Tergoda Tade’i, Ubi Bakar Khas Hutan Sumba
Ada yang menyita perhatian saya saat mobil travel yang saya tumpangi melintasi jalan raya yang membelah hutan di Sumba Barat Daya, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Hutan Watukanggorok, Kecamatan Wewewa Barat. Di beberapa titik di tepi jalan yang sepi dan berlatar belakang hutan lebat itu, beberapa warga lokal terlihat menjajakan ubi bakar berwarna hitam gosong.
Ukuran ubinya ada yang sekepal tangan orang dewasa ada juga yang sebesar pepaya.
Sewaktu saya (TravelPlus Indonesia) dan beberapa rekan dari Kementerian Pariwisata (Kemenpar) melewati jalan itu untuk lokasi pembukaan Festival Sandelwood 2017 di Sumba Tengah, tumpukan ubi bakar yang diletakkan di atas meja dari ranting-ranting pohon yang diberi alas karung plastik itu, mengusik keingintahuan saya.
“Itu ubi pak,” kata Umbu (abang) Bai, sopir mobil travel yang mengantar kami.
“Ubi? Koq hitam?,” tanyaku. “Iya itu sudah dibakar,” terang Umbu Bai lagi.
Mendengar jawabannya, entah kenapa saya jadi teringat ubi khas Papua yang dibakar dengan batu.
Sayangnya gerimis turun, kami urung mampir untuk membeli ubi bakar yang menggoda itu.
Keesokan harinya, sewaktu kami hendak ke Danau Weekuri dan melintasi jalan itu lagi, kami menemukan beberapa pedagang ubi bakar.
Tanpa banyak buang waktu, saya pun meminta Umbu Bai menepi di salah satu penjual ubi tersebut. Lalu turun menemui pedagangnya.
“Ini ubi hutan Om yang sudah dibakar,” kata Mama Lena, si penjualnya.
Dia ditemani seorang pria tua yang menyelipkan parang panjang khas Sumba di pinggangnya dan seorang perempuan paruh baya lainnya.
Lokasi berjualannya jauh dari rumah warga dan pedagang ubi bakar lainnya.
“Berapa mama satu ubinya?” tanyaku.
“Kalau yang sedang cuma 10 ribu rupiah isi 3 ubi, kalau yang besar-besar 20 ribu rupiah juga isi 3 ubi,” ungkap Mama Lena dalam Bahasa Indonesia yang bagus.
Tole, rekan saya langsung menyodorkan uang Rp 50 ribu. “Ini beli semuanya, buat nanti kita makan di Weekuri,” kata Tole.
Mama Lena terlihat kaget. Mungkin dia heran ada pembeli langsung beli ubi bakarnya sampai sebanyak itu.
Tanpa banyak omong, Mama Lena langsung memasukkan ubi bakarnya ke dalam 2 kantong plastik hitam, mungkin takut kami berubah pikiran.
Saya pun menyempatkan waktu untuk memotret Mama Lena dan ubi bakar yang dijualnya serta suasana hutan sekitarnya.
Selain ubi hutan, Mama Lena juga menjual beberapa buah pepaya. Bentuk pepayanya mirip Carica (pepaya khas Dieng yang dijadikan manisan sbagai oleh-oleh khas Dieng). Selain itu, Mama Lena juga menjual beberapa sayuran seperti sawi hijau dan bunya pepaya.
Kami tidak langsung memakan ubi bakar Mama Lena. Baru setibanya di Weekuri, kami yang sedari tadi penasaran seperti apa isi ubi bakar itu dan bagaiamana rasanya, langsung mengambil ubi kayu yang disimpan di bagasi mobil oleh Umbu Bai, lalu menyantapnya.
Ternyata sangat muda membelahnya. Cukup dengan tangan, ubi tersebut sudah terbelah. Warna isinya putih bersih seperti nasi dan agak berserat seperti singkong. Rasanya pun mirip seperti singkong dibanding ubi.
Lantaran tak mungkin menghabiskan semua ubi bakar tersebut, Edy salah satu rekan saya juga dari Kemenpar memberikan ubi bakar tersebut kepada salah seorang anak perempuan lokal yang berjualan jagung rebus di pos masuk Weekuri.
Begitupun saat kami ke Kampung Adat Retanggaro, beberapa anak di sana kedapatan ubi bakar yang kami bawa.
Karena masih penasaran dengan ubi tersebut, saya pun bertanya kepada Chris Dangga yang menjabat sebagai Kepala Rumah Tangga Bupati Sumba Barat Daya (SBD).
“Umbu Chris ubi bakar yang dijual di tepi jalan raya hutan Watukanggorok itu nama lokalnya apa ya?” tanyaku.
“Oh itu ubi hutan, nama lokalnya Tade’i,” balasnya.
Chris kemudian menjelaskan kalau ubi Tade’i tidak beracun, beda dengan ubi hutan bernama local Iwi yang memang beracun.
