Duapuluhan tahun lalu aku "menari-nari" di gunung ini. Munara namanya.
Aku cumbui tebing-tebingnya, dari tebing pendek dan banyak tonjolannya (pegangan surga, kata pemanjat) sampai yang lumayan tinggi dan tegak.
Mulai Scrimbing hingga memanjat dengan seutas tali karmantel seperti di Tebing Belah-nya, aku lakoni sejak SMA bersama rekan-rekan Pecinta Alam Agatra Sraya sekitar akhir tahun 80-an.
Saat itu aku masih gila tebing alami, selain gunung biasa. Hampir tiap akhir pekan, aku sambangi dia.
Begitupun saat awal-awal kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP - Jakarta ) hingga tahun 1992, aku masih rajin ke Munara. Sampai temanku, Deden berceloteh. “Lo ngapelin Munara terus. Jangan-jangan lo nanti kawin sama tebing”.
Aku cumbui tebing-tebingnya, dari tebing pendek dan banyak tonjolannya (pegangan surga, kata pemanjat) sampai yang lumayan tinggi dan tegak.
Mulai Scrimbing hingga memanjat dengan seutas tali karmantel seperti di Tebing Belah-nya, aku lakoni sejak SMA bersama rekan-rekan Pecinta Alam Agatra Sraya sekitar akhir tahun 80-an.
Saat itu aku masih gila tebing alami, selain gunung biasa. Hampir tiap akhir pekan, aku sambangi dia.
Begitupun saat awal-awal kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP - Jakarta ) hingga tahun 1992, aku masih rajin ke Munara. Sampai temanku, Deden berceloteh. “Lo ngapelin Munara terus. Jangan-jangan lo nanti kawin sama tebing”.
Saat itu, aku dan beberapa rekanku (Irwin, Adi, Ramli, Agra, dan lainnya) dari PINISI - OAC (Outdoor Activity Companion) yang aku bentuk setahun sebelumnya (1991), tengah menggelar latihan di gunung ini.
Aku juga pernah mengajak Prosper, salah satu anggota senior TAPAL (organisasi mahasiswa pecinta alam di IISIP - Jakarta), manjat tebing di Munara ini.
Ketika itu Prosper yang punya jiwa petualangan dan kenekatan di atas rata-rata, nekat tidak memakai peralatan panjat. Tapi setelah aku imbau, akhirnya dia mau.menggunakan peralatan rock climbing seperti harness, tali karmantel, carabiner, dan lainnya lalu beraksi seperti cicak tebing, selamat sampai atas.
Memang, dibanding Gunung Parang di Purwakarta, Klapanunggal di Bogor, dan Citatah di Padalarang, tebing-tebing Munara-lah yang paling sering aku panjati. Kedekatan jaraknya, menjadi salah satu faktor.
Kondisi Munara ketika itu masih relatif sepi pengunjung tak beda jauh semasa SMA. Utamanya yang datang ke Munara ketika itu para pecinta alam yang berlatih rock climbing dan rapelling/abseiling atau turun tebing.
Keberadaan tebing yang beragam bentuk dan relatif mudah dipanjat, menjadi alasan kenapa Munara dipilih mereka, terutama bagi pemula. Tentunya selain berpanorama lumayan menawan dari puncak-puncak tebingnya.
Di bagian belakang gunung ini, hutannya masih cukup rimbun. Babi hutan masih kerap kelihatan berkeliaran. Sarangnya di bawah-bawah ceruk tebing-tebingnya yang tersebar di badan gunung ini.
Aku masih ingat, pernah dikejar babi hutan saat memanjat salah satu tebingnya yang letaknya agak jauh dan sepi.
Di bagian depan gunung ini yang menjadi jalur pendakian ke puncaknya, pada saat itu sudah mulai dimanfaatkan sebagai lahan kebun oleh beberapa warga setempat, terutama di bagian bawah setelah sungai. Ada yang ditanami pohon nangka, kedondong, petai, dan lainnya.
