Kamis, 30 Mei 2013

Sukses “DONOR” Darah di RAJABASA

Inilah bukti hasil “donor” darah di Gunung Rajabasa, pekan lalu. Donor darah yang satu ini bukan untuk keperluan orang yang membutuhkan darah atau pasien yang sakit. Melainkan  minuman segar buat para pacet yang menjadi “raja” di Gunung Rajabasa. 

Entah kenapa setelah mereka berhasil menghisap puas darahku di sela jari kaki, paha, dan tangan hingga punggung, aku justru merasa puuaaaasssss… 

Kepuasanku bisa jadi lantaran berhasil membuktikan bahwa gunung berketinggian 1.281 meter di atas permukaan laut (Mdpl) yang berada di Kalianda, Lampung Selatan, Provinsi Lampung ini memang gudangnya pacet, yakni hewan sejenis lintah kecil penghisap darah manusia yang hidup di belantara lembah yang rapat dan amat lembab. 

Saking terkenal dengan pacetnya, sampai ada slogan terlontar dikalangan pendaki terdahulu; “Kalau belum kena pacet Rajabasa belum komplit”. Hmmm…, slogan yang aneh tapi cukup mengusik rasa penasaran.

Kepuasan lainnya, bisa jadi karena aku dapat mengabadikan langsung pacet-pacet yang semula kecil dan bergerak-gerak lincah dengan gaya khas seperti belatung itu, yang diam-diam menempel, tanpa bersuara di tubuhku, terutama di bagian kaki.

Setelah mendapatkan lokasi yang mereka sukai, lalu mereka menancapkan mulutnya, kemudian beraksi melubangi dagingku dan perlahan menyedot cairan merahku hingga badannya kembung berisi penuh darah segarku. Ujung-ujungnya, gerakan meraka pun lamban, karena badannya terlalu gendut kekenyangan darah.

Saat tubuh mereka berbuah gendut, ada perasaan ingin marah tapi lagi-lagi bercampur senang. Aneh memang. Kesenanganku ini bisa jadi karena berhasil mengabadikan tubuh-tubuh mereka yang seketika berbentuk tambun dan lembek dalam waktu tak terlalu lama.



Bayangkan kalau ada ratusan pacet yang hinggap dan “menggerogotiku”, bisa kering kerontang badan dan pucat pasi wajahku. 

Puas mengabadikan mereka, aku cabut satu per satu pacet-pacet itu. Lubang hisapannya di dagingku terus mengeluarkan darah. 

Hemmmm.., itulah puncak dari episode yang mengasyikkan, menjengkelkan sekaligus rada mengerikan. Kendati jengkel tapi hatiku berteriak kegirangan: “horeee.., berhasiiil...”. Hmmm…Kontradiktif.

Kegiranganku bisa jadi karena sudah berhasil menjadikan pendakian Gunung Rajabasa terasa komplit sebagaimana slogan di atas. 

Sebenarnya, aku sendiri sudah tahu benar karakter Gunung Rajabasa ini. Terutama soal ‘penghuni’-nya itu. Dua puluh tahun silam (1993), selepas membuka jalur pendakian baru bersama Prosper dan Buche (senior anggota TAPAL -IISIP Jakarta) dan Yosha (simpatisan, angkatan dibawah saya) di Gunung Tanggamus, Kabupaten Tanggamus (dulu masih masuk wilayah Lampung Selatan) yang hutannya didominasi pacet daun atau pacet pohon yang lebih sadis hisapannya, aku berencana ingin mendaki Rajabasa. Namun takdir berkata lain, baru pekan lalu berjodoh dan berhasil “menikmati” sedotan demi sedotan para “penguasa”-nya itu.

Berdasarkan pengalaman mendaki gunung-gunung ber-pacet seperti Gunung Salak di Jawa Barat, aku jadi paham betul bagaimana menanggulangi hewan-hewan yang bagi sebagian besar pendaki, amat menjijikan dan bikin momok seram. Misalnya dengan menggunakan rendaman tembakau, selain lotion anti nyamuk, bawang putih, dan minyak kayu putih, dan tak lupa mengenakan gaiters (penutup sepatu).

Tapi khusus di Rajabasa, aku enggan mengindahkan semua tips itu. Aku sengaja, karena itu tadi, ingin merasakan seberapa nikmat dihisap pacet-pacet Rajabasa. Dan ternyata, langkah itu jitu 🤭.

Selama turun dari Pos Lima menuju Batu Cukup yang menjadi “rumahnya” pacet Rajabasa ini selama lebih kurang 30 menit, sekurangnya ada 15 pacet yang menggerayangi tubuhku lalu menghisap darahku. Dan, alamaaak.., semuanya berhasil meng-gendutkan tubuhnya masing-masing dengan darah segarku. Hemmm, bikin gondok pastinya.