“Tade’i kebanyakan tumbuh di hutan. Bisa juga ditanam di kebun tapi jarang masyarakat Sumba yang nanam. Akarnya berduri soalnya,” jelasnya.
Chris sendiri yang asli Sumba mengaku belum pernah mencicipi ubi bakar Tade’i. “Tapi enak itu kata orang tua. Kebanyakan orangtua Sumba dulu yang suka konsumsi ubi itu,” aku Chris.
Chris sendiri yang asli Sumba mengaku belum pernah mencicipi ubi bakar Tade’i. “Tapi enak itu kata orang tua. Kebanyakan orangtua Sumba dulu yang suka konsumsi ubi itu,” aku Chris.
Ubi hutan (Tade’i) khas SBD belum diketahui apa khasiatnya.
Jika memang Tade’i sejenis dengan Iwi yang biasa disebut gadung (Dioscorea hispida Dennst.) dan termasuk suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae maka khasiatnya cukup banyak.
Menurut sebuah penelitian, khasiat ubi hutan (Iwi) antara lain baik untuk kesehatan tulang dan gigi terutama pada masa pertumbuhan, karena ubi hutan yang di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan (Sulsel) dinamakan Sikapa ini mengandung Kalsium sangat tinggi yaitu 79 mg.
Jika memang Tade’i sejenis dengan Iwi yang biasa disebut gadung (Dioscorea hispida Dennst.) dan termasuk suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae maka khasiatnya cukup banyak.
Menurut sebuah penelitian, khasiat ubi hutan (Iwi) antara lain baik untuk kesehatan tulang dan gigi terutama pada masa pertumbuhan, karena ubi hutan yang di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan (Sulsel) dinamakan Sikapa ini mengandung Kalsium sangat tinggi yaitu 79 mg.
Tapiyang jelas bentuk Tade'i dengan Iwi berbeda meskipun sama-sama disebut ubi hutan. Ubi hutan (Iwi) yang oleh masyarakat Sinjai (Sulsel) disebut Siaffa, di Bau-bau (Pulau Buton, Sulawesi Tenggara) dinamakan Kolope, di Konawe Selatan disebut O Wikoro, di Gorontalo dinamakan Bitule, di Bima disebut Gadu, dan dalam masyarakat Sasak, Lombok, NTB dinamakan Kapak ini kabarnya juga berfaedah menyembuhkan penyakit gula.
Di Pinrang, cara makan ubi hutan (Iwi) ini ada yang dikukus lalu disantap dengan parutan kelapa dan ikan tarawani. Tak sedikit pula yang dibuatnya menjadi keripik ubi.
Di Pinrang, cara makan ubi hutan (Iwi) ini ada yang dikukus lalu disantap dengan parutan kelapa dan ikan tarawani. Tak sedikit pula yang dibuatnya menjadi keripik ubi.
Lantaran ubi hutan (Iwi) ini beracun, masyarakat Pinrang merendam ubi yang juga mengandung serat yang tinggi ini terlebih dahulu dengan air campuran kayu seppang, di tanah yang digali sebagai sumur kecil.
Ubi direndam selama tiga hari, lalu dikeringkan dengan maksud untuk menghilangkan getahnya yang beracun.
Satu suku atau tidak Tade'i dengan Iwi? Yang jelas Tade'i sudah berhasil menggoda saya saat berada di Sumba, khususnya di Sumba Barat Daya.
Kehadiran 'si hitam gosong' di tepi hutan lebat ini, pun menjadi daya pikat tersendiri bagi wisatawan yang tengah melintas untuk menikmati pesona alam dan ragam budaya masyarakat Sumba.
Satu suku atau tidak Tade'i dengan Iwi? Yang jelas Tade'i sudah berhasil menggoda saya saat berada di Sumba, khususnya di Sumba Barat Daya.
Kehadiran 'si hitam gosong' di tepi hutan lebat ini, pun menjadi daya pikat tersendiri bagi wisatawan yang tengah melintas untuk menikmati pesona alam dan ragam budaya masyarakat Sumba.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Captions:
1. Inilah penampakan ubi hutan khas Sumba Barat Daya (SBD) bernama lokal Tade'i.
2. Mama Lena (kaos merah) memasukan ubi bakarnya yang diborong pembeli.
3. Mama Lena kaget ada yang membeli ubi bakarnya sebesar Rp 50 ribu.
4. Pepaya dan ubi hutan yang sudah dibakar milik Mama Lena.
5. Suasana jalan yang melintasi hutan Watukanggorok, SBD.
6. Warga lokal bergotong-royong bersihkan pohon tumbang dan semak belukar hutan di tepi jalan.
7. Menyantap ubi hutan khas SBD yang sudah dibakar berlatar pesona danau Weekuri, SBD.
0 komentar:
Posting Komentar