Kamis, 11 Juni 2015

Ini Jawaban Kenapa Jamur Kelambu pun Nyaman Tinggal di Tanah Adat Baduy

Sepulang dari Cibeo, salah satu dari tiga kampung di Baduy Dalam, tak sengaja saya menemukan jamur yang bentuknya cukup unik dan menarik perhatian. Jamur itu memiliki jaring atau jala berwarna putih. Karena tak tahu namanya, spontan saya menyebutnya jamur kelambu lantaran bentuknya mirip kaos lampu bohlam petromak. 

Kira-kira tinggi tangkai jamur yang juga berwarna putih itu sekitar 25 Cm dengan tebal tak sampai 3 Cm. Letaknya berada di antara semak belukar pendek di tepi jalur setapak alami yang sebelahnya berbatasan dengan lembah berhutan.

Tidak seperti jenis jamur lain yang tumbuh bergerombol, jamur kelambu justru terlihat lebih suka menyendiri.

Untungnya, karena bentuknya yang unik berkelambu dengan warna putih terang, agak mudah melihatnya walaupun berada di antara semak belukar. Tapi tetap saja perlu kejelian untuk menemukannya, terlebih di Pegunungan Kendeng yang luasnya ribuan hektar.

Saya merasa beruntung perjalanan ke Badui Dalam kali ini bisa bertemu dengan jamur kelambu tanpa disengaja. Semula saya tidak menyangka sama sekali jamur unik satu ini ada di sini. Saya kira hanya tumbuh di Kalimantan dan Papua. Pasalnya sebelumnya saya pernah menemukan jenis jamur itu di Kotawaringin, Kalimantan Tengah dan di daerah hutan lebat Mamberamo, Papua. Bentuknya sangat mirip, cuma warna jaring atau kelambunya saja yang beda, kuning cerah.

Tanpa menyiakan kesempatan langka itu, saya pun segera mengabadikan jamur itu beberapa kali. Menurut Nurman (32), orang Baduy Luar yang menemani perjalanan saya ke Baduy Dalam, jamur tersebut tidak bisa dikonsumsi karena mengandung racun. “Iya jamur itu beracun. Orang Baduy tidak ada yang memakannya. Orang sini menyebutnya iles,” terang Nurman.

Berdasarkan ilmu yang saya dapat dari orang Dayak Desa Inan, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, saya sedikit tahu bagaimana membedakan mana jamur yang aman dikonsumsi mana yang beracun.

Orang Dayak di sana biasa mencari jamur atau biasa disebut kulat ke hutan atau ke semak belukar. Cara mereka membedakan mana kulat sehat mana yang beracun  cukup dengan melihat kondisi kulat itu.

Jika kulat ada ulat atau terdapat bekas dimakan ulat dan binatang kecil,  berarti kulat tersebut sehat dan bergizi. Tanda lain kalau kulat tersebut dihurung  atau dikerumuni binatang kecil yang bernama lokal bari-bari, maka kulat itu sehat alias boleh disantap. Sebaliknya kalau kulat tersebut terlihat utuh walau sudah berumur tua, tidak ada bekas dimakan ulat atau binatang kecil, itu dipastikan beracun.

Entah kenapa mendengar penjelasan Nurman tentang jamur kelambu itu beracun, rasa penasaran saya terhadap jamur itu justru semakin menjadi. Saya ragu kalau jamur itu beracun meskipun keseluruhan badan jamur itu  mulus dan tidak ada ulat, serangga atau hewan kecil? Pertanyaan lain yang juga mengendap dibenak saya, apa yang membuatnya tumbuh nyaman di Tanah Adat Baduy?

Apalagi jamur yang saya temukan bukan cuma satu, tapi ada satu lagi yang lokasinya berada beberapa meter dari jamur pertama. Berarti kemungkinan besar jamur kelambu ini memang banyak dan sebenarnya sudah lama menetap di Tanah Adat Baduy di Pegunungan Kendeng ini.

Rasa penasaran itulah yang membuat saya mencari informasi lebih jauh tentang rahasia besar jamur tersebut. Salah satunya dengan bertanya ke mbah google. Beberapa data akhirnya saya temui.

Dari soal nama misalnya, ternyata selain dijuluki jamur jala, jaring, dan kelambu, ada juga yang memanggilnya jamur wanita berkerudung, jamur bambu, dan jamur jaring panjang. Namun yang pasti jamur yang berasal dari keluarga Phallaceae ini, bernama ilmiah Phallus indusiatus.

Di daerah lain, misalnya orang Bugis di Sulawesi Selatan biasa menyebut jamur yang tumbuh di daerah tropis dan ditemukan di Australia, Asia Selatan, Afrika, dan Amerika ini dengan sebutan “basi jala-jala”.

