pulau Kanawa serta menginap 3 malam di Taman Nasional Komodo. Pulang dari NTT mampir ke Bali dan mendaki Gunung Agung. Dan anehnya uang segitu cukup sampai kembali ke Jakarta, padahal hampir sebulan berkelana sendirian.
Mendengar cerita saya, Oji langsung bilang. “Haaa.., tahun ‘91. Saya belum lahir bang,” akunya agak keheranan.
Sebelum beranjak kembali, saya pun memberi sedikit saran buat Oji yang ingin sekali mendaki Semeru dan juga Hasan yang kepincut dengan Gunung Rinjani.
Salah satu cara agar tetap bisa mendaki gunung, pertama harus fokus ke satu minat, artinya sisihkan hobi lain yang menguras uang jajan, dan kedua, menabung. “Kalau suka yang menantang atau sedikit adventuring, harus punya jiwa nekat. Tapi nekat yang dibekali ilmu dan wawasan, bukan asal nekat,” jelasku.
Salah satu cara agar tetap bisa mendaki gunung, pertama harus fokus ke satu minat, artinya sisihkan hobi lain yang menguras uang jajan, dan kedua, menabung. “Kalau suka yang menantang atau sedikit adventuring, harus punya jiwa nekat. Tapi nekat yang dibekali ilmu dan wawasan, bukan asal nekat,” jelasku.
Mendengar saran itu, Badri langsung berujar. “Jadi abang sekarang nekat nih, naik Sanggabuana malam-malam hehe,” celetuknya.
Apa yang dibilang Badri, saya akui benar. Sejak mendengar Gunung Sanggabuana ada di Kerawang, entah kenapa kenekatan saya muncul dan tak terbendung. Tiba-tiba saya merindukan jiwa kenekatan yang dulu pernah berapi-api sewaktu saya masih berstatus mahasiswa. Dan saya kangen berpetualang yang tak biasa, yang agak menantang, dan bikin jantung berpacu kencang. Bukan sakadar mendaki rame-rame di siang hari, seperti orang antri kondangan, yang unsur petualangannya tidak ada sama sekali.
Tak terasa, lama juga kami duduk dan ngobrol di sawung itu dalam kegelapan. Hampir satu jam. Akhirnya kami pamit beranjak melanjutkan pendakian tepat pukul 19.00 WIB atau jam 7 malam.
Entah kenapa Badri langsung mengambil arah ke sungai. Saya membuntutinya walaupun hati saya ragu. Semakin kedalam koq tetap jalur sungai. “Ini salah de, bukan ini jalurnya,” kataku. “Benarlah bang, tadi ‘kan peziarah itu turun lewat sini, saya lihat sendiri,” kilahnya.
Badri masih penasaran, dia mencoba terus lewati sungai. Sampai mentok di bebatuan yang terjal dan berarus desar. Dia pun ragu.
Badri masih penasaran, dia mencoba terus lewati sungai. Sampai mentok di bebatuan yang terjal dan berarus desar. Dia pun ragu.
Feeling-ku makin tidak yakin ini jalur pendakian. “Balik aja de, ini bukan jalurnya,” saranku lagi. Akhirnya Badri mengikuti kataku. Tapi ketika melewati jalur sungai itu tak jauh dari pancuran, dia menemukan kalung tasbih putih, “Ini bang buktinya ada kalung tasbih, pasti punya salah seorang peziarah yang tadi lewat sini,” ujarnya.
Keraguan saya dengan jalur sungai itu benar. Kami kembali ke sawung tempat Sispala Wanakreksa beristirahat. Ketika saya periksa, di sebelah kanan sawung itu ada jalur yang sebenarnya. Lantaran jalur itu dipakai buat tenda oleh Sispala tersebut, jadi kami tidak melihatnya.
Tanjakan 2 Jam
Setelah melewati sawung itu, saya dan Badri tertawa geli. Tapi yang kami heran, sebenarnya siapa rombongan peziarah yang diyakini Badri turun dari jalur sungai itu. Daripada mikir yang tidak-tidak, kami melanjutkan perjalanan lagi.
Kali ini kami menapaki medan pendakian terberat di Sanggabuana. Namanya “Tanjakan 2 Jam”. Tidak ada keterangan pasti siapa yang menamakannya begitu. Namun dalam sebuah tulisan yang saya temukan di internet, asal muasal medan pendakian tersebut dinamakan Tanjakan 2 Jam lantaran siapapun yang menapaki medan yang menanjak terus-menerus itu, membutuhkan waktu sekitar 2 jam pada siang hari.
Menurut tulisan itu lagi, kalau medan tersebut dilalui saat hujan turun, bisa berjam-jam lamanya lantaran jalurnya amat licin dan beberapa bagiannya jadi saluran air alami. Lalu bagaimana kalau mendakinya saat malam hari seperti yang kami lalukan? Di tulisan tersebut tidak dijelaskan, mungkin penulisnya ketika itu mendakinya pada siang hari.
Lama istirahat di sawung itu ternyata membuat otot-otot kaki kami dingin dan ketika langsung dihajar medan menanjak jadi kaget. Kami pun jalan perlahan, menapaki setapak demi setapak medan menanjak yang bikin tubuh kami bermandi keringat. Kami bersyukur, tidak turun hujan.
Entah berapa kali kami beristirahat sejenak karena kelelahan. Kadang di batang kayu yang membentang di trek, di batu, dan juga di tanah agak lapang. Yang pasti jauh dari makom.
Kami memang menemukan beberapa makom lagi yang bikin merinding, juga beberapa bekas warung yang tidak beratap. Mungkin warung itu buka, pas ramai musim peziarah yakni setiap bulan Mulud. Di salah satu warung yang tak beratap, kami istirahat.