Kondisi sungai di kaki gunung ini saat itu, airnya masih jernih. Dulu ada jembatan bambu melintang di atas sungai ini. Tapi tak bertahan lama karena hanyut terbawa arus saat air sungai meluap. Setelah itu tidak ada lagi jembatan. Satu-satunya jalan dengan menyeberangi sungai itu.
Setiap kali ke Munara, aku mandi di sungai ini, terutama di bagian yang sepi ke arah hulu.
Tahun 1992 itu pula pertemuan terakhirku dengan Munara. Dan sampai sekarang, aku belum pernah menemuinya lagi.
Semenjak itu, aku memang beralih berpetualang menjelajahi taman-taman nasional.
Setelah ke Ujung Kulon kali pertama pada tahun 1992 bersama Prosper dan belasan anggota serta simpatisan TAPAL, entah kenapa aku jadi jatuh cinta sama kawasan konservasi berstatus taman nasional, seperti Bukit Barisan Selatan, Way Kambas, Kerinci Seblat, Baluran, Meru Betiri, Alas Purwo, Bali Barat, dan lainnya.
Aku seperti menemui bentuk petualangan yang beda terutama saat memasuki hutan tropis dari dataran tinggi, rendah sampai hutan pesisir, dan mangrove serta menyusuri pantai-pantai perawan, termasuk ke suku pedalaman.
Mulai dari situlah aku lupa dengan “kemolekan” tubuh tebing-tebing alami, termasuk tebing-tebing yang ada di Munara.
Entah kenapa tahun 2015 ini, setelah mendaki Gunung Batu di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, aku teringat Munara.
Bisa jadi pemicunya Gunung Batu itu yang juga merupakan salah satu gunung bertebing. Cuma bedanya tebing Gunung Batu utuh membentuk gunung kerucut. Sedangkan tebing-tebing Munara terpencar-pencar, berantakan di mana-mana.
Aku pun mencari tahu kabar Munara. Pertama aku mencarinya di laman google. Terus terang aku terkejut, ternyata banyak tulisan kisah perjalanan ke gunung ini, entah itu yang ditulis wartawan maupun blogger.
Tulisan terakhir yang ku lihat tertera bulan November 2014. Ini membuktikan bahwa Munara masih ada. Padahal aku sempat berpikir, tebing-tebing Munara pasti sudah lama habis karena digerus, diambil batu dan pasirnya.
Dari tulisan-tulisan terbaru tentang Munara, termasuk beberapa fotonya, saya melihat tidak ada perubahan berarti.
Gunung yang oleh warga setempat dinamakan Munara berasal dari kata menara ini, tebing-tebingnya utamanya, Tebing Belah dan Puncak Bintang, masih ada. Termasuk cetakan kaki berbentuk telapak kaki manusia yang sejak dulu yakini warga sebagai Telapak Kaki Kabayan serta Menara Adzan yang konon dulunya digunakan untuk mengumandangkan adzan.
Begitupun dengan goa-goa-nya salah satunya Goa Soekarno yang oleh warga setempat diyakini pernah digunakan Bung Karno bersemedi (entahlah).
Bedanya, kalau dulu di puncaknya tidak ada bale. Tapi berdasarkan tulisan Munara tahun lalu, di puncaknya terdapat bale beratap yang bisa digunakan untuk duduk-duduk santai.
Soal pemandangannya dari puncak pun tidak terlalu mencolok perbedaannya. Cuma aku melihat beberapa pohon di tebing-tebingnya semakin rimbun. Yang pasti panorama dari atapnya tetap menyegarkan mata oleh hamparan persawahan dan bukit-bukit kecil.
Seperti seorang yang ingin berjumpa dengan kekasih lamanya, setelah mengetahui informasi mengenai keberadaan Munara, aku jadi bersemangat ingin menemuinya kembali. Keinginanku sempat ku utarakan lewat Facebook beberapa Minggu lalu.
