Merasakan Gerilya Jenderal Sudirman di Pacitan
Bila Anda berwisata ke Pacitan, datang-lah ke monumen Jenderal Sudirman dan rumah yang menjadi markas gerilya-nya. Di kedua obyek wisata bersejarah itu, pasti Anda bakal merasakan betapa luar biasa gigihnya perjuangan jenderal besar satu ini.
Bagaimana tidak, untuk mencapai monumen dan rumah itu, Anda harus melewati perjalanan darat yang cukup panjang baik dari Solo maupun Yogyakarta dengan kendaraan roda empat.
Anda harus menempuh jalan berkelok-kelok, dan naik turun bukit dengan jurang di sisi jalan hingga sampai di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, tempat monumen patung Jenderal Sudirman itu berdiri, dan kemudian dilanjutkan ke rumah bekas markas gerilya-nya.
Setelah merasakan sepenggal rute gerilya Jenderal Sudirman dan melihat patung Sudirman serta rumah bersejarah itu, Anda pasti tak habis pikir bagaimana Sudirman bisa sampai ke tempat itu. Dan sekaligus mengagumi dan mengakui betapa gigihnya perjuangan beliau sampai bisa ke Pakis Baru bergerilya sekitar 7 bulan, keluar masuk hutan, naik turun gunung, dan menjelajah kampung dengan berjalan kaki dan dalam kondisi sakit-sakitan.
38 Relief
Kompleks Monumen Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman terdiri atas patung Jenderal Sudirman setinggi 8 meter. Juga dilengkapi ruang perpustakaan, ruang audio visual,ruang resepsionis, mushola, toilet, pasar seni, cafetaria, lapangan, dan 18 diorama yang menggambarkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia sampai pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 oleh Belanda atas kemerdekaan Indonesia
Monumen bersejarah yang berada di ketinggian 1.300 di atas permukaan laut ini, diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertepatan dengan Hari Juang Kartika ke-63 atau HUT TNI AD ke-63, pada 15 Desember 2008 lalu.
Dan pada 5 Januari 2010 lalu, Menbudpar Jero Wacik meresmikan relief monumen ini didampingi Dirjen Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) Hari Untoro Dradjat, Dirjen Destinasi Pariwisata Kemenbudpar Firmansyah Rahim, dan Bupati Pacitan H. Sujono di kompleks monumen ini.
Ada 38 relief di kompleks monumen ini. Relief tersebut terbuat dari perunggu yang menggambarkan perjalanan hidup Sudirman dari masa kelahiran, belajar mengaji, sekolah, kepanduan, mendirikan koperasi, menjadi anggota Peta, memimpin gerilya, hingga meninggal di Magelang. “Pembuatan relief ini bertujuan untuk lebih menanamkan nilai-nilai perjuangan Jenderal Sudirman agar tertanam rasa cinta tanah air,” kata Jero Wacik.
Pembangunan kawasan monumen sejarah ini dimulai 1981 – 1993 atas prakarsa pribadi Roto Suwarno, yang merupakan pengawal Jenderal Sudirman pada saat perang gerilya. Pembangunannya kembali dilanjutkan pada 22 Juli 2008 hingga menjadi Kawasan Sejarah Panglima Sudirman.
Pembangunan monumen yang bertujuan untuk mengenang pengabdian dan perjuangan Sudirman dalam mempertahankan kemerdekaan RI ini mendapatkan dukungan penuh dari TNI, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Bila Anda berwisata ke monumen yang diprediksi bakal menjadi obyek wisata
internasional sekaligus untuk pendidikan militer ini, sebelum tiba di monumen tersebut, Anda akan melihat 8 gerbang yang menunjukkan delapan provinsi pada 1948-1949. Masing-masing gerbang bertuliskan kata-kata petuah Jenderal Sudirman, antara lain tulisan berbunyi “Walau dengan satu paru-paru dan ditandu, pantang menyerah”.
Rumah Bekas Markas Gerilya
Dari Monumen Jenderal Besar Panglima Besar Sudirman, sebaiknya Anda lanjutkan ke rumah yang ditempati Jenderal Sudirman selama 107 hari, sejak 1 April 1949 s/d 7 Juli 1949 sekaligus menjadi markas gerilya beliau. Lokasinya berada di Dukuh Sobo, sekitar 2 Km dari monumen.
Di depan rumah yang merupakan rumah milik Karsosoemito, seorang bayan di Dukuh Sobo ini, ada papan informasi mengenai sejarah dan rute perang gerilya Jenderal Sudirman, sejak berangkat hingga kembali ke Yogyakarta.
