Usai berkunjung ke daerah atau kota, tak lengkap kalau tak membawa pulang oleh-oleh, entah itu panganan ataupun kerajinan tangannya. Nah, kalau Anda ke Desa Wabula, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara untuk menyaksikan pesta adat Pidoano Kuri, jangan lupa sekalian borong aneka kain dan sarung tenunnya sebagai buah tangan.
Kenapa harus tenun? Ya karena inilah satu-satunya kerajinan tangan warga Wabula, tepatnya kaum perempuan Wabula. Karena hanya perempuanlah yang menenun, sementara kaum lelakinya tak seorang pun yang bisa. Kaum adam-nya lebih memilih melaut, bercocok tanam atau merantau menjadi pedagang dan lainnya.
Di Desa Wabula ada ratusan perempuan, baik ibu-ibu maupun anak gadis yang menjadi penenun. “Kalau Anda datang pagi hingga sore di desa ini, akan terdengar bunyi tek-tek riuh para perempuan tengah asyik menenun,” kata Ahmad Emi (43), tokoh masyarakat setempat yang kerap membantu mengumpulkan hasil tenunan para penenun setempat untuk dijual.
Biasanya para penenun di Wabula bekerja di kolong ka’ana atau rumah panggung. Tak sedikit di dalam rumah, jika rumahnya tak berbentuk panggung. “Hampir semua perempuan Wabula bisa menenun karena sejak belasan tahun atau jelang SMP sudah diajarkan,” jelas Wakidi (52), satu di antara perempuan Waluba yang pandai menenun.
Biasanya satu lembar kain dapat diselesaikan seorang penenun selama 4 hari. “Modal membuat sehelai kain tenun Rp 150 ribu. Kalau sudah jadi dijual Rp 200 ribu. Untungnya cuma Rp 50ribu,” aku perempuan berperawakan kurus yang wajahnya nampak lebih tua dari umurnya.
Ada dua macam pola dalam tenun Wabula. “Motif garis-garis untuk perempuan. Sedangkan yang kotak-kotak untuk laki-laki,” jelasnya.
Kendati secara motif terlihat sederhana, tapi dari segi warna amat bervariasi. Umumnya berwarna berani seperti hijau, merah, kuning, ungu, dan biru cerah.
Ahmad Emi menambahkan, bahan Tenun Wabula yakni benang dibeli dari Surabaya. “Sementara alatnya ada dua macam, pertama Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dari kayu yang harganya sekitar 5 juta dan satu lagi alat tenun lokal tradisional yang harganya sekitar Rp 300 ribu,” terangnya.
Kalau sudah ada 5-10 kain tenun, biasanya dijual ke pasar lokal di Wabula dan Pasarwajo. “Ada juga pedagang yang sesekali datang untuk beli atau pesan,” tambah Ahmad yang juga menjabat sebagai sekretaris camat Wabula.
Tenun Wabula, kata Ahmad, beda dengan tenun Bugis yang bahannya sutra dan pakai benang emas.
Sementara tenun wabula benangnya katun. “Enak dipakai buat tidur, bahannya bikin hangat. Atau juga buat shalat setelah dijahit menjadi sarung,” terangnya.
Menjelang pesta adat, permintaan kain tenun Wabula, lanjut Ahmad meningkat. Biasanya banyak orang yang membelinya untuk keperluan membuat jubah atau baju, jas, dan sarung.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.