Sabtu, 04 Mei 2013

Memberi Nilai LEBIH Pendakian

Mendaki gunung termasuk kegiatan alam bebas yang sudah lama diminati muda-mudi negeri ini. Dan sampai saat ini tetap eksis. Seiring perkembangan jaman, kegiatan ini pun mengalami perubahan rasa dan cara hingga citra yang berbeda dengan era lalu. Akhirnya peminatnya mulai mencari kemasan baru agar kegiatan ini punya nilai lebih, bukan sekadar pendakian biasa.  

“Hari gini masih naik gunung, apa sih yang lo dapat?,” tanya Andi pada Dion, teman semasa kuliahnya dulu. “Banyaklah, ini olahraga gue sekaligus ngurangi stres,” balas Dion singkat dan tegas. Andi pun diam, sambil menganguk-anggukan kepalanya. 

Kata Dion, bukan cuma Andi yang bertanya begitu, masih ada beberapa teman kuliah bahkan teman SMA-nya dulu yang kerap menanyakannya begitu setiap kali bertemu. Bahkan ada yang nyinyir. “Lo bukannya umroh, banyakin sedekah, eh masih naik gunung aja. Apa enaknya sih”. Bahkan ada yang menuding miring. “Lo doyan ke gunung sekaligus cari wangsit ya? Bukannya pendaki gunung itu cuma bikin kotor gunung aja?”. 

Tapi tak sedikit yang justru bangga padanya. “Hidup lo enak banget sih, berpetualang dan naik gunung terus. Kan biayanya mahal”. Dan ada juga yang memuji dan bangga padanya. “Hebat lo ya masih sanggup nanjak gunung, rahasianya apa? Kalo gue boro-boro, lihat aja nih fisik gue”. 

Berdasarkan perbincangan Andi dan Dion serta penilaian teman-teman Andi lain terhadapnya, jelas sekali bahwa mendaki gunung pun mendapat sorotan dan penilaian yang berbeda terhadap pelakunya dari orang-orang yang sudah tak berminat lagi dengan kegiatan ini, terlebih orang awam yang tidak tahu-menahu makna kegiatan ini. 

Citra bahwa naik gunung itu cuma mencari senang-senang, mengotori gunung, pelarian dari masalah pribadi, narsis, dan lainnya itu bisa jadi benar. Realitanya, penulis masih melihat pencitraan itu di lapangan. 

Untuk menangkis semua citra miring itu, sudah waktunya para peminat kegiatan ini mengemas pendakian gunung dengan memberi nilai lebih yang tentu saja positif bukan cuma buat pelakunya, pun buat masyarakat sekitar. 

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, sekurangnya ada tujuh (7) unsur yang dapat memberi nilai plus dalam setiap pendakian. 

Pertama, unsur religi. Pendakian yang disertai dengan kegiatan amal ibadah seperti menyumbang sajadah, sarung, mukena, Alqur’an, Yasin, karpet dan lainnya ke surau atau masjid kecil di kaki gunung atau di desa terakhir yang membutuhkan. Bisa juga menyumbang ke panti asuhan anak yatim-piatu, madrasah, dan lainnya yang membutuhkan. 

Caranya dengan menyisihkan uang untuk dibelanjakan ke grosir perlengkapan solat dan lainnya. Lalu dibawa ketika mendaki. Atau kalau tidak bisa ikut mendaki, dititipkan kepada teman yang ikut pendakian. 

Sebaiknya cara ini dilakukan secara bersama agar nilai sumbangannya besar. Misalnya sewaktu ada kegiatan pendakian massal (penmas), ada orang yang mengkoordinir untuk mengumpulkan dana misalnya setiap orang minimal Rp 50.000 lalu dibelanjakan dan kemudian sebelum melakukan pendakian diserahkan ke pengurus mushola yang sudah ditentukan sebelumnya. 

Alangkah baiknya dipisahkan juga sumbangan buat pengurus musolah tersebut, agar adil. Jika tidak ada yang mengkoordinir, mulainya melakukannya sendiri. Toh, pahala dari amal ibadah ini akan dipetik sendiri kelak, dan lambat laut pasti ada orang yang tergerak hatinya untuk turut menyumbang. 

Kedua, unsur pendidikan. Pendakian yang didalamnya memasukkan kegiatan mencerdaskan penerus bangsa, seperti menyumbang perlengkapan belajar anak-anak SD antara lain buku, tas, pensil, pena, kaos kaki, sepatu, seragam sekolah, buku-buku bacaan anak-anak, kamus Bahasa Inggris/Bahasa Indonesia, dan lainnya, atau fasilitas belajar-mengajar di sekolah yang membutuhkan di sekitar kaki gunung tersebut. Cara dan strategi melakukannya sama seperti di atas. 