Di rumah yang menghadap Utara ini, Anda diperolehkan melihat isinya. Rumah ini berlantaikan tanah liat dan bergenting tanah liat. Bagian depan dindingnya terbuat dari gebyok (papan kayu) dan bagian belakang dindingnya terbuat dari gedhek (anyaman bambu).
Di ruangan depan ada 2 pintu. Atapnya di topang tiang-tiang kayu. Di ruangan ini ada 4 kamar tidur, salah satunya kamar tidur Jenderal Sudirman. Selain itu juga ada foto Sudirman dengan masyarakat di depan rumah bersejarah ini, foto ketika berangkat bergerilya dan ketika beliau pulang ke Yogyakarta.
Masih di ruang ini, juga ada tiruan tandu, meja-kursi tamu, dan tempat tidur pengawal/ajudan beliau, yaitu Soepardjo Rustam dan Tjokro Pranolo. Di ruangan ini juga ada satu set meja dan kursi tamu dari kayu dan balai dari bambu.
Ruang bagian belakang, atapnya juga disanggah tiang-tiang kayu. Di ruang ini difungsikan sebagai dapur lengkap dengan alat-alat memasak, tempayan, meja dan kursi makan dari kayu. Di ruangan ini juga terdapat peralatan audiovisual untuk menyaksikan tayangan tentang Jenderal Besar Sudirman. Di belakang rumah ini terdapat mushola, toilet, dan bak penampungan air.
Di rumah bekas markas gerilya yang berpanorama indah dan berudara sejuk ini, dulu digunakan Jenderal Sudirman sebagai tempat bersosialisasi dan bergabung dengan masyarakat setempat. Beliau juga menerima tamu dengan pejabat pemerintah di Yogyakarta, di rumah ini.
Menurut Padi, anak dari Karsosoemito, pemilik rumah ini, ketika dia berusia 7 tahun, banyak komandan pasukan maupun pejabat pemerintahan yang datang ke Sobo untuk minta petunjuk. “Saya tidak tahu kalau yang tinggal di rumah itu Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman. Hampir setiap pagi, saya dipanggil beliau untuk sarapan bubur. Setiap pagi, beliau berjemur sinar matahari,” kenang Padi.
Setelah Perjanjian Roem-Royen yang isinya Pemerintah Indonesia dan Belanda sepakat berdamai, maka Panglima Besar Jenderal Sudirman merencanakan pulang ke Yogyakarta. Akhirnya setelah dibujuk sejumlah pihak, Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman meninggalkan rumah ini, kembali ke Yogyakarta pada 7 Juli 1949.
Tips Perjalanan
Momumen Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan dapat ditempuh dari Solo maupun Yogyakarta. Dari Solo waktu tempuhnya sekitar 3 jam dengan kendaraaan roda empat, kalau dari Yogyakarta sekitar 4 jam. Sedangkan Rumah bekas markas gerilya, berada sekitar 2 Km dari monumen ini.
Bila dengan kendaraan umum, naik bis dari Solo ke Pacitan, lalu ganti bis lagi jurusan Pacitan ke Nawangan, kemudian berjalan kaki atau naik sepeda motor ke monumen dan rumah bekas markas gerilya Jenderal Sudirman. Kalau tak mau gonta-ganti kendaraan umum, Anda bisa membawa mobil sendiri atau sewa mobil travel dari Yogyakarta atau Solo Rp 500.000 per hari sudah termasuk sopir, namun belum termasuk bahan bakarnya.
Kendati berkelok-kelok dan naik turun pegunungan, namun kondisi jalan dari Kota Pacitan hingga menuju monumen dan rumah bekas markas gerilya Jenderal Sudirman sudah beraspal mulus.
Penginapan terdekat dengan monumen ini tak begitu banyak, hanya ada losmen di Nawangan. Begitu juga rumah makan. Kecuali di Kota Pacitan Ada beberapa hotel dan rumah makan yang dapat Anda pilih. Kuliner khas Pacitan yang dapat Anda nikmati antara lain Nasi Kalakan, Nasi Tiwul, Botok Tawon, dan Cenil Pacitan.
Obyek wisata bahari yang bisa Anda kunjungi antara lain Pantai Teleng Ria, Klayar, Sidomulyo, dan Pantai Srau. Obyek wisata alamnya antara lain menyusuri sejumlah goa seperti Goa Gong dan Goa Tabuhan. Sedangkan wisata budayanya Upacara Ceprotan yang digelar setiap tahun di bulan Dulkangindah, hari Senin Kliwon atau Minggu Kliwon.