Sampah kemasan makanan kecil berserakan di lantai tanah warung itu. Badri mengumpulkannya lalu membakarnya. “Sebenarnya de, cara terbaik untuk membersihkan sampah plastik ini dengan membawanya turun kembali. Kalau dibakar, selain bisa menyebabkan kebakaran juga sisa plastik yang terbakar tetap membekas,” jelasku. “Paling tidak, cara ini bisa mengurangi sampah-sampah plastik yang tak sedap dipandang mata bang,” ujarnya.
Di situ, kami sempat makan roti, minum, dan merokok sambil menunggu bakaran sampah mengecil dan mati. Setelah itu melanjutkan perjalanan lagi.
Selama pendakian malam ini, beberapa kali saya melihat semacam penampakan. Padahal setelah didekati jelas-jelas bukan. Misalnya daun pisang hutan tertiup angin sepoi-sepoi, dari jauh dalam kegelapan malam nampak seperti lelaki tua bersorban tengah berdiri dengan sorban melambai-lambai. Ada juga penampakan makhluk putih besar yang bergerak-gerak, padahal setelah didekati hanya pohon berdaun rimbun yang daunnya berwarna keputihan bergerak-gerak terbawa angin.
Dan yang pasti, mendaki gunung malam begini, tidak begitu menguras tenaga. “Enggak enaknya tidak bisa lihat sekeliling dan jalurnya dengan jelas,” kataku pada Badri yang terus berada di belakangku hingga Puncak 2.
Dan satu lagi, mendaki gunung malam-malam, atmosfirnya jelas beda. Untuk membuktikannya, saya meminta Badri mematikan senternya. Lalu kemudian saya mematikan headlamp. Alhasil dunia gelap pekat yang kami temui.
Saat itulah suara penghuni hutan semakin nyaring terdengar. Ada suara Tonggeret yang sejak awal senja tadi terus bernyanyi. Dan yang lebih heran lagi terdengar suara burung bersahut-sahutan. Semuanya bak tengah memainkan simponi alam dalam kemasan orkestra hutan.
Saya merasa beruntung. Bukan cuma mendengar suara hewan-hewan malam yang tengah beraktivitas, pun melihat beberapa hewan secara langsung seperti bermacam serangga yang tengah kawin. Saya sempat mengabadikannya lewat kamera poket digital berlampu flash otomatis.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, kami sempat bertemu ular yang tengah melintas menyebrangi trek pendakian, sebelum mencapai Puncak 2. Ular itu mirip sekali dengan Ular Derik. (Baca: Ular di Sanggabuana, Derik atau Viper?).
“Udah bang, jangan lama-lama motretnya,” pinta Badri saat saya asyik mengabadikan ular itu. Pukul 23.00 WIB lebih sedikit, kami akhirnya sampai di Puncak 2.
Lagi-lagi suasananya bikin merinding karena banyak bangunan berbentuk rumah yang di dalamnya terdapat makom berbentuk kuburan. Di antara makom itu ada warung, pemilikya Kang A’ep yang mengaku sudah 10 tahun tinggal di sana.
Saat kami masuk ke warungnya ternyata ada bale-bale kayu tempat beristirahat. Kang Aef sedang main catur dengan salah seorang Ketua RT di Desa Mekarbuana. Sementara di sebelah pojok kanan, ada 2 orang pengunjung peziarah yang sudah tertidur pulas.
Lalu kemana rombongan anak muda yang sama-sama menitipkan motor di Desa Mekarbuana? Apa mungkin mereka langsung ke Puncak 1? “Cepat sekali langkah mereka. Kalau begitu mereka benar-benar pendaki,“ kataku dalam hati.
Soalnya Kang A’ep tidak melihat ada rombongan orang mampir ke warungnya. “Biasanya setiap pendaki ataupun peziarah selalu mampir ke sini dulu, istirahat atau belanja,” katanya.
Di bale-bale warung Kang A’ep, kami hempaskan lelah. Sebelum tidur, kami meminta pria beranak 2 ini menyeduh bubur ayam (buryam) kemasan yang dijual di warung sederhananya itu, berikut teh manis panas.
Sewaktu membaringkan badan, sebelum benar-benar tertidur pulas, saya terkenang-kenang kisah pendakian dalam kegelapan tadi, terlebih bertemu dengan ular yang mirip Ular Derik.
Sepanjang pendakian selepas sawung dekat Pancuran Kejayan, menuju Tanjakan 2 Jam hingga Puncak 2, kami tak bertemu pendaki atau pun peziarah lain. Ya cuma kami berdua, dalam keriuhan konser alami penghuni malam hutan.
Mungkin kalau pendakian ke Sanggabuana ini tidak kami lakukan malam hari, belum tentu bertemu dengan ular itu. Dan belum tentu kami mendapatkan atmosfir lain yang beda, dimana rasa penasaran bercampur cemas dan takut yang sempat bikin dada kami deg-degan.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Captions:
1. Rekan sependakianku, Ahmad Badri tengah mengabadikan hutan Gunung Sanggabuana, Karawang Selatan, Jawa Barat.
2. Kendati tingginya di bawah 2.000 Mdpl tapi medannya cukup menantang terutama pas Tanjakan 2 Jam.
3. Hutan Gunung Sanggabuana saat berselimut kabut, menawarkan suasana lain.
NB.: Terimakasih buat Ahmad Badri yang sudah menemani saya mendaki Gunung Sanggabuana. Sekarang sudah tahu ‘kan, kalau kenekatan saya kambuh, gaya berpetualang saya pun beda..:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.