Minggu, 30 Desember 2018

Ketika Anak-Anak Gunung Bahas Soal Kuliner Diujung Tahun, Ah Seruuu...

Berawal dari kiriman video Nasi Kebuli yang dikirim Dwi ke WhatsApp Group (WAG) Agatra Sraya, Minggu terakhir 2018 (30/12) pukul 8 pagi. Seketika serdadu-serdadu lainnya gencar membahas soal kuliner. Wiiiih.., nggak nyangka, seruuuu...

"Nasi Kebuli yang enak itu di Mampang. Lokasinya depan Bluebird," kata Ahmad Munzir, serdadu Agatra Sraya angkatan 87 yang akrab disapa Boim alias singkatan dari "Baik Orangnya Itulah Munzir" (dia ngarang sendiri, nyenengin ati sendiri hehe..).

Tak lama kemudian ayah 2 anak yang sudah beranjak dewasa ini mengirimkan foto Nasi Kebuli ditambah Acar berisi irisan mentimun, wortel, dan cabe rawit yang berkuah merah cerah menggoda, dan bikin saya mendadak lapeeeeer...

"Nasi Kebuli di Kampung Melayu lebih enak๐Ÿ‘lho," balas Ahmad Yani serdadu Agatra Sraya angkatan 86 yang biasa disapa Yani.

"Murah juga, satu porsinya Rp 35.000," tambah Yani yang dulu terkenal sebagai anggota Agatra Sraya paling gesit di angkatannya namun selepas melantik angkatan saya, dia menghilang bak ditelan bumi alias non aktif lagi.

Kata Yani kalau satu gidir Nasi Kebuli di Kampung Melayu dibanderol Rp 3 jutaan soalnya bisa buat 50 orang. "Dagingnya asli kambing," ungkapnya.

"Emang ada kambing palsu?" celetuk Rohmadi serdadu Agatra Sraya angkatan 87 setahun di bawah Yani atau setahun di atas saya, yang biasa dipanggil Didot alias Didi Kuping.

"Maksudnya daging sapi," balas Yani rada sewot hehehe.

"Enakan juga Nasi Kebuli kambing drpd sapi," timpal saya sesuai Nasi Kebuli yang pernah saya cicipi.

Tak lama kemudian, Nizar serdadu Agatra Sraya angkatan pertama (85) yang akrab disapa Nday berkomentar.

Menurut serdadu Agatra Sraya yang kerap membacakan naskah Jerit Malam disetiap pelantikan angkatan baru pada bulan Desember ini, Nasi Kebuli di Jalan Ashirot, Kampung Baru, Jakarta Barat pas tikungan juga enak.

Menurut Nday sewaktu ikut Aksi Damai 212, dia kedapatan Nasi Kebuli bungkus.

"Waduh nggak nyangka ajiiib be'eng. Terus gw juga pernah dapat Nasi Kebuli pas ikut haul ustad berdarah Arab yang terkenal," aku Nday.

Tak disangka-sangka, Untung salah satu dari 16 Perintis yang mendirikan Agatra Sraya 5 Agustus 1984 silam ikut nimbrung.

"Kasian amat lo Nday makan Nasi Kebuli pas demo sama haul doang hehehe..," celoteh Untung hingga membuat Nday tertawa ngakak.

"Masih mending Om Nday dua kali sekali makan Nasi Kebuli Om Untung. Nah gw sekali setaon aja belum tentu," timpal saya.

Melihat begitu semangatnya para serdadu Agatra Sraya membahas kuliner membuat saya agak terkejut.

"Wah ternyata pada doyan kulineran nih... kayaknya ok juga Agatrasrayer skali2 bikin trip kulineran.... ga melulu nanjak gunung, kemping, jadi variatif, lebih berwarna.... uhuuuy.." kata saya mengomentari begitu antusiasnya serdadu WAG Agatra Sraya ngomongin soal kuliner pagi tadi.

Sampai Nasser anggota Agatra Sraya angkatan 87 ikut mengomentari keseruan pembahasan terkait kuliner itu.

"Laacobaa ituh, ni kayak grup kuliner emak2 sosialita bae dah bahasnya makanan mulu ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ," canda Nasser.

Tak lama kemudian Boim nongol lagi. "Kalo ngomongin rasa Asinan Betawi, gak ada yang ngalahin Asinan Seha. Asinan Rawabelong, Kamboja, Bang Keder dll mah lewat," kata Boim mengganti topik kuliner dari Nasi Kebuli ke Asinan Betawi.

Boim pun tak lupa mengirim foto Asinan tersebut ke WAG ini.

Entah sudah berapa kali dia memamerkan makanan khas Betawi itu. Kebetulan penjualnya memang dekat dengan rumahnya di Jalan Seha, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

"Asinan Kemboja di Rawamangun mantabs," timpal Herdi, anggota Agatra Sraya angkatan 90.