Di Kota Pacitan, Anda bisa mampir ke Galeri Alumni SMA 1 Pacitan untuk melihat koleksi dari alumni-alumni SMA-nya Presiden SBY serta mampir ke rumah orangtua SBY untuk melihat rumah asli tempat SBY dibesarkan dan sejumlah koleksi fotonya.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Bagaimana tidak, untuk mencapai monumen dan rumah itu, Anda harus melewati perjalanan darat yang cukup panjang baik dari Solo maupun Yogyakarta dengan kendaraan roda empat.
Anda harus menempuh jalan berkelok-kelok, dan naik turun bukit dengan jurang di sisi jalan hingga sampai di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, tempat monumen patung Jenderal Sudirman itu berdiri, dan kemudian dilanjutkan ke rumah bekas markas gerilya-nya.
Setelah merasakan sepenggal rute gerilya Jenderal Sudirman dan melihat patung Sudirman serta rumah bersejarah itu, Anda pasti tak habis pikir bagaimana Sudirman bisa sampai ke tempat itu. Dan sekaligus mengagumi dan mengakui betapa gigihnya perjuangan beliau sampai bisa ke Pakis Baru bergerilya sekitar 7 bulan, keluar masuk hutan, naik turun gunung, dan menjelajah kampung dengan berjalan kaki dan dalam kondisi sakit-sakitan.
38 Relief
Kompleks Monumen Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman terdiri atas patung Jenderal Sudirman setinggi 8 meter. Juga dilengkapi ruang perpustakaan, ruang audio visual,ruang resepsionis, mushola, toilet, pasar seni, cafetaria, lapangan, dan 18 diorama yang menggambarkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia sampai pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 oleh Belanda atas kemerdekaan Indonesia
Monumen bersejarah yang berada di ketinggian 1.300 di atas permukaan laut ini, diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertepatan dengan Hari Juang Kartika ke-63 atau HUT TNI AD ke-63, pada 15 Desember 2008 lalu.
Dan pada 5 Januari 2010 lalu, Menbudpar Jero Wacik meresmikan relief monumen ini didampingi Dirjen Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) Hari Untoro Dradjat, Dirjen Destinasi Pariwisata Kemenbudpar Firmansyah Rahim, dan Bupati Pacitan H. Sujono di kompleks monumen ini.
Ada 38 relief di kompleks monumen ini. Relief tersebut terbuat dari perunggu yang menggambarkan perjalanan hidup Sudirman dari masa kelahiran, belajar mengaji, sekolah, kepanduan, mendirikan koperasi, menjadi anggota Peta, memimpin gerilya, hingga meninggal di Magelang. “Pembuatan relief ini bertujuan untuk lebih menanamkan nilai-nilai perjuangan Jenderal Sudirman agar tertanam rasa cinta tanah air,” kata Jero Wacik.
Pembangunan kawasan monumen sejarah ini dimulai 1981 – 1993 atas prakarsa pribadi Roto Suwarno, yang merupakan pengawal Jenderal Sudirman pada saat perang gerilya. Pembangunannya kembali dilanjutkan pada 22 Juli 2008 hingga menjadi Kawasan Sejarah Panglima Sudirman.
Pembangunan monumen yang bertujuan untuk mengenang pengabdian dan perjuangan Sudirman dalam mempertahankan kemerdekaan RI ini mendapatkan dukungan penuh dari TNI, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Bila Anda berwisata ke monumen yang diprediksi bakal menjadi obyek wisata
internasional sekaligus untuk pendidikan militer ini, sebelum tiba di monumen tersebut, Anda akan melihat 8 gerbang yang menunjukkan delapan provinsi pada 1948-1949. Masing-masing gerbang bertuliskan kata-kata petuah Jenderal Sudirman, antara lain tulisan berbunyi “Walau dengan satu paru-paru dan ditandu, pantang menyerah”.
Rumah Bekas Markas Gerilya
Dari Monumen Jenderal Besar Panglima Besar Sudirman, sebaiknya Anda lanjutkan ke rumah yang ditempati Jenderal Sudirman selama 107 hari, sejak 1 April 1949 s/d 7 Juli 1949 sekaligus menjadi markas gerilya beliau. Lokasinya berada di Dukuh Sobo, sekitar 2 Km dari monumen.
