Satu lagi sosok pejuang kuliner tradisional Indonesia meninggal dunia. Nama aslinya Biyem Setyo Utomo atau yang lebih dikenal dengan Mbah Lindu.
Apa keistimewaan mbah yang mengawali kariernya berjualan gudeg di Jalan Sosrowijayan, Kota Jogja ini?
Dari berbagai sumber yang TravelPlus Indonesia kumpulkan, ternyata mbah yang wafat pada Senin Kliwon atau Minggu (12/7/2020) pukul 17.52 WIB karena sudah sepuh ini memang banyak keistimewaannya.
Bukan lantaran dia lahir, tinggal, dan berjualan gudeg di Yogyakarta yang memang berstatus Daerah Istimewa, melainkan banyak hal lain.
Keistimewaannya yang pertama dan patut dicontoh/diteladani/ditiru oleh para pelaku usaha kulinier tradisional dimanapun adalah kegigihan dan loyalitasnya.
Mbah Lindu berjualan gudeg sampai berusia 100 tahun. Hebatnya, dia turun tangan langsung ke dapur meracik, mengolah, dan bahkan menjual gudeg atau melayani sejumlah pembeli setianya maupun wisatawan yang tengah liburan di Jogja.
Setiap dini hari, mbah berjalan kaki sekitar 5 Km dari rumahnya di kawasan Klebengan, Sleman menuju Sosrowijayan, tempatnya berjualan gudeg, lalu mulai buka pukul 05.00 sampai 10.00 WIB.
Lokasi berjualannya strategis, berada tepat di pos depan Hotel Grage Ramayana sekitar 300 meter dari Jalan Malioboro.
Keistimewaan lainnya, Mbah Lindu termasuk penjual gudeg tertua di Yogyakarta. Kabarnya dia mulai merintis sejak 1942, sebelum memiliki suami pada zaman kolonial.
Sebelum meninggal, Mbah Lindu berjualan dibantu Ratiyah, anaknya. Namun, sejak 2 tahun belakangan mbah tidak ikut jualan lagi.
Selain Ratiyah, Mbah Lindu memiliki 4 anak lagi yakni Walidjo, Lahono, Musiyem, dan Jumiyem.
Keistimewaan lainnya, Mbah Lindu masih mempertahankan cara masak gudeg secara tradisional.
Kata Ratiyah, gudegnya dimasak di atas tungku kayu bakar. "Setelah matang dibiarkan semalaman supaya makin tanak dan bumbunya makin meresap," ungkapnya.
Gudeg Mbah Lindu juga ditemani aneka lauk yang tidak bisa terpisahkan alias menjadi satu kesatuan dengan gudegnya, yakni sambal goreng krecek, ayam kampung, dan telur bacem.
Citra rasa gudeg Mbah Lindu memang beda dengan gudeg lain.
"Gudeg basah Mbah Lindu itu legit, gurih, dan banyak rempahnya. Harga seporsinya cuma Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu," terang Ratiyah.
Berkat ketekunan dan kesetiaannya berjualan gudeg, rasahya pantas kalau Mbah Lindu yang dimakamkan di Makam Klebengan, Depok, Sleman ini layak masuk daftar penjual/pedagang kuliner tradisional legendaris di Tanah Air.
Kabar duka wafatnya legenda gudeg Jogja ini, bukan hanya tersiar di sejumlah media online di dalam dan luar DIY, pun di beragam medsos, antara lain @kulinerjogya, @jogjaku, @jogja24jam, @wonderfuljogja, @jogja_today, @jogjacitymewa, @jogjatv.tv, @tribunjogja, dan @jogjaistimewa termasuk di web TravelPlus Indonesia serta akun IG-nya @adjitropis.
Di akun IG @kulinerjogya, admin-nya mengunggah berita lelayu itu berikut foto Mbah Lindu mengenakan kebaya hitam motif kembang-kembang, sedang memegang gudeg olahannya dalam bungkusan daun pisang.
"Innalillahi wa innailahi rojiun, sugeng tindak Mbah Lindu 👃," tulis admin akun tersebut di bawah foto Mbah Lindu.
Di akun @jogjaistimewa juga mengunggah berita dan foto Mbah Lindu yang sama.
"Mbah Lindu merupakan penjual gudeg tertua di Jogja. Mbah Lindu sudah berjualan sejak zaman penjajahan dulu, sejak usianya masih 13 tahun," tulis admin akun tersebut.
Ada juga yang mem-posting video tentang Mbah Lindu dari YouTube/LumixIndonesia sebagaimana dilakukan admin @berandajogja.
Semua sama, turut berduka cita sekaligus menghormati dan menghargai kesetiaannya sebagai pejuang kuliner tradisional Indonesia, khususnya gudeg yang tak bisa dipungkiri telah turut mewarnai wajah Jogja jadi semakin istimewa.
Selamat jalan Mba Lindu, semoga husnul khotimah, aamiin allahumma aamiin.
Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Foto: dok. @jogjaistimewa, @jogjaku & @adjitropis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.