Selasa, 04 Juni 2013

Terjaring Raja Laba-Laba Rajabasa

Entah laba-laba di lereng Gunung Rajabasa ini terbilang laba-laba raksasa di dunia atau tidak. Yang pasti, dari beberapa laba-laba yang pernah aku temui di sejumlah hutan gunung, inilah yang terbesar sehingga aku langsung menyebutnya Raja Laba-Laba Rajabasa. 

Sampai sekarang aku sendiri belum tahu laba-laba jenis apa ini. Yang pasti waktu pertama melihatnya, jujur aku langsung kesemsem, bak remaja pria akhil baliq yang sumringah ketika disapa perempuan ranum yang disukainya untuk kali pertama. 

Ukuran laba-laba inilah yang membuatku terpikat sejak awal. Lebih besar dari laba-laba umumnya. Kalau dibandingkan dengan laba-laba beracun tarantula raksasa yang ditemukan di Srilangka, sekitar 25 Cm atau sebesar wajah manusia dewasa, memang ukuran laba-laba Rajabasa ini tak ada apanya. Tapi tetap saja lumayan besar dan mencengangkan.

Menakar bentuknya itu, aku sempat mengira salah satu hewan serangga ini agresif bahkan mungkin berbisa seperti halnya tarantula. Ternayata dugaanku salah.

Ketika aku mendekati kameraku dan beberapa kali memotretnya, dia anteng-anteng saja. Hanya sesekali dia merubah posisi gayanya, bak seorang supermodel yang tengah berpose apik saat difoto untuk sebuah majalah fesyen terkemuka.

Dan yang bikin suprise, bukan cuma satu yang aku temukan tapi ada lima laba-laba di tepi jalur pendakian Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan lewat Way Belerang.

Lokasi laba-laba jumbo ini berada di areal perkebunan pohon-pohon produktif seperti duren, pisang, coklat, kelapa, dan pinang, tak jauh dari desa terakhir menuju Pos Satu.

Kondisi tempat tinggalnya agak terbuka dengan sinar matahari yang leluasa masuk. Bukan di hutan lebat sebagaimana laba-laba kecil berjapit yang kutemukan di hutan Gunung Sanggabuana, Kerawang, Jawa Barat beberapa waktu lalu.

Bisa jadi keberadaan pohon-pohon produktif yang tidak terlalu rindang inilah yang membuat laba-laba ini betah tinggal dan berkembangbiak di situ. Atau juga karena ruangnya yang lebih terbuka dan hangat. Itu dugaan sementaraku.

Soalnya sepanjang jalur dari Pos Satu hingga puncak utama sampai ke Batu Cukup dan danau kawah yang berhutan rimbun, tak satu pun laba-laba serupa yang saya temukan lagi.

Justru beberapa hewan lain yang terlihat seperti beberapa jenis kadal dan juga tonggeret yang tak henti ber-“konser” ria memamerkan suara khasnya serta monyet walaupun hanya ku dengar suaranya.

Sementara di areal berhutan rapat dan berudara lembab mulai Pos Lima menuju danau kawah, pacet-lah yang menjadi penguasanya. Di samping itu ada bunglon terbang, ulat kecil, ular tanah, dan kupu-kupu putih berukuran mini yang terus-menerus hinggap di sepatuku serta keong lunak tak bercangkang yang menempel di Batu Cukup dan di beberapa batang semak belukar di dataran danau kawah yang sedang tak berair.



Bentuk dan warna berbeda
Yang menarik lagi, masing-masing postur dan warna laba-laba yang kutemukan itu berbeda satu sama lain. Ada yang badannya lebih ramping dan ada yang lebih besar. Aku menduga yang ramping dan agak feminim itu betina, sedangkan yang lebih besar dan agak kekar itu laba-laba jantan. Entahlah benar atau tidak.

Sementara warnanya ada yang kehijau-hijauan, kebiru-biruan, abu-abu, dan ada juga yang berwarna hitam dengan kaki-kaki berwarna merah. Benar-benar cantik dan tampan.

