Kamis, 14 Februari 2019

Baduy Tanpa Listrik Justru Kian Eksotik

Sejak zaman baheula sampai now, masyarakat Baduy hidup tanpa listrik. Berkat keteguhannya itu justru membuat mereka semakin eksotik.

Seluruh kawasan Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, baik itu yang ada di Baduy Luar atau Panamping maupun Baduy Dalam (Tangtu), pantang berlistrik.

Di Baduy Dalam yang terdiri atas tiga kampung inti yakni Cikartawarna, Cibeo, dan Cikeusik, alat penerang yang digunakan warganya pada malam hari, berupa lampu teplok buatan sendiri dengan minyak juga hasil olahan sendiri.

Selain itu totok/alat penerang berbahan minyak picung, lodong, koja, dan lainnya. Kalau untuk keperluan jalan pada malam hari, terkadang mereka menggunakan obor yang lagi-lagi made in Baduy.

Sementara penerangan di Baduy Luar seperti di Kampung Gajeboh ada juga yang menggunakan lampu berbahan energi matahari sebagaimana di Kampung Marengo. Kalau sudah habis, lampu itu dijemur di bawah terik matahari.

Lantaran tak berlistrik jangan harap Anda menemukan peralatan elektronik seperti radio, kulkas, kompor gas, dan lainnya di Baduy Dalam. Semua itu memang dilarang masuk.

Di dalam rumah orang Baduy Dalam, hanya ada tungku masak dari kayu. Amat minim perabotan, hanya ada gelas dari bambu dan piring juga dari batok kelapa.

Rumahnya berbentuk panggung yang ditopang beberapa balok kayu dan berbilik serta beralas bambu. Gaya bangunan seperti itu justru tahan gempa bumi.

Jauh sebelum namanya tersohor, Urang Kanekes begitu mereka lebih senang disebut, telah menyadari wilayahnya bakal dikunjungi banyak wisatawan.

Mereka pun sadar pengunjung yang datang pada akhirnya juga berdampak negatif, mencemari bukan hanya lingkungannya, pun prilaku warganya oleh kebiasaan buruk yang dibawa pengunjung.

Untuk mengantisipasinya, mereka pun menerapkan cara tersendiri.

Cara itu sudah dilakukan mereka sejak lama. Ketentuan adat tak tertulis mereka ini WAJIB dipatuhi setiap pengunjung.

Mereka tidak mengijinkan pengunjung bermalam lebih dari satu malam. Tempat bermalamnya pun di Baduy Luar, khususnya di rumah yang sudah biasa menerima tamu atau ditunjuk oleh pimpinan tertingginya yang di sebut Puun.

Tugas Puun sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya, dia dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya.

Saat mereka melakukan Kawalu, semacam puasa tiga kali selama tiga bulan, pengunjung dilarang masuk ke wilayah Tangtu. Jika ada kepentingan, biasanya pengunjung hanya diperbolehkan masuk sampai Baduy Luar dan itupun tidak diperbolehkan menginap.

Di Baduy Dalam, pengunjung biasanya diperbolehkan menginap satu malam.

Untuk mencapai Baduy Dalam butuh sekitar 2-4 jam berjalan kaki dari wilayah Baduy Luar, Ciboleger.

Trek perjalanannya cukup panjang, naik turun perbukitan dengan pemandangan menawan berupa deretan pegunungan berbalut hutan rimbun, melewati danau kecil, dan beberapa perkampungan, serta sungai berjembatan yang terbuat dari bambu tanpa paku.

Mereka pun melarang setiap tamu nyabun (memakai sabun) dan bermacam produk mandi dan bersih-bersih/mencuci lain seperti shampoo, tapal gigi, dan deterjen jika mandi di sungainya. Bahkan dibeberapa tempat, pengunjung dilarang mandi langsung di sungainya.

Aneka produk tersebut mereka nilai dapat mencemarkan sungai.

Aturan itu membuat keberadaan sungai di wilayah mereka yang hanya berjarak sekitar 172 Km sebelah Barat ibukota Jakarta atau sekitar 65 Km sebelah Selatan Serang, ibukota Provinsi Banten ini, terlihat bersih dan berair jernih kehijauan, terlebih di musim panas.

Pengunjung juga diharamkan sembarang menebang pohon apalagi merusak hutan.

Jika warga Baduy ingin melakukan penebangan pohon harus seizin lembaga adat.

Kawasan Baduy hingga kini sengaja tidak memiliki jalan aspal untuk menghindari mudahnya orang luar keluar masuk hutan mereka.

Andai ada warga luar yang ingin masuk hutan hak ulayat Baduy, tidak diperkenankan membawa angkutan, seperti motor, mobil, dan truk sebab kendaraan-kendaraan tersebut bisa merusak hutan kawasan Baduy.

Satu lagi yang harus diindahkan, jika di wilayah Baduy Luar pengunjung masih bisa memotret maka di wilayah Baduy Dalam memotret tidak diperbolehkan.

Jadi di Baduy Dalam pengunjung dilarang menggunakan HP, kamera, atau radio.

Semua larangan atau tabu yang memagari alam dan masyarakatnya itulah yang membuat Baduy bukan hanya mampu bertahan dari hal-hal negatif, imbas dari kehadiran pengunjung, pun menjadi lebih eksotik.

Tak berlebihan rasanya kalau mereka pun menolak bantuan dana desa sebesar Rp 2,5 miliar yang dikucurkan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur tahun ini.

Menurut Saija selaku pemuka adat sekaligus Kepala Desa Kanekes, penolakan dana desa tersebut sesuai keputusan adat.

Alasannya sedehana tapi teramat penting, mereka khawatir pembangunan itu bisa merusak adat budaya masyarakat dan juga alamnya.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Captions:
1. Meniti jembatan bambu tak berpaku menuju kawasan pantang listrik, Baduy.
2. Salah satu kampung di Baduy Luar yang sunyi dan tenang.
3. Jalan kaki, satu-satunya cara ke dan kembali dari Baduy Dalam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.