Ratusan jamur berwarna putih susu berbentuk bulatan kecil yang tumbuh di batang pohon lapuk yang akarnya masih menancap kuat di lereng Gunung Rajabasa ini, amat memikat mata. Warna dan bentuknya begitu kontras dengan hutan di sekitarnya yang ijo royo-royo. Ternyata mereka tidak sendirian. Masih ada beberapa jenis jamur lain yang betah tinggal di ujung belantara Sumatera ini.
“Om itu pohon jamur,” kata Iyan, ketua tim Comunitas Cinta Alam Kalianda (CICAK) seraya telunjuknya menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang hampir seluruh badannya diselimuti jamur-jamur putih berpentol-pentol, sewaktu menuruni lereng Gunung Rajabasa dari Pos 5 menuju Pos 4 yang berhutan lebat.
Aku langsung mendekati mereka dan memotretnya berkali-kali. Lokasi jamur-jamur itu tak jauh dari jalur trek. Mungkin kalau warnanya bukan putih dan jumlahnya tidak banyak, agak samar terlihat.
Keberhasilan bertemu dengan jamur pentol putih itu menambah jumlah koleksi jamur yang kutemui di hutan gunung yang atap utamanya berketinggian 1.281 meter di atas per mukaan laut ini.
Sebelumnya, sewaktu menuruni lembah curam berhutan rapat dan berudara lembab dari Pos 5 menuju danau kawah yang sedang tak berair dan daratannya ditumbuhi ilalang serta semak belukar, aku sempat melihat jamur kuping berwarna hitam pekat dengan daging yang cukup tebal.
Amin, anggota tim CICAK lainnya juga melihat jamur itu dan sempat mengatakannya. “Tadi di bawah situ ada jamur hitam,” katanya. Sebenarnya aku sudah melihatnya, cuma lantaran saat itu tengah fokus menuruni medan curam dan licin, aku jadi tak sempat mengabadikan jamur keling itu.
Sehari sebelumnya, ketika mendaki lereng gunung ini dari pos 3 menuju pos 4, aku juga bertemu dengan jamur dengan bentuk dan corak warna cerah coklat kemerahan.
“Mirip terumbu karang yah,” kata Belo ketika melihat fisik jamur lebih dekat itu. Apa yang dibilang angota tim CICAK berkulit gelap ini ada benarnya. Sepintas, jamur yang tumbuh di sebatang ranting di dasar hutan ini memang menyerupai terumbu arang di dasar laut. Pinggiran kelopaknya seperti kelopak bunga, ditambah dengan warnanya yang cerah menggoda.
Di tempat lainnya juga ada beberapa jenis jamur yang berukuran lebih kecil. Namun bentuk dan warnanya kurang menarik, membuatku enggan mengabadikannya.
Sekurangnya ada enam jenis jamur yang berhasil ku temukan selama mendaki dan menuruni lereng-lereng gunung berpuncak-puncak di Kalianda, Lampung Selatan lewat jalur Way Belerang ini.
Bisa jadi ketersediaan nutrisi yang melimpah ditambah udara lembab dan diteduhi kerimbunan hutan, membuat jamur-jamur itu tumbuh subur dan betah tinggal di hutan Rajabasa.
Kaya Flora Asli dan Pendatang
Selain jamur, masih banyak flora lain di hutan Rajabasa ini. Mulai dari pohon-pohon besar seperti rasamala, beringin dan lainnya hingga tanaman kecil seperti kantung semar, bunga liar, alang-alang sampai lumut.
Pohon pendatang yang sengaja ditanam penduduk sejak berpuluh-puluh tahun juga tersebar dari lahan di atas kampung terakhir sampai melewati Pos Satu seperti pohon coklat, kopi, durian, petai, cabai, cengkeh, dan kelapa.
Pohon-pohon produktif itu sudah lama menempati areal lereng awal pendakian gunung ini. Luasnya hektaran dan dimiliki sejumlah penduduk Way Belerang yang umumnya orang Sunda, transmigran asal Serang, Banten.
Salah satunya Wahid, ayah beranak 2 yang memiliki perkebunan di sekitar Pos Satu seluas seperempat hektar. “Perkebunan ini warisan orangtua saya yang sudah menetap di Way Belerang sejak tahun 1960-an,” ujar Wahid saat aku temui sedang memanen kopinya di dekat Pos satu.
Berkebun di lereng yang dulunya belantara ini bukan perkara muda. Apalagi berbatasan langsung hutan yang masih dihuni sejumlah primata yang menjadi hama tanaman tertentu.
“Monyet paling suka makan duren. Makanya setiap musim duren, pohonnya harus dijaga agar monyet takut dan tidak jadi nyolong,” jelas Wahid yang menjual durennya seharga Rp 5.000 hingga Rp 7.000 per butir sesuai ukuran ke penadah setiak kali panen.
Duren di Rajabasa berbuah setiap musim kemarau. Saat panen, ada tenaga pemanjat khusus untuk mengambil buahnya. Upahnya Rp 1.000 per buah yang berhasil diambilnya. “Saya tidak sanggup petik sendiri. Lihat saja pohon durennya besar dan tinggi-tinggi,” terang Wahid sambil menunjuk ke salah satu pohon durennya yang menjulang tinggi mencapai puluhan meter.
Lain lagi dengan kopi, panennya setahun sekali. Harganya Rp 17.000 perkilogramnya. “Kopi di sini selain dijual ke luar Lampung juga menjadi oleh-oleh khas Kalianda,” jelas Wahid.
Keberadaan pohon-pohon produktif itu, disatu sisi jelas memberi pendapatan bagi masyarakat setempat. Di sisi lain, kalau tidak dibatasi dikhawatirkan akan merusak hutan asli gunung ini.
Perlu aturan jelas sampai dimana penduduk boleh memanfaatkan lereng gunung ini. Kalau tidak, nasibnya bakal serupa dengan gunung-gunung yang ada di Jawa seperti Gunung Sumbing, Sindoro, Prau dan beberapa gunung kecil lain di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.
Hutannya nyaris habis, berubah fungsi menjadi lahan perkebunan teras terutama kentang dan kubis. Tak urung, longsor dan banjir bandang kerap mengintai pemukiman warganya saat intensitas hujan tinggi.
Keberadaan aneka pohon produktif jelas kian memperkaya flora lereng hutan Gunung Rajabasa. Tapi jujur aku sempat ngeri sewaktu melintasi perkebunan kelapa yang tengah berbuah, begitu juga ketika berada di bawah pohon-pohon duren yang besar. Ada kekwatiran takut kejatuhan buahnya dan menimpa kepala. Untunglah kecemasanku itu tak terjadi.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: adji k & adji azhari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.