"Ah masih kalah sama Asinan Seha Her," balas Boim sengit.

"Tapi cobain dah, harganya kalo nggak salah Rp17 ribu, gue kalo beli borongan sampe 20 bungkus," balas Herdi lagi.

"Udah sering Her, tetep enakan Asinan Seha. Belinya ngantri kan?" kata Boim.."Iya bener ngantri," balas Herdi.

"Deket rumah Herdi ada masakan Sayur Asem Betawi tulen tuh," ungkap Yani tiba-tiba seperti ingin mengganti bahan bahasan kuliner yang baru, yakni Sayur Asem.

"Di warung Haji Masa di Pondok Aren, Bintaro juga ada yang jual Sayur Asem dan masakan Betawi lainnya," tambah Yani.

Belum kelar bahas Sayur Asem, eh tiba-tiba Boim lempar topik kuliner baru lagi.

"Soto Betawi Haji Husein Mantep tuh di Manggarai, sebelah SPBU," ujarnya.

Saya pun memberi komentar soal Soto Betawi alias Sobet itu. "Sobet yg enak di TIM (Taman Ismail Marzuki-red)... gw pernah ngeliput.. kuahnya pake susu euy..".

Tak lama berselang Nday kembali muncul. "Soto Betawi gw blom ada yg ngalahin bikinan almarhumah Hj. Chadidjah...emaak gw....๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ," ungkapnya.

"Tau aja dah...๐Ÿ‘✍๐Ÿฟ tapi Gw blom nyobain om..," balas saya.

Kemudian Nday mengganti topik lain. Dia angkat kuliner khas Betawi lainnya. Kali ini Nasi Uduk (Nasduk).

"Nasduk klo sore, depan kompleknya Ustadz Jefry (alm.) juga enakkk..," ungkapnya.

Saya pun membalasnya: "Di Rawa Belong juga banyak tuh tukang Nasduk Betawi... ajiiib.., ajiiib".

"Yang paling enak Nasduk H. Satiri di dekat Jl. KPBD, dah gak ada 2-nya," timpal Boim nggak mau kalah.

Mendengar itu, Yani langsung bilang kalau mau makan Nasduk yang paling mantap itu di Podok Kacang depan UNJ Rawamangun. "Dibanding Nasduk Haji Satiri, 2 tingkat lebih enak," tandas Yani.

"Kapan nih bang kita kesono," pinta Boim seketika.

Kemudian Nday muncul lagi. Dia bilang Rumah Makan Cobek Jerit Mak Nyai di Situ Cipule, Karawang, Jawa Barat juga recommended banget.

"Set dah...baru ntu, gw makan kuah2nya gw iruuppp...si Yani juga tuh," ungkap Nday berapi-api.

"Beneeer bgt Om Nday.... tunggu artikel tentang Cobek Jerit Mak Nyai Cipule yeee... Sengaja gw pending krn skrg lg ngehits destinasi terdampak tsunami Selat Sunda dan tahun baru," balas saya.

Tak terasa dua jam lebih serdadu-serdadu Agatra Sraya membahas soal kuliner.

Saya catat ada Nasi Kebuli, Asinan Betawi, Soto Betawi, Sayur Asem, dan Nasi Uduk Betawi yang dikupas dalam pembicaraan itu.

Satu lagi kuliner khas Sunda Karawang yaitu Cobek Jerit Mak Nyai. "Kayaknya perlu di-listing tuh... culinnary spots buat kita jajaki satu2 next trip," saran saya.

Kenapa saya menyarankan begitu? Soalnya wisata kuliner itu nggak ada matinya. Peminat ya rrruuuaaaarr biasaaah.., termasuk para komunitas pecinta alam dan pendaki gunung sekalipun, salah satu buktinya Agatra Sraya ini.

"Pengusaha kuliner Agatrasrayers mana nih Om Dwi.... kasih rekomendasi dong yang enak2 buat bikin trip kulineran Agatrasrayers," lanjut saya.

"Die lagi nyiapin makanan buat kite," celetuk Yani.

"Tapi yang diundang Dwi yg komen aja. Yg nggak pernah komen nggak diundang hehehe," canda Yani.

Eh tiba-tiba Dwi yang seangkatan dengan Yani di Agatra Sraya hadir. "Apa juga kalau dah mateng enak. Bahan daging dan Ayam," ujarnya agak rada membingungkan.

Pukul 10 pagi lewat, Boim menutup pembahasan soal kuliner itu dengan mengirimkan foto Nasi Kebuli yang tadi disantapnya.

"Tinggal sesuap lagi neh Nasi Kebulinya," pamer Boim yang bikin saya tambah lapeeeer...

