Senin, 17 Desember 2018

Menikmati Wajah Kekinian Manggar, Si-Kota Wisata 1001 Warung Kopi

Secangkir Kopi O 'Belitong dan empat potong pisang goreng menjadi teman santai sore di salah satu warung kopi (warkop) kekinian di Kota Manggar.

Sore itu, pengunjungnya sejumlah laki-laki tengah asyik minum kopi sambil ngobrol

Kalau dilihat dari penampilan, mereka seperti tamu atau wisatawan dari luar kota Manggar.

Mereka duduk di kursi dan meja kayu sederhana dialasi taplak plastik tanpa hiasan apa pun.

Kondisi itu hampir sama dengan warkop-warkop lainnya di Manggar. Jadi jangan bayangkan seperti kafe kopi di Jakarta yang umumnya mentereng dilengkapi sofa, TV, dan ruang khusus ber-AC.

Saya sebut warkop itu kekinian lantaran sewaktu saya datang pertama kali ke Ibukota Kabupaten Belitung Timur (Beltim) yang berada di Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung (Babel) ini belasan tahun silam, jauh sebelum ada film Laskar Pelangi, warkop itu belum ada.

Ditambah dari namanya yang membuktikan warkop itu hadir di era kekinian. Namanya Warkop Millenium.

Sejak pertama melihat warkop itu, sudah menarik perhatian saya dan memunculkan persepsi tersendiri.

"Inilah salah satu warkop yang mewarnai wajah Manggar era kekinian," kata saya dalam hati saat sepintas melihat warkop itu sebelum masuk ke Guest Hotel tempat saya menginap selama liputan Festival Irau Pantai 2018 di Pantai Burong Mandi yang berjarak 21 Km dari Manggar.

Letak warkop itu di Jl. Bioskop Mega No.106, dulunya bekas bioskop, persis di depan hotel tersebut.

Begitupun dengan Guest Hotel yang saya inapi, termasuk hotel yang mewarnai paras Manggar era 2000-an. Terbukti dari tahun pengoperasian hotel dengan aksen cat warna ungu, biru muda, dan abu-abu itu tertera tahun 2013 lalu.

Bukan cuma sejumlah warkop dan hotel baru, pun rumah makan, ruko, dan kondisi jalan yang membuat paras Manggar sudah agak berubah.

Ketika saya datang belasan tahun silam, sejumlah warkopnya amat sederhana, kecil, apa adanya bahkan terkesan kumuh karena rata-rata seperti bedeng bangunan yang beratap seng dan berdinding bambu ataupun kayu.

Tapi kini banyak yang berpenampilan lebih bagus, lumayan besar, dan rapih.

Namun kalau boleh saya bandingkan dengan sejumlah kedai kopi di Banda Aceh dan sejumlah daerah di Tanah Rencong itu, jelas warkop-warkop di Manggar masih kalah dari sisi penampilan.

Di Banda Aceh, Ibukota Provinsi Aceh, kedai kopinya besar-besar, rata-rata kelas premium, berfasilitas free WiFi, TV layar datar, dan lainnya.

Begitupun di sejumlah ibukota kabupaten yang ada di Aceh. Jumlah kedai kopinya pun jauh lebih banyak dan tersebar dimana-mana. Dengan kata lain Aceh sebenarnya amat pas menyandang gelar Provinsi Sejuta Kedai Kopi.

Kondisi jalan kekinian di Manggar pun membuat rautnya semakin merona.

Dulu jalannya tak sebagus sekarang yang sudah ber-hotmix mulus. Dulu pun tak saya temukan satupun lampu merah tapi sekarang sudah ada beberapa. Itu membuktikan kalau  jumlah penduduk dan kendaraan di kota ini semakin bertambah.

Menurut Ali, sopir Inova yang saya tumpangi selama berada di Beltim, jumlah lampu merah di Belitung saja saat ini baru ada 7, termasuk yang ada di Kota Manggar.

Meski sudah banyak warkop kekinian, namun gaya warkopnya nyaris tak berubah.

Contohnya di pinggir sepanjang Jl. Bioskop Mega, deretan warkopnya hampir semua berjendela terbuka sehingga siapa saja yang ada di luar bangunan bisa melihat kegiatan pengunjung yang sedang minum kopi di dalam deretan warkop tersebut.

Soal harga, warkop di Manggar jelas jauh lebih murah jika dibanding kedai kopi di Aceh dan Jakarta.

Secangkir kopi O' Belitung atau kopi hitam panasnya cuma Rp 7.000. Bahkan ada yang kurang dari itu. Selain lebih murah meriah,  warkopnya ada yang buka 24 jam.

Umumnya jam bukanya beda-beda. Ada yang buka dari pukul 4 pagi sampai sore, ada juga yang buka dari pukul 5 sore sampai pukul 2 subuh. Namun yang pasti semakin malam semakin ramai pengunjungnya.

