Jumat, 25 Oktober 2013

Sepuluh Manfaat Pembangunan Kepariwisataan Bagi Daerah

Kepariwisataan merupakan sarana pembangunan yang paling efektif dan efisien karena antara lain dapat menjangkau wilayah yang relatif terpencil dan dampaknya berganda besar. Sekurangnya ada sepuluh manfaat pembangunan kepariwisataan bagi daerah, salah satunya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 

 “Lewat pembangunan kepariwisataan antara lain  dapat membuka lapangan usaha bagi masyarakat dan juga meningkatkan PAD,” kata I Gede Ardika, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2000-2004 di sela-sela workshop bertajuk Standarisasi Penyediaan Informasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang digelar Pusat Komunikasi Publik, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) di Lembang, Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/10/2013).

Pembangunan kepariwisataan di daerah juga dapat meningkatkan penghasilan bagi masyarakat baik secara langsung maupun tak langsung dan  menjangkau anggota masyarakat miskin sehingga dapat keluar dari kemiskinan.

Disamping itu dapat mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya serta memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa. “Pembangunan kepariwisataan juga bermanfaat mempererat persahabatan antarbangsa. Bisa saling mengenal, saling menghormati hingga menciptakan persahabatan dan perdamaian,” terangnya.

Untuk mencapai semua itu, pembangunan kepariwisataan daerah di Indonesia, lanjut Ardika harus dirumuskan dalam Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPDA). Dalam RIPPDA itu terangkum semuanya, mulai dari perencanaan, visi, cita-cita, dan strategi yang akan dikembangkan hingga cara pembangunannya seperti apa. Setalah rampung, RIPPDA harus di-Perda-kan.

“Dengan di-Perda-kan, RIPPDA mempunyai kekuatan hukum untuk mengikat baik Pemda, pelaku usaha maupun masyarakatnya sendiri. Jadi semuanya patuh kepada hukum dalam melaksanakan pembangunan kepariwisataan di daerahnya seusai RIPPDA, jelasmya.

Menurut Ardika pembangunan kepariwisataan daerah yang baik adalah yang berbasis pada keunikan. “Keunikan itu yang tahu adalah daerah. Jadi daerahlah yang harus mengambil inisiatif untuk lebih mampu mengidentifikasi potensi-potensi yang dimiliki daerah,” ujarnya.

Pembangunan kepariwisataaan daerah harus dari bottom up. “Masyarakatlah yang menentukan ingin membangun seperti apa daya tarik yang menjadi unggulan daerahnya. Misalnya Kota Batu, daya tariknya lokasi khusus paralayang, Sumatera Utara dengan Danau Toba, dan lainnya,” ungkapnya.

Ardika menambahkan perencanaan pembangunan yang terangkum dalam RIPPDA akan memandu arah pembangunan pariwisata daerah. Tanpa itu pembangunan pariwisata akan kacau balau. Kata kunci dalam pembangunan kepariwisataan daerah, adanya kesepakatan antara pemerintah baik ekskutif maupun legislatif daerah dengan para pelaku usaha dan masyarakat. “Ketiga unsur ini harus duduk bersama menyepakati yang seperti apa yang akan dibangun,” imbaunya.

Menurut Ardika yang kini tercatat sebagai anggota dari World Committee on Tourism Ethics hingga 2017, jumlah kunjungan wisatawan yang meningkat signifikan di suatu destinasi bukan indikator utama pembangunan kepariwisataannya itu berhasil. 

Jumlah bukanlah sesuatu yang dominan atau menentukan. “Elemen jumlah itu penting tetapi yang lebih penting kualitasnya yang berkaitan dengan tujuan pembangunan kepariwisatan tersebut terwujud. Kualitasnya apa betul-betul meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik ekonomi, sosial, dan budaya atau tidak,” terangnya.

Ahli perencanaan dan pengembangan pariwisata, Dr. Ir. Myra Gunawan manambahkan melaksanakan perencanaan pembangunan keparwisataan daerah tidak bisa dilakukan atas perencanaan seseorang. “Kalau merencanakan sebagai geopark, ya harus mendatangkan ahli geologi yang mengerti tentang ilmu kebumian. Sang perencana juga harus belajar memahami apa yang dibanggakan masyarakat sesuai norma. Harus memahami nilai-nilai lokal yang hidup sejak lama,” jelasnya.

Direktur Minat Khusus, Kemenparekraf, Akhyarudin menambahkan pembangunan kepariwisataan daerah harus fokus. “Jangan lupa untuk selalu kreatif dan berinovasi serta melihat perkembangan tren wisatawan. Dulu, pergerakan wisatawan bersifat mass tourism, sekarang special interest berdasarkan minat khusus, seperti wisatawan peminat diving, hiking, belanja, spa, dan lainnya,” ujarnya singkat.

Workshop yang berlangsung hingga 25 Oktober 2013 ini juga menghadirkan nara sumber berkompeten lainya antara lain Direktur Kerjasama dan Fasilitasi Ir. Loly Amalia Abdullah, Direktur Pencitraan Indonesia Ratna Susanti, dan Kepala Biro Kepegawaian Badan Pusat Statistik Budi Purwadi. Kepala Pusat Komunikasi Publik, 

Kemenparekraf, Noviendi Makalam menjelaskan workshop ini bertujuan untuk membangun dan mengembangkan penyediaan informasi di masing-masing daerah dan sekaligus menjadi subsistem dari penyediaan informasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif secara nasional. “Peserta workshop ini terdiri atas sejumlah kepala dinas pariwisata dari berbagai kabupaten dan kota, sekolah tinggi pariwisata, pengamat pariwisata, dan wartawan,” ujarnya. 

Kadisbudpar Kabupaten Buton, Abdul Zainuddin Napa menilai workshop seperti ini seharusnya rutin dan lebih sering digelar oleh PKP Kemenparekraf mengingat sangat bermanfaat menambah wawasan pengetahuan kepada pejabat daerah bagaimana mengelola dan membangun kepariwsataannya yang beragam dan berbeda satu sama lain.

“Tema yang diangkat harus diseuaikan dengan potensi wisata yang dimiliki masing-masing daerah,” imbaunya. Selain seminar, workshop juga diisi dengan kegiatan outbound, kunjungan ke Pusat Kreatif serta ke lokasi wisata belanja Jalan Cihampelas, Bandung. 

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.