Data lainnya menyebutkan jamur yang tumbuh di hutan lembab atau kebun yang kaya dengan bahan kayu yang telah membusuk ini, tidak bisa bertaham lama. Siang hari jamur ini sudah layu, apalagi kalau terlalu lama terpapar sinar matahari terik.

Data lain menerangkan jamur Phallus indusiatus ini memiliki kerabat serupa bentuknya yakni Phallus multicolor. Tetapi jamur Phallus multicolor memiliki topi berwarna lebih terang, dan batang serta indusium biasanya lebih kecil. 

Jenis lainnya ini biasa ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua Nugini, Zaire, Tobago, Hawaii, Australia, dan Guam. 

Di samping itu ada pula Phallus merulinus yang lebih halus dan lebih pendek dari Phallus indusiatus. Umumnya ditemukan di Jepang, Amerika Utara bagian timur, beberapa daerah di Eropa. 

Kebenaran jamur kelambu ini benar beracun atau tidak akhirnya terjawab. Berdasarkan info lainnya diceritakan bahwa di Asia Timur, tepatnya di China, jamur ini sudah dikonsumsi sebagai santapan lezat sejak masa Dinasti ing. Bahkan sampai sekarang jamur ini masih diperjualbelikan sebagai bahan sup. 

Setelah dianalisis oleh ahli gizi, ternyata jamur ini mengandung protein dan serat tinggi sebanding dengan nilai protein dalam daging dan sayuran. Jamur ini pun memiliki kandungan mineral, kalium, natrium, dan besi yang kadarnya tergantung dimana jamur ini tumbuh. 

Mengapa jamur kelambu ini tumbuh dengan nyaman di kawasan hutan hak ulayat Baduy seluas 5.101,85 hektar sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 32 Tahun 2001 hingga kini? Jawabannya karena konsistennya orang Baduy menjaga kelestarain alamnya. 

Selain menjaga hutan-hutan lindung termasuk hutan bambunya, mereka juga melakukan penanaman berbagai jenis pohon serta menjaga dengan apik kelestarian sungai-sungainya seperti Ciujung, Cisimeut, Ciberang, dan Cimadur. 

Sejak nenek moyang mereka sampai sekarang, mereka berkomitmen teguh menjaga dan melestarikan lingkungan sebagai pilar kehidupan. Warga Baduy yang menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, yang berjarak sekitar 40 Km dari Kota Rangkasbitung, atau sekitar 160 Km sebelah Barat Kota Metropolitan Jakarta ini diharamkan sembarang menebang pohon apalagi merusak hutan. Jika warga ingin melakukan penebangan harus seizin lembaga adat. 

Bahkan, kawasan Baduy hingga kini sengaja tidak memiliki jalan aspal untuk menghindari mudahnya orang luar keluar masuk hutan mereka. Andai ada warga luar yang ingin masuk hutan hak ulayat Baduy, tidak diperkenankan membawa angkutan, seperti motor, mobil, dan truk sebab kendaraan-kendaraan tersebut bisa merusak hutan kawasan Baduy.

Wilayah yang mereka diami merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300-600 meter di atas permukaan laut (Mdpl) dengan topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45 derajat serta suhu rata-rata 20 °C, dan tentunya hutan yang tetap terjaga dengan baik termasuk hutan bambunya. Kondisi itu merupakan rumah ideal bagi jamur kelambu untuk tumbuh dan berkembang. 

Dampak positif dari pelestarian hutan, sungai, danau, dan gunung yang diterapkan masyarakat Baduy dari dulu hingga kini, bukan hanya mampu mengurangi bencana alam seperti banjir, longsor, dan pemanasan global, pun memberi kehidupan yang cukup dan nyaman bagi masyarakatnya, termasuk bagi sejumlah tanaman seperti jamur kelambu ini. 

Jadi tak heran rasanya kalau jamur berkerudung jaring ini betah dan nyaman tinggal di semak belukar, di bawah pepohonan bambu, dan hutan belantara Pegunungan Kendeng, Baduy lantaran semuanya masih terjaga dengan apik dan lestari hingga kini.

Naskah & foto: adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com) 

Captions: 
1. Jamur kelambu tumbuh nyaman di lereng Pegunungan Kendeng, yang menjadi Tanah Adat Baduy. 
2. Kawasan Pegunungan Kendeng yang berbukit dan bergelombang serta berhutan lebat. 
3. Jamur berjaring bernama ilmiah Phallus indusiatus ini lebih senang tumbuh menyendiri.

NB.: DILARANG COPAS!

1 komentar:

  1. Didepan rumah saya juga ada lo, bingung gimana mau upload foto, ini ada 2, trus ada satu lagi yang mau tumbuh

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.