Ketiga, unsur kesehatan. Pendakian yang didalamnya memasukkan kegiatan yang bertujuan turut menyehatkan anak-anak penerus bangsa seperti memberi sumbangan susu, makanan sehat agar anak-anak tidak jajan sembarangan atau pemeriksaan kesehatan, peralatan P3K, obat-obatan, tes golongan darah, dan lainnya yang melibatkan tenaga kesehatan khusus. 

Keempat, unsur lingkungan. Pendakian yang memasukkan kegiatan untuk menjaga kebersihan dan keasrian gunung. Misalnya aksi bersih sampah gunung bekas pendaki ataupun peziarah, pembuatan tempat sampah di titik-titik tertentu berikut rambu larangan membuang sampah sembarangan dan kalimat-kalimat peduli lingkungan. 

Atau melakukan reboisasi, menanam sejumlah bibit pohon yang sesuai dengan tanah dan cuaca gunung tersebut. Sebaiknya cara ini dilakukan secara bersama agar hasilnya lebih nyata. Minimal membawa turun kembali sisa sampah logistik sendiri. 

Kelima, unsur ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pendakian yang memasukan kegiatan yang menitikberatkan pada pengetahuan seperti penelitian, pengamatan dan atau pendataan flora dan fauna di gunung tersebut. 

Bisa juga penyuluhan sapta pesona terkait pariwisata, belajar memotret alam, penulisan terkait petualangan dan perjalanan wisata, pengenalan internet, dan lainnya. Hasilnya kemudian dilaporkan ke pihat terkait atau dipublikasikan agar khalayak tahu. 

Keenam, unsur nasionalis. Pendakian yang disertai dengan kegiatan untuk memupuk semangat cinta Tanah Air, seperti obrolan santai atau diskusi mengenai 4 pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD’45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Sebaiknya dibuat sesantai mungkin dikaitkan dengan fenomena yang tengah terjadi belakangan ini. 

Tujuannya agar semakin tumbuh rasa cinta Tanah Air, persatuan, dan kesadaran atas keberagaman bangsa ini hingga terpupuk rasa toleransi, saling menjaga dan menghargai. Cara ini pun sebaiknya dilakukan saat penmas kepada seluruh peserta, atau saat memberi wawasan kepada anak-anak pelajar SD di sekolah-sekolah sekitar gunung tersebut. 

Ketujuh, unsur petualangan. Pendakian yang disertai dengan kegiatan yang kental aroma petualangannya seperti ekspedisi membuka jalur baru ataupun penelitian khusus, dan lainnya. Hasilnya kemudian dilaporkan pihak terkait dan atau disebarluaskan ke publik.
  
  
Agar masing-masing unsur yang dimasukkan dalam pendakian ini lebih maksimal, sebaiknya mengikutsertakan pihak terkait untuk membantu mendukung dan mensponsorinya. Misalnya kegiatan berunsur kesehatan, dapat bekerja sama dengan dokter atau tenaga medis terkait, dan sebagainya. 

Pilihlah kegiatan yang praktis, artinya dapat dilakukan sebelum mendaki gunung. Jadi tidak terlalu menyita waktu banyak. Lain halnya dengan kegiatan yang dapat dilakuan seiring dengan pendakian itu sendiri misalnya kegiatan berunsur lingkungan, ilmu pengetahuan, dan berunsur nasionalis. 

Jika salah satu unsur di atas diterapkan, dengan sendirinya pendakian yang dilakukan sudah bernilai lebih. Apalagi kalau dilakukan secara terus-menerus dengan unsur bergantian, pastinya, citra miring mendaki gunung cuma hepi-hepi atau bahkan justru merusak alam itu sendiri, akan musnah dengan sendirinya. 

Bisa juga dalam kegiatan pendakian sekaligus memasukkan 2 unsur di dalamnya seperti unsur religi/pendidikan/kesehatan//nasionalis/iptek dengan unsur lingkungan ataupun petualangan. 

Jadi menyisihkan sedikit rezeki dengan cara menyumbang, tidak perlu menunggu sebuah kampung/desa/kota itu porak-poranda oleh gempa, banjir bandang, longsor, puting-beliung dan lainnya. Dengan mendaki gunung, kita juga bisa sambil berbagi rezeki dan ilmu pengetahuan ataupun wawasan yang bermanfaat, bukan melulu senang-senang atau narsis-narsis semata di atapnya. 

Sudahkan Anda memberi nilai lebih dalam setiap pendakian Anda? Jika belum, mulainya mencobanya dari sekarang. Teruslah mencoba menjadikan setiap langkah dan kata itu AMAL IBADAH, dimanapun dalam kegiatan apapun, termasuk dalam kegiatan mendaki gunung. 

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@ayahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.