Sop iga banyak macamnya. Tapi sop iga khas Lombok yang disebut Bebalung jelas punya citra rasa berbeda. Sesuai namanya dalam Bahasa Sasak yang berarti “tenaga”, makanan ini diyakini bukan saja meningkatkan selera makan pun dapat meningkatkan vitalitas.
Kemarin, seorang perempuan yang tinggal di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) mengirimkan foto sewajan Bebalung ke dinding facebook saya. Rahmi Hidayati namanya atau biasa disapa Ida. Suaminya bernama Rizal Pahlevi.
Keduanya saya kenal sekitar 5 tahun lalu, selagi mereka masih pacaran. Sekarang keduanya sudah berumah tangga dan dikarunia dua putra, Aqsa dan Arsy. Sewaktu pertama kenal mereka, saya sedang tugas meliput Festival Senggigi.
Keduanyalah yang menemani saya selama beberapa hari meliput event tersebut dan memperkenalkanku dengan beberapa makanan khas Lombok seperti Plecing Kangkung, Sate Bulayak, Ayam Taliwang, dan lainnya. Kebetulan saat itu keduanya bertugas di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan NTB.
Pada kesempatan itulah, saya juga dikenalkan Ida dengan Bebalung. Saya diajak ke rumah orangtuanya di Mataram. Ibunya memang pembuat Bebalung andal.
Ketika kali pertama melihat makanan berkuah ini, saya pikir sop iga biasa seperti yang ada di Jakarta. Tapi setelah saya nikmati, ternyata beda. Kuahnya agak bening tapi rasanya kuat, gurih, segar, dagingnya empuk, dan pastinya lezat.
Semangkung Bebalung yang saya santap, terbuat dari tulang iga atau tulang ekor sapi. Ada juga yang memakai iga kerbau yang dicampur dengan racikan bumbu yang terdiri atas cabe rawit hijau, bawang putih, bawang merah, lengkuas, daun salam, sereh, daun asem, daun bawang, tomat, dan kunyit ditambah jahe agar rasa pedas cabenya memiliki ciri khas tersendiri.
Tak ketinggalan sedikit garam dan buah asam agar masakan lebih awet. Racikan bumbu semacam ini oleh masyarakat Sasak disebut ragi rajang. Racikan bumbu itulah yang membuat citra rasa sop satu ini tidak biasa, khas tentunya. Ada juga yang memberi campuran potongan kentang, wortel dan daun melinjo.
Cara membuat Bebalung ternyata tak rumit. Tulang iga atau tulang ekor sapi atau kerbau dipotong sesuai selera. Setelah dibersihkan dan direbus hingga matang dan dagingnya empuk, barulah dicampur dengan racikan bumbu yang telah dihaluskan dan ditumis. Bumbu dan bahan baku Bebalung yang telah matang ini direbus kembali sekitar 30 menit agar bumbunya meresap ke dalam daging.
Setelah matang, Bebalung biasanya disajikan dalam mangkuk. Bagian atasnya ditaburi bawang merah goreng. Teman bersantapnya nasi putih. Kalau suka rasa pedas, ditambah dengan sambal segar khas Lombok. Bebalung paling mantap disantap selagi masih hangat.
Menu pendampingnya yang paling pas biasanya Plecing. Karena kekompakan keduanya sering disebut juga Bebalung Plecing.
Di Lombok, selain Ares (sayuran khas Sasak Lombok yang bahan utamanya pelepah pisang atau gedebok pisang muda dengan santan berasa manis dan gurih), Bebalung juga merupakan makanan wajib dalam setiap hajatan besar seperti khitanan, perkawinan, dan lainnya.
Kendati begitu, makanan ini mudah ditemukan diluar acara-acara spesial tersebut. Di sejumlah rumah makan di Lombok mudah ditemukan. Salah satunya rumah makan Depot Kelebet yang berada di Jalan HOS Cokroaminoto, tepatnya di belakang kantor Gubernur NTB.
Tempat lainnya Rumah Makan Ramayana di daerah Ampenan dan di Jalan Raden Saleh Sungkar berada tepat di jalan utama menuju Pantai Senggigi dari Kota Mataram. Harganya berkisar antara Rp20ribu-Rp30ribu per porsinya.
Melihat foto sewajan Bebalung kiriman Ida, jelas membuat saya merindu makanan ini, terutama Bebalung buatan ibunya yang benar-benar makyus. Karena sejak pertama kenal dengan Bebalung, sampai sekarang saya belum pernah merasakan lagi kenikmatan dan kemujarabannya yang dipercaya dapat meningkatkan vitalitas itu.
Pada pertemuan kedua saya dengan Ida dan Rizal di Senggigi, sewaktu mengikuti press tour yang diadakan oleh Disbudpar NTB bekerjasama dengan Kembudpar, tidak sempat mencicipi Bebalung karena waktu saya tidak banyak. Tapi saya beruntung, masih bertemu mereka apalagi sempat bermain bola di Pantai Senggigi dengan Aqsa, putra pertama mereka yang sudah saya anggap seperti keponakan sendiri.
Di Jakarta, Bebalung agak sulit dicari. Dibanding makanan khas Lombok lainnya, Bebalung memang tak sepopuler Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung yang sudah agak me-Nasional dan mudah ditemukan di beberapa kota besar termasuk Jakarta.
Nasib serupa juga dialami Kaledo, sop kaki lembu Donggala khas Palu, Sulawesi Tengah. Di kota tersebut, makanan ini begitu tersohor. Tapi di Jakarta agak sulit. Baik Bebalung dan Kaledo, mungkin baru ada, sebatas di rumah orang Lombok atau orang Palu yang menetap di Jakarta, bukan di rumah makan.
Jadi kalau Anda, berniat membuka rumah makan atau warung Bebalung, sop iga khas Lombok ini, peluang bisnisnya amat menjanjikan, mengingat sedikit atau bahkan belum ada saingan.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Ida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.