Selasa, 07 Mei 2013

Menguji Kebenaran Mitos Gunung-Gunung di Sumatera

Biasanya mitos lebih kental hidup dalam masyarakat Jawa. Ternyata di Sumatera juga ada mitos yang bersemayam di beberapa gunungnya. Mulai dari mitos Suara Neraka, Batu Cukup sampai mitos tongkat pengubah arah letusan gunung. 

Di Gunung Sibayak yang berketinggian 2.212 meter di atas permukaan laut (mdpl) misalnya, ada mitos tentang Suara Neraka yang sampai sekarang masih berhembus. Orang Batak Karo menyebut gunung di Desa Raja Berneh atau Desa Semangat Gunung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Karo, sekitar 60 KM dari Kota Medan ini dengan sebutan Gunung Raja.

Di gunung yang menghadap Kota Brastagi ini, kata masyarakat di kakinya sering terdengar suara orang sendang berkumpul, kadang berteriak bahkan menangis. Suara-suara itu disebut ‘Suara Neraka’ oleh penduduk setempat.

Konon, dulu ada dukun sakti di gunung ini yang tak mampu menyembuhkan anak perempuannya sendiri yang sakit sampai meninggal. Lantaran sedih, dukun itu mengorbankan dirinya kepada penunggu gunung ini. Sejak itu kerap terdengar suara tangisan dukun tadi dan anaknya yang kemudian disebut-sebut sebagai ‘Suara Neraka’.

Suara Neraka itulah yang kemudian dituding sebagai biang penyebab kecelakaan sejumlah pendaki lokal maupun turis asing, termasuk kecelakaan pesawat.

Mitos Suara Neraka ini pun menarik perhatian peneliti asal Jepang. Dia mendaki gunung ini lalu merekam suara itu. Dia ingin tahu, apakah sumber suara itu dari gas sulfur, angin, atau karena ada gelombang elektromanetik. Lalu rekaman suara itu dibawa ke negerinya dan diperiksa di lab khusus meneliti suara.

Hasilnya ternyata suara angin yang kadang berfrekuensi sangat rendah, lamat-lamat lalu tinggi yang mampu menstimulasi pembentukan hormon steroid yang efeknya bikin orang berhalunisasi hingga stres.

Suara yang berfrekuensi rendah itulah jawaban dari pertanyaan apa yang menyebabkan banyak pendaki yang kesasar dan berhalunisasi, termasuk beberapa kecelakaan pesawat dan helikopter di gunung ini.

Ada tiga jalur umum yang biasa digunakan pendaki untuk mencapai puncak Gunung Sibayak, yakni Jalur Sibayak I dari Desa Raja Berneh yang berjarak 15 Km dari Kota Brastagi. Jalur ini melewati pemandian air panas Lau Sidebuk-Debuk. Kedua, Jalur Sibayak II dari Desa Jaranguda, sekitar 3 Km dari Kota Brastagi.

Dan ketiga, Jalur 54 dari kawasan tongkoh atau bakaran jagung di Jalan Raya Medan-Brastagi. Jalur yang paling mudah adalag jalur Sibayak II. Untuk sampai ke Desa Jaranguda, dari Terminal Ampla, Medan naik bis jurusan Brastagi sekitar 2,5 jam.

Dari Brastagi lalu berjalan kaki selama 35 menit ke Desa Jaranguda. Dari desa yang tersedia penginapan dan warung makan di sebelah kanan jalan ini, perjalanan dilanjutkan ke gerbang awal pendakian dengan berjalan kaki lewati jalan setapak sekitar 10 menit. Dari gerbang awal pendakian berjalan sekitar 2 jam ke Pertamina lewati beraspal dan tangga beton.

Setelah dari Pertamina, perjalanan dilanjutkan sampai ke bibir kawah bertelaga selama 30 menit. Di bibir kawah biasa digunakan sebagai tempat mendirikan tenda untuk bermalam. Kalau melanjutkan perjalanan ke puncak tapal kuda, butuh sekitar sekitar 30 menit lagi. Namun medannya terjal berbatu mirip perjalanan ke puncak Gunung Merapi di Jawa Tengah. Dari puncaknya terhampar panorama menawan berupa suasana Kota Medan dan juga Gunung Sinabung di kejauhan. 