Seminggu kemudian, aku melihat foto yang di-upload Dani dan Ramde, dua anggota Pemuda Islam Pecinta Alam (PELITA) di gunung ini lewat Instagram (IG)-nya masing-masing. Rupanya mereka survey ke Munara akhir pekan itu.
Memang, dibanding Gunung Parang di Purwakarta, Klapanunggal di Bogor, dan Citatah di Padalarang, tebing-tebing Munara-lah yang paling sering aku panjati. Kedekatan jaraknya, menjadi salah satu faktor.
Kondisi Munara ketika itu masih relatif sepi pengunjung tak beda jauh semasa SMA. Utamanya yang datang ke Munara ketika itu para pecinta alam yang berlatih rock climbing dan rapelling/abseiling atau turun tebing.
Keberadaan tebing yang beragam bentuk dan relatif mudah dipanjat, menjadi alasan kenapa Munara dipilih mereka, terutama bagi pemula. Tentunya selain berpanorama lumayan menawan dari puncak-puncak tebingnya.
Di bagian belakang gunung ini, hutannya masih cukup rimbun. Babi hutan masih kerap kelihatan berkeliaran. Sarangnya di bawah-bawah ceruk tebing-tebingnya yang tersebar di badan gunung ini.
Aku masih ingat, pernah dikejar babi hutan saat memanjat salah satu tebingnya yang letaknya agak jauh dan sepi.
Di bagian depan gunung ini yang menjadi jalur pendakian ke puncaknya, pada saat itu sudah mulai dimanfaatkan sebagai lahan kebun oleh beberapa warga setempat, terutama di bagian bawah setelah sungai. Ada yang ditanami pohon nangka, kedondong, petai, dan lainnya.
Kondisi sungai di kaki gunung ini saat itu, airnya masih jernih. Dulu ada jembatan bambu melintang di atas sungai ini. Tapi tak bertahan lama karena hanyut terbawa arus saat air sungai meluap. Setelah itu tidak ada lagi jembatan. Satu-satunya jalan dengan menyeberangi sungai itu.
Setiap kali ke Munara, aku mandi di sungai ini, terutama di bagian yang sepi ke arah hulu.
Tahun 1992 itu pula pertemuan terakhirku dengan Munara. Dan sampai sekarang, aku belum pernah menemuinya lagi.
Semenjak itu, aku memang beralih berpetualang menjelajahi taman-taman nasional.
Setelah ke Ujung Kulon kali pertama pada tahun 1992 bersama Prosper dan belasan anggota serta simpatisan TAPAL, entah kenapa aku jadi jatuh cinta sama kawasan konservasi berstatus taman nasional, seperti Bukit Barisan Selatan, Way Kambas, Kerinci Seblat, Baluran, Meru Betiri, Alas Purwo, Bali Barat, dan lainnya.
Aku seperti menemui bentuk petualangan yang beda terutama saat memasuki hutan tropis dari dataran tinggi, rendah sampai hutan pesisir, dan mangrove serta menyusuri pantai-pantai perawan, termasuk ke suku pedalaman.
Mulai dari situlah aku lupa dengan “kemolekan” tubuh tebing-tebing alami, termasuk tebing-tebing yang ada di Munara.
Entah kenapa tahun 2015 ini, setelah mendaki Gunung Batu di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, aku teringat Munara.
Bisa jadi pemicunya Gunung Batu itu yang juga merupakan salah satu gunung bertebing. Cuma bedanya tebing Gunung Batu utuh membentuk gunung kerucut. Sedangkan tebing-tebing Munara terpencar-pencar, berantakan di mana-mana.
Aku pun mencari tahu kabar Munara. Pertama aku mencarinya di laman google. Terus terang aku terkejut, ternyata banyak tulisan kisah perjalanan ke gunung ini, entah itu yang ditulis wartawan maupun blogger.
Tulisan terakhir yang ku lihat tertera bulan November 2014. Ini membuktikan bahwa Munara masih ada. Padahal aku sempat berpikir, tebing-tebing Munara pasti sudah lama habis karena digerus, diambil batu dan pasirnya.
