Selasa, 09 Desember 2014

Nanar Menatap ‘Keelokan’ Beuti Canar

Namanya terdengar unik dan cantik, Beuti Canar. Berasal dari dua kata Bahasa Sunda lokal yakni Beuti yang bermakna umbi dan Canar berarti duri. Sesuai namanya, gunung sepi ini berhutan penuh tanaman merambat berduri. Namun keradaannya diselimuti banyak pesona yang membuat mata ini nanar menatapnya.

Kalau saya sebut Gunung Gede, Ceremai, dan Papandayan, saya yakin sebagian besar pecinta alam dan pendaki gunung Indonesia, terlebih di Jawa pasti sudah paham betul. Maklum ketiga gunung itu merupakan gunung terpopuler di Jawa Barat, artinya paling sering didaki alias pasaran. Artikel atau tulisan terkait ketiga gunung tersebut pun sudah over exspose

Begitupun dengan Gunung Galunggung, rasanya nama gunung di Tasikmalaya itu pun tidak begitu asing di telinga. Apalagi letusan terakhirnya mendunia. Tapi kalau saya bilang Gunung Beuti Canar, saya yakin banyak yang tidak tahu atau bahkan baru kali ini mendengarnya.

Beuti Canar memang bukan gunung tersohor di Jawa Barat, apalagi di Indonesia. Gunung berketinggian 2.240 meter di atas permukaan laut (Mdpl) atau setara 7.349 kaki ini disebut-sebut sebagai puncaknya Gunung Galunggung yang pernah meletus hebat 5 Mei 1982.

Letusan yang berlangsung 9 bulan hingga 8 Januari 1983 tersebut meninggalkan deretan punggungan Gunung Beuti Canar dan Gunung Canar yang memagari kawah kaldera Galunggung yang luas bak mangkuk raksasa.

Gunung Beuti Canar sendiri berada, tepat di belakang kawah Gunung Galunggung sekaligus menjadi atapnya Tasikmalaya yang berjarak sekitar 17 Km dari pusat kota.

Pertama kali mendengar nama Beuti Canar saya langsung terpikat. Rasa penasaran dan gairah petualangan pun berdenyut kencang. Saya merasa kembali ke usia belasan tahun, laksana pria muda yang tengah terpesona gadis ranum nan harum. Begitulah emosi yang muncul setiap kali mendengar nama gunung tak popular, yang belum pernah saya daki dan kabarnya punya kelebihan tersendiri, termasuk Beuti Canar ini.

Ketika Asep Puswantoro mengajak saya mendaki Gunung Beuti Canar, ajakannya itu pun langsung saya sambut. “Tanggung kalau cuma ke Talaga Bodas, kita nanjak Beuti Canar aja sekalian,” ajak Kang Asep, begitu biasa saya panggil.

Usai menyiapkan perlengkapan pendakian, logistik, air, tenda, dan parang atau golok, kami pun berangkat. Dani dan Tandang, dua rekan Kang Asep ikut serta. Dari belakang Pasar Wanareja, Garut, kami naik tiga sepeda motor menuju Talaga Bodas yang  berada di Desa Sukamenak, Kecamatan Wanareja.

Ketika itu jalanan masih rusak, tidak semulus sekarang. Butuh waktu 1,5 jam untuk sampai pintu masuk Talaga Bodas yang berjarak sekitar 8 Km dari Pasar Wanareja, sedangkan dari Terminal Guntur Kota Garut sekitar 20 Km dan dari Bandung sekitar 83 Km.

Akses Wanaraja ke Talaga Bodas dulu memang rusak parah, bergelombang dan berbatu besar. Hanya para pecinta alam dan pendaki gunung tangguh serta warga lokal yang mampu menapakinya. Tapi kini kendaraan roda dua dan empat non 4WD pun sudah bisa sampai pintu masuk Talaga Bodas, termasuk dari arah Rajapola, Tasikmalaya.

Setibanya di Talaga Bodas, kami mampir di pondok Opalin atau Organisasi Perlindungan Alam dan Hutan Indonesia di dekat pintu masuk. Sekarang pondoknya sudah tidak ada. Belakangan berdiri pos Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Talaga Bodas, maklum kawasan seluas 23,83 hektar ini dikelola oleh BKSDA Jawa Barat II dengan status kepemilikan lahan oleh Kementerian Kehutanan.

Opalin yang didirikan Kang Asep 2005 lalu ini bertugas memberikan penyuluhan tentang konservasi hutan kepada pelajar dan masyarakat. Tujuannya mengamankan areal hutan konservasi TWA Gunung Talaga Bodas dan sekitarnya dari gangguan pencurian kayu, perburuan burung, pemungutan kayu bakar, dan pengembalaan ternak.