Lain lagi dengan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumut yang berketinggian 2.460 mdpl. Mitosnya justru hidup di Lau Kawar, danau yang ada di kaki gunung ini. Konon air danau ini berasal dari airmata seorang ibu yang menangis terus-menerus lantaran melihat anaknya Sinabung dan Sibayak kerap berkelahi.

Cerita lain, berasal dari air mata seorang ibu yang menangis karena terlampau sedih lantaran saat anak dan menantunya mengadakan pesta adat, tak sedikit pun orang dan sanak kerabat yang datang. Versi lain menyebutkan, air danau itu berasal dari air mata seorang cucu.

Mitosnya begini, dulu ada seorang nenek yang menetap di puncak Gunung Sinabung, sedangkan anak dan cucunya tinggal jauh di kaki gunung. Saat keluarga anaknya menggelar pesta, anaknya mengutus seorang cucu nenek itu untuk mengantarkan makanan kepada neneknya di puncak Sinabung. Tapi di perjalanan, cucunya menyantap makanan yangd ibawanya karena kelaparan. Neneknya pun marah besar lalu menampar dan menyumpahi cucunya. Lantaran menangis terus-menerus, air mata cucu tersebut lambat laun menjadi danau.

Ada pantangan yang harus dindahkan di danau ini yakni tidak boleh bicara jorok, dilarang berbat asusila dan membuang pembalut waniata serta memotong anjing. Kalau dilanggar, ‘penunggu’ danau dan gunung ini marah yang ditandai dengan datangnya badai.

Di danau ini banyak pegiat alam bebas yang berkemah. Tiket masuknya Rp 2.500 per orang, dan Rp 5.000 per tenda. Dari danau ini, puncak Sinabung terlihat. Biasanya pendaki yang ingng menggapai pincaknya berangkat pukul 02.00 WIB dini hari agar dapat melihat pesona sunrise dari puncaknya.

Kawah Batu Siliga adalah kawah belerang panas yang berada di puncak Sinabung yang bersuhu sekitar 15 derajat Celcius. Dari sini, di sebelah Timur terlihat keindahan Danau toba dan Kota Medan dikejauhan. Di sebelah Barat terlihat Danau Lau Kawar dan hamparan rumah penduduk di sekitar kaki gunung serta puncak Gunung Sibayak dan rangkaian Bukit Barisan yang hijau.

Jika tak sempat ke Danau Toba, cukup menuruni gunung ini kembali akan disuguhkan pemandangan danau Lau Kawar yang indah juga bermitos. Satu mitos lagi. Kalau mandi di danau ini, pasti suatu hari akan datang lagi ke sini.

Beda lagi dengan mitos di Gunung Marapi, Sumatera Barat yang berketinggian 2891 mdpl. Konon gunung yang lokasinya mencakup daerah Padang Panjang, Batusangkar, dan Bukittinggi ini awal mulanya nenek moyang orang Minangkabau turun lalu menuju sebuah daerah sekitar Batusangkar, yaitu Pariangan. Dari sanalah mulai peradaban orang Minang sampai kini.

Dulu banyak orang kampung di dekat Merapi yang mengambil alu atau tongkat yang biasa digunakan untuk menumbuk padi dan tepung di lesung lalu diarahkan ke Gunung Marapi yang sedang meletus dengan harapan letusannya tidak mengarah ke kampung. Percaya atau tidak, kampung itu pun hampir tidak pernah terkena letusan gunung yang parah. Dengan kata lain mitos itu ampuh dari bahaya letusan Gunung Merapi.

Mitos lainnya, Gunung Marapi merupakan rumah bagi Orang Bunian, karenanya tidak sembarang orang dapat mendakinya. Konon, dulu orang Bunian suka menculik penduduk kampung namun tidak berani mencarinya sampai mendaki Merapi yang tingginya sekitar 2.800 mdpl ini. Start pendakiannya dari Kotobaru, Kabupaten Tanar Datar.

Dari Koto baru menuju persimpangan Pandai Sikek. Lalu menuju Tower yang merupakan pintu masuk kawasan dengan naik ojek motor sekitar 15 menit. Dari Tower ke Pesanggrangan Bung Hatta, bekas bangunan bersejarah wakil presiden pertama RI. Dari situ lalu akan bertemu hutan bambu yang disebut Parak Batuang. Dari sini medan menanjak undakan akar kayu hingga menemukan Shelter Panjauan di ketinggian 1.750 mdpl. Dari pos ini, Kota Bukittinggi terlihat jelas.