Tentang Agatra Sraya
Agatra Sraya adalah organisasi pecinta alam yang berbasis di Jakarta.

Seperti tersebut di atas, Agatra Sraya dibentuk oleh 16 orang perintis pada 5 Agustus 1984.

Ke-16 perintis itu antara lain Tores, Yuliawan, Untung, Efrul, Arif Fauzi, Lela, Martini, dan Anna. Hal itu diamini Nday dan juga Untung saat saya konfirmasi tanggal berdirinya Agatra Sraya via japri.

Setahun setelah dibentuk, kemudian perintis melantik angkatan pertama tahun 1985 (Nday, Maman, Henry, Cemonk, Bobby, Gita, Jenny, dan lainnya).

Pelantikan anggota barunya digelar setiap liburan sekolah, Desember di beberapa lokasi antara lain Cibodas kaki Gunung Gede Pangrango, Pasir Reungit kaki Gunung Salak, Jogjogan, Sukabumi, dan lainnya terutama masih di wilayah Jawa Barat.

Terakhir kali Agatra Sraya melantik angkatan 93 (kalau saya tidak keliru). Selepas itu tidak ada pelantikan lagi, vakum bertahun-tahun seperti mati suri.

Hanya sesekali kumpul dalam jumlah anggota yang cukup banyak pada tahun 2010 di Curug Cibeureum, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan ketika kumpul di Telaga Warna, kawasan puncak Bogor.

Setelah itu vakum lagi dan hanya sesekali jalan bareng dalam grup kecil (small group) ke beberapa tempat.

Terakhir ke Situ Cipule dan Bendungan Walahar di Karawang pada Sabtu (22/12/2018) yang hanya diikuti 5 serdadu Agatra Sraya saja yakni Nday, Maman, Yani, Boim, dan saya.

Kumpul bareng di Karawang baru-baru itu terwujud setelah terbentuk WAG Agatra Sraya tahun 2018 ini dengan admin pertamanya Nday.

Hasil dari ngobrol santai di Karawang tempo hari membuahkan 10 point usulan antara lain membuat kaos dan topi/pet serta agenda kumpul-kumpul lagi untuk tahun 2019 (tanggal & bulan serta lokasinya belum fix).

Point terakhir, atas usulan Nday, anggota Agatra Sraya yang tergabung dalam WAG ini sebaiknya mengindahkan/mematuhi deskripsi yang sudah tertera di WAG ini yakni: AGATRA SRAYA adalah grup alumni Pecinta Alam yang tidak membahas Politik, Sara, dan Sex.

Oleh karena itu untuk menghindari gesekan bahkan perpecahan sebaiknya dihindari kirim foto/video/bc/info dll yg mengarah ke politik, sara, dan sex.

Sebaliknya kalau yang berkaitan dengan kepecintaalaman, kenangan masa lalu dalam kegiatan Agatra Sraya, pariwisata, seni budaya, kuliner, dll yang tidak ada unsur tiga hal di atas, ya boleh-boleh saja.

Becanda/guyon juga boleh-boleh saja asal tahu mana yang pantas disebar di WAG ini dan mana yang lewat japri.

Untuk hal-hal yang bersifat pribadi/urgent/privacy juga disarankan dikirim/disampaikan langsung via japri bukan di WAG untuk menjaga/menghargai privacy orang tersebut.

Sampai hari ini, Minggu (30/12/2018) anggota WAG Agatra Sraya tercatat baru 45 orang, padahal jumlah Agatra Sraya sampai angkatan terakhir diperkirakan sudah mencapai seratus lebih.

Oiya buat serdadu-serdadu Agatra Sraya di WAG ini yang tidak disebut namanya dalam tulisan ini, bukan berarti saya lupakan.

Kebetulan tulisan ini mengangkat seputar kuliner, jadi yang ikut aktif memberi komentar saja tadi pagi yang nama-namanya tercantum sesuai isi komentarnya di tulisan ini.

Bravo serdadu-serdadu Agatrasrayers dimanapun berada...

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Foto: adji, boim & dok.agatrasraya

Captions:
1. Lima serdadu Agatra Sraya santap menu Sunda di Cobek Jerit Mak Nyai di Situ Cipule, Karawang, Jawa Barat.
2. Nasi Kebuli kiriman Boim.
3. Soto Betawi legendaris di TIM, Jakarta yang dirintis sejak tahun 1940-an.
4. Nasi Kebuli kiriman Boim tinggal sesuap.
5. Serdadu-serdadu Agatra Sraya saat ingin mendaki Kawah Ratu, Gunung Salak.
6. Kumpul Agatrasrayers terakhir dan terbanyak di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango tahun 2010 lalu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.