Organisasi lingkungan nirlaba ini, lanjut Kang Asep juga kerap mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan atas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang merupakan program Perum Perhutani serta untuk mencegah bencana yang lebih besar seperti longsor dan kekurangan sumber air. “Kami hanya ingin cari solusi agar hutan yang tinggal sedikit ini tidak dirusak orang yang hanya memikirkan perut dan keuntungan sepihak,” sindir Kang Asep yang kini masih menjadi Ketua Opalin.

Selepas santap siang di warung dekat pintu masuk, kami beranjak menuju Talaga Bodas. Danau kawah yang berada di ketinggian 1.512 Mdpl ini menjadi daya pikat utama TWA Gunung Talaga Bodas.

Biasanya orang yang berkunjung termasuk para pendaki cuma mentok di sini, terpana dengan keindahannya yang mirip dengan Kawah Putih dengan Gunung Patuha-nya di Kabupaten Bandung. 

Di danau kawah berwarna putih kehijauan ini, pengunjung biasanya melakukan berbagai aktivitas seperti camping,  hunting photography, dan relaxing jalan-jalan santai ataupun berendam di kolam-kolam air panasnya yang mengandung belerang yang dipercaya dapat menyegarkan lelah dan menyembuhkan berbagai penyakit terutama reumatik dan kulit.

Usai melewati tepian Talaga Bodas sebelah kanan lalu kami masuk hutan. Sekitar satu jam berjalan kami keluar dari hutan, lalu bertemu 
Kawah Saat yang berada di ketinggian 1.827 Mdpl.

Kawah ini berupa daerah terbuka langsung di bawah punggungan Gunung Talaga Bodas dan Gunung Canar yang bebatuan dan beberapa pohonnya berwarna kemerahan. 

Kawahnya berpasir kering dengan beberapa pohon terbakar dan vegetasinya jarang. Tempat ini cocok untuk istirahat sejenak. Saya pun mengambil gambar kawah ini mulai dari bentuk kawah, bebatuan, vegetasi, dan landscape-nya.

Dari tepi Kawah Saat, kami mengabil jalur di sebelah kiri memasuki hutan lagi dan melintasi sungai kecil tempat terakhir untuk pasokan air. Selanjutnya melewati tanjakan batu kecil yang mengarah tepat ke arah bahu punggungan antara Gunung Beuti Canar yang berada lebih jauh ke Selatan dan Gunung Canar (2.211Mdpl) di sebelah Utara. 

Dani yang berada di depan mulai mencari-cari jalur. Sesekali pemuda gagah ini menerabas semak-semak yang menutupi jalur dengan parang. Beberapa trek di jalur ini memang sudah tertutup ilalang. Ini bukti gunung ini sedikit sekali pengunjungnya. Bukti kuat lainnya jalurnya relatif bersih dari sampah pendaki.

Keasrian dan kebersihan jalur pendakian inilah yang menjadi kelebihan lain Beuti Canar. Saya yakin gunung-gunung lain terlebih gunung popular yang jalur pendakian dipenuhi sampah pendaki tak bertanggungjawab, bakal cemburu dibuatnya.

Hari mulai gelap. Untunglah Dani menemukan trek yang benar. Dia mengikuti tali rafia berwarna biru dan pita kuning hingga akhirnya mencapai ketinggian 'puncak' kecil di ketinggian 1.980 Mdpl sebelum naik ke sadel antara Beuti Canar dan Canar. 

Dari sadel inilah bagian tersulit dari medan Beuti Canar berupa punggungan tipis menanjak.

Kini saya berada paling depan, menerobos belukar di punggungan itu. Untung banyak akar pohon sebagai pegangan sekaligus berfungsi sebagai tali untuk menarik diri. 

Gelap malam semakin menyulitkan pergerakan, tak ada pilihan selain terus nanjak perlahan dengan bantuan sinar lampu senter hingga terus ke Selatan. Akhirnya kami tiba di puncak Gunung Beuti Canar sekitar pukul 8 malam. 

Di puncak ada tanah datar. Kami langsung memasang tenda dome berkapasitas 4 orang. Saat melihat tanah datar di puncaknya dengan beberapa pohon di belakangnya mengingatkan saya akan puncak Gunung Rajabasa di Lampung Selatan. Sebelum tidur, kami masak untuk santap malam dan tak lama kemudian terlelap dininabobokan angin dingin Beuti Canar. 

Dini hari saya terjaga. Keluar tenda lalu mengabadikan pesona sunrise yang masih malu-malu muncul namun perlahan menerangi hamparan awan hitam keabu-abuan. Lambat laut bias surya menerangi puncak Beuti Canar. 

Di kejauhan terlihat Gunung Canar di sebelah Utara, wilayah Tasikmalaya, dan beberapa lembah sekitarnya di Timur. Kawah Galunggung tidak terlihat dari sini, tetapi ada beberapa bagian berwarna putih terlihat samar-samar di kejauhan di sisi Utara dan Gunung Guntur nampak kecil jauh di Selatan. Di sebuah pohon dekat puncak ada tanda 'Gempala' dibuat oleh sekelompok mahasiswa yang mendaki Beuti Canar dari arah Tasikmalaya.