Dari tulisan-tulisan terbaru tentang Munara, termasuk beberapa fotonya, saya melihat tidak ada perubahan berarti.
Gunung yang oleh warga setempat dinamakan Munara berasal dari kata menara ini, tebing-tebingnya utamanya, Tebing Belah dan Puncak Bintang, masih ada. Termasuk cetakan kaki berbentuk telapak kaki manusia yang sejak dulu yakini warga sebagai Telapak Kaki Kabayan serta Menara Adzan yang konon dulunya digunakan untuk mengumandangkan adzan.
Begitupun dengan goa-goa-nya salah satunya Goa Soekarno yang oleh warga setempat diyakini pernah digunakan Bung Karno bersemedi (entahlah).
Bedanya, kalau dulu di puncaknya tidak ada bale. Tapi berdasarkan tulisan Munara tahun lalu, di puncaknya terdapat bale beratap yang bisa digunakan untuk duduk-duduk santai.
Soal pemandangannya dari puncak pun tidak terlalu mencolok perbedaannya. Cuma aku melihat beberapa pohon di tebing-tebingnya semakin rimbun. Yang pasti panorama dari atapnya tetap menyegarkan mata oleh hamparan persawahan dan bukit-bukit kecil.
Seperti seorang yang ingin berjumpa dengan kekasih lamanya, setelah mengetahui informasi mengenai keberadaan Munara, aku jadi bersemangat ingin menemuinya kembali. Keinginanku sempat ku utarakan lewat Facebook beberapa Minggu lalu.
Seminggu kemudian, aku melihat foto yang di-upload Dani dan Ramde, dua anggota Pemuda Islam Pecinta Alam (PELITA) di gunung ini lewat Instagram (IG)-nya masing-masing. Rupanya mereka survey ke Munara akhir pekan itu.
Salah satu foto Ramde cukup menarik perhatianku. Dia duduk di salah satu puncak tebing Munara berlatarbelakang sunset berwarna keemasan dan di bawahnya terhampar lautan awan putih.
Sungguh itu pemandangan langka di Munara karena berpuluh-puluh kali ke sana, sekalipun aku tidak pernah mendapat hamparan awan seperti itu. (Jadi sempat curiga, awannya itu hasil editan).
Sungguh itu pemandangan langka di Munara karena berpuluh-puluh kali ke sana, sekalipun aku tidak pernah mendapat hamparan awan seperti itu. (Jadi sempat curiga, awannya itu hasil editan).
Minggu depannya, aku berencana mendatangi Munara. Tapi lantaran ada tugas kerjaan, gagal.
Ternyata, rombongan PELITA justru menyambangi gunung ini. Aku tahu setelah melihat foto-foto yang di-upload Alin di IG-nya dan kiriman beberapa foto dari Hasbi Mq, Ketua Umum PELITA.
Di beberapa fotonya terlihat ada Hasbi Mq, Dani, Givan, Alin, Elan, Nando Pani, Maya, dan beberapa lagi yang belum ku kenal.
Ada juga foto mereka lagi mejeng dengan latar belakang pohon berakar, duduk-duduk di puncak, dan memanjat dengan tali webbing.
Ternyata, rombongan PELITA justru menyambangi gunung ini. Aku tahu setelah melihat foto-foto yang di-upload Alin di IG-nya dan kiriman beberapa foto dari Hasbi Mq, Ketua Umum PELITA.
Di beberapa fotonya terlihat ada Hasbi Mq, Dani, Givan, Alin, Elan, Nando Pani, Maya, dan beberapa lagi yang belum ku kenal.
Ada juga foto mereka lagi mejeng dengan latar belakang pohon berakar, duduk-duduk di puncak, dan memanjat dengan tali webbing.
Menurut Hasbi Mq, sekarang di Munara banyak pungli alias pungutan liar. Sewaktu masuk gang depan mereka dikenai Rp 2.000 per motor dan biaya parkir.
“Tapi perjalanan ke atas kita dimintain oleh orang lain dengan alasan kebunnya dijadikan jalur pendakian. Tapi kita ga bayar,” terangnya lewat BBM.