Bukan cuma aku. Kelima rekanku dari CICAK (Community Cinta Alam Kalianda) yakni Iyan, Amin, Belo, Dimas, dan Adji kecil pun tak urung menjadi ‘santapan’ mereka juga. Ada yang terkena di tangan dan lengan tapi kebanyakan di kaki.

Setibanya di Batu Cukup, aku dan kelima rekan itu pun tak kuasa lagi menahan gatal dan rasa penasaran apa ada pacet-pacet yang berjaya menyeruput darah segar kami.



Sibuk Periksa Pacet
Di atap Batu Cukup yang konon mampu menampung sekitar 10 orang tiduran padahal ukurannya hanya 2 X 2 meter itu, kami pun sibuk memeriksa seluruh bagian kaki dan tangan.

Bahkan Belo, tak kuasa menahan kegusarannya. Dia langsung membuka celana panjangnya, hingga tinggal sempak saja, lalu cepat-cepat memeriksa “areal” terpentingnya, takut kalau-kalau dimasuki pacet. Rekan-rekannya pun meneriakinya; “woiii.., ada aksi porno”.

Lain lagi dengan Dimas, entah kenapa setibanya di Batu Cukup, anak band yang juga doyan main basket dan futsal berperawakan jungkis ini lebih banyak diam dan tidak mau beranjak dari posisi duduknya. Dia begitu serius membuang pacet-pacet yang berhasil menghisap darahnya, atau bisa jadi karena shock. Maklum, inilah gunung pertama yang berhasil didakinya, dan belum apa-apa sudah mendapat “sambutan hangat” dari penguasa Gunung Rajabasa itu.

Aku berharap Dimas tidak jera mendaki gunung hanya karena pacet-pacet itu. Tapi sewaktu aku mengajak kelima rekanku turun ke dataran danau bekas kawah seluas 500 X 700 meter yang sedang tak berair itu, cuma Dimas yang memilih diam di Batu Cukup seraya terus melumurkan kedua kakinya dengan tembakau rokok kretek. Mungkin dia masih kesal dengan pacet-pacet itu dan tak mau terhisap lagi oleh gerombolan temannya nanti.

Sekembalinya dari Batu Cukup menuju puncak utama, tempat kami mendirikan tenda semalam, ada 6 pacet baru lagi yang berhasil menggemukkan badannya dengan darahku. Sementara Dimas berhasil meminimalisir serbuan pacet lantaran sudah melumuri kakinya dengan cairan tembakau.

Kali ini yang bikinku sebal, dari 6 pacet baru itu, ada 2 pacet yang berhasil menjangkau paha atasku dan punggung belakangku. Jelas darah yang ditelan keduanya melimpah-ruah. Yang membuatku kepikiran dan bertanya-tanya, bagaimana mereka sampai bisa masuk ke situ?

Sebenarnya waktu menanjak kembali menuju Pos Lima di bawah puncak utama dari Batu Cukup, aku sudah merasakan beberapa titik badanku sedang “dicumbu” pacet-pacet itu. Aku dapat merasakan mereka menyeruput nikmatnya darahku, sepertihalnya aku merasakan nikmatnya menyeruput Kopi Lampung yang menjadi salah satu oleh-oleh khas Kalianda ini. Aku diamkan saja karena terlalu konsen dengan medan yang terjal dan amat licin usai diguyur hujan sejak kemarin dan semalam.



Mungkin buat kelima rekanku, pendakian ke puncak utama Rajabasa kali ini dari Jalur Way Belerang selama hampir 8 jam terbilang gagal lantaran cuaca tak bersahabat, hujan disertai angin dan mendung tebal sehingga tidak berhasil mengabadikan pemandangan menawan dari puncaknya.

Tapi buatku, pendakian ke Gunung Rajabasa yang berjarak sekitar 5 Km dari Kalianda, ibukota Kabupaten Lampung Selatan ini, justru sukses. Bukan lantaran berhasil menggapai puncak utamanya dan bermalam di sana, melainkan karena merasakan sensasi “disetubuhi” para penguasanya, yakni pacet.

Naskah & foto: Adji TravelPlus (Jaberio Petrozoa), IG @adjittropis 

NB.: Buat tim CICAK (Iyan, Amin, Belo, Dimas, dan Adji), terimakasih sudah menjadi rekan se-pendakian Gunung Rajabasa sekaligus adik-adik yang hangat dan seru. Moga, kita bisa nanjak bareng lagi di gunung lain seperti keinginan Dimas yang mulai terjangkit virus mendaki gunung. Terimakasih juga buat ayah dan bunda-nya Dimas yang telah memberi kehangatan sebuah rumah dan santapan yang nikmat. Salam nanjak ramah lingkungan di 🇮🇩💪💪💪

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.