Lampung punya tekstil tradisional bernama tapis. Kendati belum setenar batik, kain tenun dari benang kapas bermotif bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistem cucuk atau sulam ini masih eksis ditengah sejumlah kendala yang membuatnya gelisah.
Sesekali dia melayani beberapa pembeli yang menanyakan harga kain tapis, di antaranya beberapa wartawan dan staff Kemenparekraf yang mengikuti kegiatan Outbound yang diselenggarakan Pusat Komunikasi Publik, Kemenparekraf di Kalianda, Lampung Selatan, beberapa waktu lalu.
“Satu stel sarung tapis dan selendang tapis harganya Rp 800.000. Kalau gantungan kunci mobil dari kain tapis Rp 20.000, gantungan kunci berbentuk gajah Rp 5.000, dompet tapis Rp 50.000, peci tapis Rp 60.000, dan tapis hiasan dinding Rp 200.000,” jelasnya dengan ramah.
Perempuan berjilbab ini mengaku sudah sejak 1990 memproduksi tapis. Produknya kerap dipesan oleh orang Kalimantan dan Malaysia, terutama tas tapis dan kain tapis bertuliskan Ayat Kursi dan Kaligarafi Islam.
Ketua Yayasan Adian yang memperoduksi pembuatan tapis, kaos Lampung, dan kerajinan tangan lainnya ini pun mengakui mengalami banyak kendala dalam mempertahankan eksitensi tapis.
Menurutnya, kendala utamanya adalah kerap kekurangan bahan benang emas. Maklum benang emas yang selama ini dipakainya masih impor dari India. Saat stok menipis, harganya melonjak. Harga kian tapis pun ikut membumbung.
Kendala lainnya kekurangan SDM, dalam hal ini penenun tapis. Maklum biasanya yang mengerjakan tapis selama ini adalah kaum perempuan, terutama ibu rumah tangga dan gadis (muli) yang awalnya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral.
Setiap bulan, Ani menghabiskan sekurangnya 20 kotak benang emas. Satu kotak berisi lima gulung untuk satu lembar kain tapis ukuran dua meter. Harga satu kotak benang emas Rp 150.000. Proses pengerjaan tapis menurutnya juga agak rumit dan lama. Mengingat jenis kain ini tidak bisa diproduksi dengan mesin. Sulam tangan pakai jarum jahit. Untuk menyambungnya baru menggunakan mesin jahit.
Untuk membuat satu kain tapis untuk sarung saja, membutuhkan waktu sampai satu bulan. Kalau kain ujung sarat (penuh) untuk pengantin bisa memakan waktu dua bulan. Tak heran harga kain tapis unjung sarat ini paling murah Rp 3 juta.
Bahkan waktu pengerjaannya bisa lebih lama lagi, khususnya untuk motif-motif khusus. Tak heran kalau dari dua ratusan motif dan jenis kain tapis, saat ini tidak lebih dari tiga puluh motif dan jenis saja yang masih dikenal dan diproduksi, bahkan di antaranya kini terancam punah.
Kendala lainnya, kurangnya kepedulian masyarakat akan keberadaan tapis-tapis kuno, ditambah dengan perburuan besar-besaran terhadap kain-kain langka tersebut oleh para kolektor terutama orang-orang asing.
Tapi Ani tak mau hanya mengeluh. Didukung Rusmadi, suaminya dan sepuluh orang karyawannya, dia terus berusaha melakukan berbagai cara untuk menepis kegelisahan tapis.
Selain terus memproduksi tapis dan memasarkannya ke pasar lokal antara lain ke Pasar Bambu Kuning dan juga sanggar-sanggar kerajinan di Lampung, ibu dua anak ini juga kerap mengikuti pameran, baik di dalam dan luar negeri.
Dia pernah berpameran di China, Singapura, dan Malaysia serta ke seluruh Indonesia kecuali Papua.
Menurutnya setiap berpameran di Jakarta, Kalimantan, dan Sumatera, sejumlah produknya termasuk tapis laris meskipun harga produk yang dijualnya mahal.
Tapi kalau dia berpameran di Bandung dan Jogja, kalah bersaing hingga kurang laku lantaran di kedua kota kreatif itu, harga-harga kerajinan tangannya jauh lebih murah.
Bersama yayasannya, Ani pun kerap mengadakan Kursus dan Pelatihan bagaimana memperoduksi tapis dan kerajinan tangan lainnya. Dan ia kerap juga menjadi narasumber mengenai pembuatan tapis.
Di samping itu, Ani terus berkreasi dan berinovasi dengan menjadikan kain tapis untuk berbagai kerajinan tangan lain yang menarik seperti hiasan dinding, hiasan kaligrafi, dompet, gantungan kunci dan lainnya. Jadi bukan hanya kain atau sarung. Alhasil, peminat tapis semakin meningkat.
Usaha yang dilakukan di rumahnya di Kecamatan Tanjungkarang Barat, Kota Bandar Lampung yang juga merangkap toko tapis dan kerajinan dari tapis lainnya pun lambat laun semakin cerah dengan banyaknya orderan.
Namun masih ada satu keinginannya yang belum terwujud. Dia berharap Lampung memiliki sentra kerajinan merangkap pasar sebagai tempat menjualnya di lokasi yang strategis. Dengan begitu, produk tapis dan aneka kerajinan tangan berunsur tapis akan semakin mudah didapat pembeli. Sekaligus memacu pengrajin tapis untuk terus meningkatkan produksinya, termasuk memicu kreativitas dan inovasi para perancang busana dari kain tapis sebagaimana batik yang sudah mengalami metamorposis hingga menjelma menjadi kain tradisional yang mendunia.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.