“Tapi perjalanan ke atas kita dimintain oleh orang lain dengan alasan kebunnya dijadikan jalur pendakian. Tapi kita ga bayar,” terangnya lewat BBM.
Kata dia lagi, sekarang banyak pengunjung biasa dan peziarah yang datang ke Munara. Mendengar keterangannya, aku sempat kaget. Karena dulu, sama sekali tidak ada pungli. Kalau pengunjung biasa dan peziarah, ada tapi hanya segelintir.
Gunung Munara yang berketinggian di bawah 1.000 Mdpl ini berada di Desa Kampung Sawah, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor.
Waktu yang ditempuh untuk mencapai puncaknya pun relatif singkat hanya sekitar 1-2 jam. Kalau super santai bisa 3 jam.
Waktu yang ditempuh untuk mencapai puncaknya pun relatif singkat hanya sekitar 1-2 jam. Kalau super santai bisa 3 jam.
Dulu, waktu sering kesana dengan serdadu-serdadu Agatra Sraya, Pinisi - OAC maupun dengan TAPAL -ISIIP belum ada kendaraan umum.
Aku dan beberapa rekan biasanya naik kendaraan umum sampai perempatan Ciseeng. Setelah itu ngoboy, menumpang truk pasir, melewati beberapa hutan karet dan jembatan sampai gang depan menuju ke Munara.
Aku dan beberapa rekan biasanya naik kendaraan umum sampai perempatan Ciseeng. Setelah itu ngoboy, menumpang truk pasir, melewati beberapa hutan karet dan jembatan sampai gang depan menuju ke Munara.
Umumnya pengunjung yang datang ke Munara dari wilayah Jobodetabek. Kebanyakan mereka tidak menginap, cukup ODT alias one day trip. Berangkat pagi pulang sore, mengingat lokasinya relatif dekat dari Jakarta. Tapi sekarang sudah banyak pengunjung yang datang dari luar Jabodetabek seperti dari Kerawang, Bandung, dan kota lainnya.
Dulu, setiap kali ke Munara, aku selalu menginap. Entah itu di rumah penduduk sebelum menyeberang sungai, di ceruk batu, atau di dekat puncaknya.
Memori lain yang masih tersimpan dan menari-nari saat menulis tulisan ini, ketika aku bermalam di dekat puncaknya. Saat itu bulan purnama, langit bertabur ribuan bintang.
Lantaran tak bisa tidur, aku sendirian menuju salah satu puncak tebingnya lalu duduk di atapnya sambil menyeruput kopi. Malam itu aku bermandikan cahaya bulan dan ribuan bintang yang terasa begitu dekat di kepalaku.
Lantaran tak bisa tidur, aku sendirian menuju salah satu puncak tebingnya lalu duduk di atapnya sambil menyeruput kopi. Malam itu aku bermandikan cahaya bulan dan ribuan bintang yang terasa begitu dekat di kepalaku.
Itulah suguhan kenangan usang di Munara yang sulit ku lupakan sampai sekarang kendati saat itu aku marasa ada “sosok” lain yang menemaniku.
Mungkinkan sepenggal memori itu akan terulang lagi, saat nanti aku kembali ke Munara? Entahlah.
Mungkinkan sepenggal memori itu akan terulang lagi, saat nanti aku kembali ke Munara? Entahlah.
Naskah: Adji TravelPlus (Jaberio Petrozoa) IG: @adjitropis
Captions:
1. Ini fotoku saat mencumbui salah satu tebing di Munara, 20-an tahun silam. (foto: dok. PINISI -OAC (Outdoor Activity Companion)
2. Anggota PELITA latihan memanjat di Munara. (foto: dok. PELITA)
3. Beberapa anggota PELITA saat mendaki Gunung Munara Januari 2015. (foto: dok. PELITA)
4. Ramde duduk di puncak Munara berlatang belakang sunset pada Januari 2015. (foto: dok. PELITA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.