Berikutnya akan bertemu Terowongan Pakis, berupa goa sempit yang dipayungi jalinan daun pakis atau paku. Di sekitar hutan pakis ini ada sumber mata air bernama Pintu Angin di ketinggian 2.277 mdpl. Setelah itu ke Cadas berupa panorama hutan khas pegunungan Bukit Barisan. Dari Cadas tinggal 2,5 Km atau sekitar 2 jam perjalanan ke puncak. Di puncaknya ada Tugu Abel Tasman, Kawah Marapi, Puncak Garuda, dan Taman Edelweiss.

Gunung ini termasuk gunung populer di Sumbar dan sekitarnya. Setiap akhir pekan terlebih musim liburan banyak pendakinya. Penurunan kualitas lingkungan pun tak terhindari, seperti sampah sisa pendaki dan coretan di beberapa obyeknya. Tak ketinggalan pencurian Bunga Edelweis di Taman Edelweis yang kerap dilakukan masyarakat maupun pendaki nakal.

Tempat Para Aulia
Mitos lainnya ada di Gunung Halimon yang berketinggian 1803 mdpl, di Aceh, tepatnya di daerah Tangse, Sigli. Di gunung yang kerap diselimuti kabut termasuk yang sulit dicapai puncaknya karena dipercaya ada kehidupan lain di dalam hutannya. Banyak rintangan dan cobaan untuk mencapai puncaknya, mengingat gunung ini diyakini sebagai tempat para aulia dan dianggap keramat. Tak sedikit orang tersesat di tengah hutannya lalu ditemukan telah menjadi mayat oleh penduduk setempat tapi ada juga yang selamat, tergantung niat orang itu ke gunung ini.

Konon, dulu ada yang pernah tersesat di hutan Halimon lalu bertemu dengan ‘warga’dari dunia lain itu dan membantu keluar dari ‘perkampungan’ mereka. Ketika orang itu terbangun dari sadarnya, dia menemukan kembali jalur pulang. Karena itu, orang yang hendak mendaki gunung ini harus punya niat baik dan pantang ria. Juga dilarang bercanda berlebihan, bersiul, dan bertepuk tangan. Konon kalau melanggar maka akan turun hujan deras dan akan tersesat serta mengalami hal-hal mistis di luar kesadarannya.

Sementara Gunung Dempo di Pagaralam, Sumatera Selatan yang berketinggian 3.159 mdpl punya mitos yang mengatakan bahwa orang Palembang asli tidak akan pernah mampun mendaki gunung ini. Kalau pun memaksakan diri mendakinya akan mendapatkan bermacam halangan selama pendakian.

Sedangkan Gunung Rajabasa di Lampung punya mitos lain lagi. Untuk mencapai puncak Gunung berketinggian 1.281 mdpl ini, pendakian dimulai dari Desa Sumur Kumbang yang warganya suku Sunda, sekitar 5 Km dari Kalianda, ibukota Lampung Selatan. Waktu pendakiannya 6 sampai 8 jam dan melewati 4 pos peristirahatan.

Sebelum mencapai Pos 1, pendaki disarankan berziarah ke makam Syeh Mansyur, yang dikeramatkan. Tokoh dari Sunda ini konon perintis lahirnya Desa Sumur Kumbang. Sesepuh desa juga mewanti-wanti pendaki agar tidak menebang pohon.

Di kawah gunung yang dikenal sebagai gudangnya pacet ini, pengisap darah ini terdapat sebuah batu besar berbentuk persegi empat dengan luas sekitar 2 x 2 meter. Orang-orang menyebutnya Batu Cukup. Disebut demikian karena sebanyak apapun orang duduk di atasnya, selalu cukup. Pernah ada tim pendaki yang berjumlah 20 orang tidur di atas batu itu. Pas bangun paginya, mereka saling terheran-heran kenapa batu sebesar itu mampu menampung 20 orang.

Lepas benar-tidaknya mitos itu, yang pasti kehadirannya menambah daya tarik gunung-gunung tersebut, hingga orang tertarik datang. Ada yang memang sekadar mendaki, tak sedikit yang bermaksud menguji kebenaran mitos tersebut.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.