Kebanyakan saat kutemukan mereka sedang berdiam diri di tengah jaringnya yang juga berukuran lebih besar dari jaring laba-laba biasa. Bisa jadi ukuran jaring-jaringnya itu disesuaikan dengan besar tubuhnya. 

Mereka terlihat santai-santai saja, tak banyak bergerak seperti tengah berjemur atau bahkan mungkin sedang istirahat siang. Maklum saat ku jumpai, matahari berada tepat di atas kepala.

Tapi ada juga satu laba-laba yang tengah menyantap sesuatu dengan lahapnya. Sepertinya dia sedang santap siang. Saking asyiknya, dia tidak peduli dengan kehadiranku dan lima rekanku dari Comunitas Cinta Alam Kalianda (CICAK) yakni Iyan, Amin, Belo, Dimas, dan Adji yang melewatinya.

Melihat sikap mereka yang cool, friendly, dan tak wara-wiri, membuatku leluasa mengabadikannya beberapa kali. Bahkan beberapa rekanku sempat menjadi latarbelakang foto laba-laba ini, seolah mereka tengah terperangkap dalam jeratan jaring laba-laba bongsor ini. Hasilnya seperti yang terlihat di sini, memperkuat tulisan ini.















Ketika mendekati laba-laba terakhir berwarna hitam dengan kaki-kaki berwarna merah yang ku lihat tak jauh dari trek pendakian, entah kenapa aku berharap diantuk laba-laba tersebut.

Siapa tahu setelah mendapat antukannya, badanku demam lalu berubah menjadi manusia laba-laba super sakti melebihi kesaktian Peter Parker yang diperankan oleh Tobey Maguire setelah diantuk laba-laba kecil dalam film Spiderman 3, yang amat mahir melompat dengan jaring yang keluar dari jari tangannya dan bisa merayap lincah seperti cicak di dinding lantaran telapak tangan mengeluarkan cairan lengket.

Mengapa berharap lebih sakti? Karena ku pikir laba-laba ini jauh lebih besar dan gagah dibanding laba-laba yang meng-antuk Peter Parker.

Sayangnya laba-laba itu mengacuhkanku, bahkan diam seribu bahasa seperti patung. Aku jengkel, dan segera berlalu mengikuti kelima rekanku, kembali menapaki medan panjang yang makin lama makin terjal. 

Bertemu laba-laba berukuran tak biasa di Rajabasa, akhirnya membuatku rela memberi point lebih terhadap gunung yang pucuknya berketinggian 1.281 meter di atas permukaan laut ini.

Dan karenanya pula keyakinanku semakin menebal, kalau gunung yang tak tersohor itu terkadang menawarkan keunikan tersendiri, entah itu dari trek pendakiannya, hutannya maupun penghuninya baik flora maupun faunanya. Buktinya Rajabasa ini.

Sekalipun sangat kalah populer dengan Gunung Krakatau, tetangga terdekatnya yang tubuh cucunya semakin meninggi di perairan Selat Sunda, ternyata memberikan kejutan berupa kehadiran raja laba-laba dan juga trek pendakian yang tak terduga, lumayan menguras fisik dan menguji mental.

Kini yang menjadi pertanyaan, apakah raja laba-laba Rajabasa ini penghuni tetap gunung berpuncak-puncak ini? Atau hanya pelintas sementara atau tamu musiman yang datang pada musim-musim tertentu. Kiranya masih banyak misteri yang menyelimuti laba-laba unik satu ini, dan belum sepenuhnya terkuak.

Perlu waktu, tenaga, dan biaya untuk mencari tahu semua teka-teki tentangnya. Dan jika ketiga faktor pendukung itu terpenuhi, aku rela kembali ke gunung ini untuk mengenalnya lebih intim.

Satu yang pasti, keberadaan raja laba-laba Rajabasa, membuatku jatuh hati dengan gunung yang konon menjadi tempat bertemunya para raja gaib dari berbagai “kerajaan” ini, meskipun namanya tak seharum gunung-gunung lain.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.