Kamis, 04 April 2013

Dilema Taman Nasional, Antara Duit dan Konservasi

Baru-baru ini keberadaan sejumlah villa liar di kawasan Gunung Salak Endah (GSE), Desa Gunungsari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat kembali ramai dipersoalkan. Maklum villa-villa yang diduga milik artis, pejabat negara, dan pengusaha itu dianggap illegal lantaran berada di lahan Taman Nasional Gunung Halimun dan Salak (TNGHS).

Permasalahan pemanfaat kawasan konservasi ini menjadi dilema tersendiri. Di satu mendatangkan pundi-pundi uang, disisi lain dituding biang terjadinya degradasi lingkungan. 

Di kawasan GSE, bukan cuma belasan melainkan ratusan villa yang dinilai sejumlah pihak melanggar karena berdiri di atas lahan konservasi TNGHS.

Pihak Kabupaten Bogor sebenarnya sudah melakukan upaya penertiban villa-villa tersebut sejak tahun 2005 lalu namun selalu kandas. Terakhir, pertengahan Maret lalu (13/3/2013), rencananya belasan villa yang antara lain kepunyaan Rizal Malaranggeng, Zarkasih Nur, dan Ahmad Albar itu akan dibongkar. Namun gagal karena ratusan warga setempat menolak.

Alhasil sekitar 250 petugas gabungan dari Polisi Hutan (polhut), Pol PP Kabupaten Bogor, dan Polres Bogor, yang sudah bersiaga mengamankan pembongkaran, akhirnya kembali ke markasnya masing-masing. Dan villa-vila itu tetap berdiri di kawasan yang semenstinya tidak boleh berdiri bangunan permanen, terlebih dalam jumlah besar. GSE di dalamnya selain hutan juga menjadi hulu daerah aliran Sungai Ciliwung dan Cisadane.

Ketika Jakarta dihantam banjir hebat beberapa waktu lalu, kerusakan hutan di kawasan GSE inilah dituding salah satu penyebabnya. Kendati begitu Bupati Bogor, Rachmat Yasin mengatakan daerahnya tak mau mau terus disalahkan sebagai penyebab banjir di Jakarta.

Pemerintah daerah, lanjut Rachmat tidak bisa sembarang merobohkan bangunan villa, kendati bangunan tersebut berada di area terlarang. Pasalnya, banyak penduduk lokal yang ikut menggantungkan hidup dari bisnis villa tersebut.

Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan Darori Wonodiporo menegaskan di dalam kawasan taman nasional dilarang membangun villa dan bangunan-bangunan lainnya.

Jika tidak membongkar villa-villanya, pemilik villa-villa itu akan ditindak dengan sanksi pidana 10 tahun. Meningat kawasan itu merupakan sumber air bagi Bogor, Jakarta, dan Banten.

KETIDAKTEGASAN pemerintah inilah yang menyebabkan kawasan ini disalahgunakan oleh orang-orang berduit yang ternyata tidak paham pentingnya kawasan konservasi. Mereka pikir dengan membangun villa-vila itu berarti sudah menjadi dewa penyelamat karena ikut memberi nafkah bagi warga setempat, baik sebagai penjaga dan perawat villa-villa. Padahal ulah mereka itu justru telah merusak kawasan hijau itu.

Dilema ini pun terjadi di beberapa taman nasional lain. Seperti diketahui Indonesia memiliki sekurangnya 50 buah taman nasional yang tersebar mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku sampai Papua.

Degradasi lingkungan pun tak terhindari baik karena pemanfaatnya sebagai kawasan obyek wisata maupun oleh penduduk yang tinggal berbatasan dengan taman nasional tersebut.

Taman Nasional Bunaket di Manado, Sulawesi Utara misalnya pun mengalami dilema antara konservasi dan destinasi wisata. Di satu sisi, Bunaken masuk dalam kawasan konservasi yang harus dilindungi. Namun dari lain, pemerintah menjadikannya pula sebagai tujuan wisata terutama untuk diving dan snorkeling. Akhirnya muncul kebijakan-kebijakan yang saling berbenturan.

Di taman nasional, seharusnya tidak boleh ada cottage diving center. Tapi karena jadi tujuan wisata, maka sejumlah cottage pun berdiri. Kehadiran cottage-cottage tersebut tak urung mengakibatkan tingginya bakteri E-collie yang mencemarikan perairan Bunaken.

Sejumlah langkah pun dilakukan untuk mengurangi pencemaran perairan Bunaken antara lain penyuluhan kesadaran masyarakat untuk selalu menjaga agar degradasi lingkungan tidak terjadi lebih besar. Lalu pemberlakukan sistem buka-tutup pengunjung ke Bunaken, dan mencari titik alternatif untuk menyelam agar tidak fokus di site dive yang sudah sudah melebihi kapasitas daya dukung alamnya seperti di Lekuan I, Lekuan II, dan Lekuan III.

Langkah lainnya mengurangi sampah yang hanyut saat musim angin Barat ke perairan ini lewat Program Safe Bunaken yang dicanangkan Gubernur Sulut SH Sarundajang.

Sistem buka-tutup pengunjung pun diberlakukan pihak Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP) di Jawa Barat dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), di Jawa Timur untuk mengurangi degradasi lingkungan akibat aktivitas pendakian gunung yang terlampau padat.

Tak bisa dipungkuri, kehadiran wisatawan minat khusus dalam hal ini pendaki di kedua taman nasional ini turut menambah pemasukan bukan saja ke pihak pengelola pun masyarakat sekitar. Namun dibalik itu, ada kerusakan yang tak bisa dihindari.

Lain lagi dilema yang dialami Taman Nasional Siberut atau TNS. Terlebih setelah Unesco menetapkan taman nasional ini sebagai biosfer dunia. Konsekuensinya Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat tidak boleh membuka jalan dan jembatan. Akibatnya masyarakat di kawasan ini kian terisolir.

Namun disisi lain, dengan ketidaktersediaan infrastruktur itu membuat keberadaan alamnya justru lebih terjaga meski penembangan liar tetap ada.

KETEGASAN pemerintah adalah jawaban untuk mengakhiri dilema di sejumlah taman nasional yang berkepanjangan ini. Karena bagaimanapun, di dalam kawasan terlarang ini HARAM ada villa dan bangunan lain, termasuk aktivitas manusia yang mengakibatkan kerusakan.

Siapapun harus sadar, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli. Siapapun harus mematuhi pengelolaan kawasan ini berdasarkan sistem zonasi dengan pemanfaatan antara lain untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan rekreasi yang tidak boleh merusak.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.