Ba'da Ashar, jenazah sastrawan besar Indonesia Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono dimakamkan di Giritama, tempat pembaringannya yang terakhir.
Ahad (19/7/2020) sore ini, sejumlah orang yang mencintai dan mengagumi karya sastra dan nonsastra-nya, hadir langsung di pemakaman yang berada di Giri Tonjong daerah Bogor, Jawa Barat itu.
Nampak terlihat wajah-wajah yang memancarkan duka ditinggalkan sang pujangga, di antaranya rona raut Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Hilmar Farid.
Buat Hilmar Farid, Sapardi bukan semata sahabat, tapi seorang guru dan ayah.
Sosok Sapardi yang bersahaja dengan karya-karya besarnya menjadi panutan buat Hilmar, pun banyak orang.
Sementara yang tak bisa hadir langsung ke pemakaman, berucap belasungkawa lewat medsos.
Hari Minggu ini, sejak pagi sejumlah akun Instagram (IG) para pengagumnya, termasuk TravelPlus Indonesia menggunggah foto, video beserta ucapan turut berdukacita buat Sang Penulis kata-kata indah sarat makna.
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono wafat Ahad (19/7/2020) pukul 09.17 WIB pagi dalam usia 80 tahun di RS Eka Hospital, BSD, Tangerang Selatan, Banten.
Sebelumnya dia sempat dirawat akibat penurunan beberapa fungsi organ tubuh.
Dilansir dari Wikipedia, Sapardi Djoko Damono (SDD) menghabiskan masa mudanya di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958).
Pada masa ini, SDD sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tahun 1973, SDD pindah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison.
Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, tetapi kini telah pensiun.
SDD menjabat pernah menjabat sebagai Dekan FIB UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar di masa itu.
Pada masa tersebut, SDD juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur.
Saat ini SDD aktif mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.
Warisan Sastra
Yang Fana adalah Waktu
Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Itulah salah satu puisi SDD berjudul Yang fana adalah waktu.
Karya itu kini jadi salah satu warisan sastra buat bangsa ini Pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 20 Maret 1940 ini juga terkenal sebagai dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, dan pakar sastra.
Buktinya sejumlah novel dan buku terkait sastra dan nonsastra sudah ditulisnya antara lain Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur; Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978); Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979); dan Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999).
Beberapa karya sastra bahasa asing juga pernah dia terjemahkan ke bahasa Indonesia, di antaranya Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James) serta Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway).
Berkat karya-karya besarnya serta loyalitasnya berkarya sejak berusia belasan tahun, membuat penyair yang pernah menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Sastra UGM jurusan Bahasa Inggris lalu memperdalam pengetahuan tentang humanities di University of Hawaii, Amerika Serikat, tahun 1970-1971 ini pantas mendapatkan sejumlah penghargaan baik di tingkat nasional maupun internasional.
Penghargaan sastrawan bergelar Doktor pada bidang ilmu sastra dengan disertasi berjudul "Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur,", lalu dikukuhkan menjadi Guru Besar di Fakultas Sastra, UI pada 1995 ini antara lain Cultural Award dari Australia pada 1978, SEA Write Award dari Thailand tahun 1986, Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia 1990, dan Anugerah Kalyana Kretya dari Menristekdikti 1996.
SDD juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Selain Yang fana adalah waktu, juga ada sejumlah puisinya yang lebih dulu melambungkan nama sastrawan kelahiran 20 Maret 1940 ini, antara lain Aku Ingin, Pada Suatu Hari Nanti, dan Hujan Bulan Juni, sebagaimana tertera di bawah ini:
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.
Selamat jalan sang profesor penyair besar, terimakasih atas semua warisan sastra indahmu. Tenang, damai, dan bahagialah disana, disisi-Nya.
Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, Ig: @adjitropis)
Foto: dok.@damonosapardi & ist.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.