Usai sarapan dan berfoto bersama, kami segera menuruni puncak Beuti Canar kembali melewati jalur yang sama sewaktu mendaki, melewati punggungan berhutan yang kini-kanannya menganga jurang dalam, lalu turun Kawah Saat, masuk hutan lagi sampai akhirnya tiba di Talaga Bodas. 

Kang Asep dan Tandang segera melepas pakaian, langsung berendam di kolam air panas. Sementara Dani santai di dekat warung kecil.

Di area kolam rendam air panas terdiri dari 2 kolam besar berukuran 5 x 10 meter dengan kedalaman hingga 1,5 meter. Airnya berwarna putih keabu-abuan. Asap putih mengepul dari permukaan airnya. Tercium pula aroma belerang yang tidak terlalu menyengat. 

Tadinya saya mau ikutan berendam, tapi siang itu pengunjungnya agak ramai jadi batal. Cuma rendam kaki dan cuci muka dengan air hangatnya. Hmmmm… segar. 

Perlu diingat, air Talaga Bodas dan kolam-kolam air hangatnya tidak untuk diminum, karena kandungan belerangnya tinggi. 

Jika Anda tertarik mendaki Beuti Canar usai membaca tulisan ini, sebaiknya membawa air minum dan bekal yang cukup serta perlengkapan bermalam seperti tenda dan sleeping bag. Bawa pula parang untuk menerabas semak belukar di beberapa jalurnya yang tertutup. Jangan lupa bawa kantung plastik kuat untuk membawa turun sampah sisa logistik Anda. 

Ada baiknya Anda ditemani penduduk lokal yang paham jalur pendakiannya. Anda bisa menemui Mang Udin anggota Opalin di dekat pintu masuk Talaga Bodas untuk meminta bantuan panduan. Pasalnya sulit menemukan trek pendakian ke gunung sunyi ini terutama setelah Kawah Saat dan seterusnya. Kurang teliti bisa nyasar, apalagi banyak trek para pemburu atau pencari kayu. 

Belum lama ini sekelompok pendaki dari Jakarta dikabarkan gagal mencapai puncaknya. Mereka cuma sampai di Kawah Saat lalu balik lagi usai beberapa kali tak berhasil menemukan trek sebenarnya menuju puncak Beuti Canar. 

Rute pendakian ke Beuti Canar selain dari Talaga Bodas, Wanareja, Garut juga dari Cisayong, Tasikmalaya yang rutenya jauh lebih panjang dan menantang dibanding rute dari Talaga Bodas. 

Kalau Anda memilih lewat jalur Talaga Bodas dengan menggunakan kendaraan umum, dari Terminal Guntur naik angkot berwarna merah putih ke Wanareja Rp 6.000 per orang. Lalu dari Pasar Wanareja naik ojek sepeda motor Rp 35.000 (harga sebelum BBM naik) ke Telaga Bodas sekitar 30 menit. 

Rencananya tahun depan saya mau balik mendaki Beuti Canar lagi. Hati masih penasaran ingin mencoba jalur trek dari Tasikmalaya lalu turun lewat Wanareja ataupun sebaliknya. Mata masih ingin menatap ‘keelokan’ lain Beuti Canar dengan tatapan nanar karena terpesona keasrian dan kesunyiannya yang menawan. 

Naskah & foto: adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com) 

Captions: 
1. Pendiri sekaligus Ketua Opalin saat melewati Kawah Saat di jalur pendakian Gunung Beuti Canar.
2. Puncak Gunung Canar di sebelah Utara dari Puncak Beuti Canar. 
3. Kang Asep, Tandang, dan adventure blogger berfoto bersama di Puncak Beuti Canar sebelum turun. (foto: dani)
4. Berendam di kolam air panas Talaga Bodas usai turun dari Puncak Beuti Canar. 

NB.: Hatur nuhun Kang Asep, Tandang, dan Dani yang sudah menemani saya mendaki Gunung Beuti Canar untuk kali pertama. Salam konservasi, salam nanjak lestari (santri). Mudah-mudahan keasrian, keheningan, dan kebersihan jalur pendakian Beuti Canar serta hutan sekitarnya tetap terjaga, sekalipun kelak bakal ramai ditapaki para pendaki usai membaca tulisan ini.

3 komentar:

  1. Kang, boleh tuh taun depan saya ikut. kalo gak keberatan, kira2 kapan kabari ya.
    Nuhun.

    BalasHapus
  2. yg foto bertiga foto d puncak itu?
    saya 2013 pernah kesana, tp perasaan puncaknya ketutup pohon
    apa udah berubah ya?

    BalasHapus
  3. klo untuk medan menuju puncak bagaimana? apa masih bisa dilalui para pemula yg baru pertama kali mendaki gunung?

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.