Meskipun banyak dan letaknya berdekatan, namun hampir semua warkopnya memiliki pelanggan masing-masing.

Lalu bagaimana Manggar bisa sampai bermunculan warkop dan dari mana asal kopinya mengingat Belitung bukanlah daerah penghasil kopi melainkan lada dan timah?

Menurut beberapa pemilik warkop di sana, kehadiran warkop di Manggar berawal dari kebiasaan para pekerja timah yang berasal dari China.

Para imigran tersebut membawa kebiasaan dari tanah leluhur mereka yakni minum kopi sebelum bekerja di tambang timah atau malam hari saat mereka berkumpul dengan sesama pekerja tambang.

Kebiasaan ini lambat laun diikuti orang-orang Melayu, penduduk pribumi di Manggar dan Belitung umumnya.

Sementara kopi yang dijual di Manggar itu dipasok dari Lampung berupa biji kopi mentah. Oleh masing-masing pemilik warkop diolah sendiri dengan resep dan bumbu rahasia, termasuk dalam menggoreng biji kopi mentah itu untuk dijadikan bubuk kopi.

Tapi racikan kopi seduhnya,  umumnya dilakukan dengan cara sederhana tanpa proses yang rumit sebagaimana kefe-kafe kopi modern.

Rata-rata warkop di Manggar sejak dulu menyiapkan seduhan kopi dalam panci besar. Nah, setiap ada pesanan kopi, baru dididihkan kembali di panci kecil lalu dituang ke cangkir sesuai pesanan sehingga kopi cepat dihidangkan.

Sewaktu menyeruput Kopi O di Warkop Millenium, saya pun merasakan aroma kental kopi robusta itu adalah aroma kopi Lampung.

Kopi itu memiliki bau yang tidak “gosong” meskipun menggunakan air yang mendidih dalam pembuatannya. Air kopinya tidak terlalu kental dan rasa kopinya pun tidak terlalu masam sehinga masih aman untuk lambung. Itulah segelas kopi khas Manggar.

Nah, kalau ingin melihat wajah keseharian kota Manggar datanglah ke warkopnya yang tersebar di beberapa titik pada waktu yang berbeda, pagi, siang maupun malam.

Di sana Anda pasti menemukan sekilas wajah pembauran antara pribumi dan Tionghoa, masyarakat biasa dan pejabat, dan juga gaya muda-mudi zaman now.

Ada yang asyik membahas politik, ekonomi, pekerjaan, rumah tangga bahkan gosip artis ibukota sambil menyuruput Kopi O dan jenis kopi lainnya.

Selain Warkop Millenium, masih ada sejumlah kopi yang lebih dulu hadir mewarnai wajah Manggar.

Seperti Warkop Atet, Hasan, dan Warkop Kong Fu di Jl. Jenderal Sudirman, Warkop Pak Aji di Jl. Raya Manggar-Gantung, Warkop 1001, Adhi, Markus, Afui, dan warkop lainnya.

Warkop-warkop tua di Manggar umumnya dikelola warga keturunan China. Salah satunya Warkop Atet di dekat pasar Manggar yang dikelola orang Tionghoa bermarga Siau,  bernama Atet. Warkop tersebut berdiri dari tahun 1949.

Warkop yang buka pukul 4 pagi hingga pukul 5 sore ini pernah memenangi festival kopi yang digelar Pemkab Beltim.

Keberadaan warkop di Manggar sejak dulu, membuat kota ini masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) karena penduduknya merupakan peminum kopi terbanyak.

Tahun 2011 lalu di Manggar terselenggara acara rekor memecahkan minum kopi susu oleh MURI yang diikuti oleh 15.000 orang.

Berkat menjamurnya warkop di Manggar sejak dulu, ditambah dengan acara MURI itu, Manggar yang berada di bagian timur dari Pulau Belitung dan berjarak sekitar 90 Km dari Bandara Hanandjoedin, Tanjung Pandan, Ibukota Kabupaten Belitung itu akhirnya dicanangkan sebagai Kota Wisata 1.001 Warung Kopi oleh Gubernur Bebel.

Mengingat Manggar sudah berpredikat Kota Wisata 1.001 Warung Kopi, jadi kalau Anda ke sana sempatkanlah mampir ke warkop-warkopnya, sebab ada anggapan "mun lum ngopi, rasa'e lum sampai di Manggar".

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Captions:
1. Secangkir Kopi O' Belitung, kopi khasnya Manggar, Ibukota Kabupaten Belitung Timur (Beltim), Pulau Belitung.
2. Salah satu hotel di Manggar yang juga merangkap kafe kopi khas Manggar.
3. Suasana pengunjung di salah satu warkop kekinian di Manggar.
4. Warkop Millenium, salah satu dari puluhan warkop di Manggar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.