Di depan rumah yang merupakan rumah milik Karsosoemito, seorang bayan di Dukuh Sobo ini, ada papan informasi mengenai sejarah dan rute perang gerilya Jenderal Sudirman, sejak berangkat hingga kembali ke Yogyakarta.
Di rumah yang menghadap Utara ini, Anda diperolehkan melihat isinya. Rumah ini berlantaikan tanah liat dan bergenting tanah liat. Bagian depan dindingnya terbuat dari gebyok (papan kayu) dan bagian belakang dindingnya terbuat dari gedhek (anyaman bambu).
Di ruangan depan ada 2 pintu. Atapnya di topang tiang-tiang kayu. Di ruangan ini ada 4 kamar tidur, salah satunya kamar tidur Jenderal Sudirman. Selain itu juga ada foto Sudirman dengan masyarakat di depan rumah bersejarah ini, foto ketika berangkat bergerilya dan ketika beliau pulang ke Yogyakarta.
Masih di ruang ini, juga ada tiruan tandu, meja-kursi tamu, dan tempat tidur pengawal/ajudan beliau, yaitu Soepardjo Rustam dan Tjokro Pranolo. Di ruangan ini juga ada satu set meja dan kursi tamu dari kayu dan balai dari bambu.
Ruang bagian belakang, atapnya juga disanggah tiang-tiang kayu. Di ruang ini difungsikan sebagai dapur lengkap dengan alat-alat memasak, tempayan, meja dan kursi makan dari kayu. Di ruangan ini juga terdapat peralatan audiovisual untuk menyaksikan tayangan tentang Jenderal Besar Sudirman. Di belakang rumah ini terdapat mushola, toilet, dan bak penampungan air.
Di rumah bekas markas gerilya yang berpanorama indah dan berudara sejuk ini, dulu digunakan Jenderal Sudirman sebagai tempat bersosialisasi dan bergabung dengan masyarakat setempat. Beliau juga menerima tamu dengan pejabat pemerintah di Yogyakarta, di rumah ini.
Menurut Padi, anak dari Karsosoemito, pemilik rumah ini, ketika dia berusia 7 tahun, banyak komandan pasukan maupun pejabat pemerintahan yang datang ke Sobo untuk minta petunjuk. “Saya tidak tahu kalau yang tinggal di rumah itu Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman. Hampir setiap pagi, saya dipanggil beliau untuk sarapan bubur. Setiap pagi, beliau berjemur sinar matahari,” kenang Padi.
Setelah Perjanjian Roem-Royen yang isinya Pemerintah Indonesia dan Belanda sepakat berdamai, maka Panglima Besar Jenderal Sudirman merencanakan pulang ke Yogyakarta. Akhirnya setelah dibujuk sejumlah pihak, Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman meninggalkan rumah ini, kembali ke Yogyakarta pada 7 Juli 1949.
Tips Perjalanan
Momumen Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan dapat ditempuh dari Solo maupun Yogyakarta. Dari Solo waktu tempuhnya sekitar 3 jam dengan kendaraaan roda empat, kalau dari Yogyakarta sekitar 4 jam. Sedangkan Rumah bekas markas gerilya, berada sekitar 2 Km dari monumen ini.
Bila dengan kendaraan umum, naik bis dari Solo ke Pacitan, lalu ganti bis lagi jurusan Pacitan ke Nawangan, kemudian berjalan kaki atau naik sepeda motor ke monumen dan rumah bekas markas gerilya Jenderal Sudirman. Kalau tak mau gonta-ganti kendaraan umum, Anda bisa membawa mobil sendiri atau sewa mobil travel dari Yogyakarta atau Solo Rp 500.000 per hari sudah termasuk sopir, namun belum termasuk bahan bakarnya.
Kendati berkelok-kelok dan naik turun pegunungan, namun kondisi jalan dari Kota Pacitan hingga menuju monumen dan rumah bekas markas gerilya Jenderal Sudirman sudah beraspal mulus.
Penginapan terdekat dengan monumen ini tak begitu banyak, hanya ada losmen di Nawangan. Begitu juga rumah makan. Kecuali di Kota Pacitan Ada beberapa hotel dan rumah makan yang dapat Anda pilih. Kuliner khas Pacitan yang dapat Anda nikmati antara lain Nasi Kalakan, Nasi Tiwul, Botok Tawon, dan Cenil Pacitan.
Obyek wisata bahari yang bisa Anda kunjungi antara lain Pantai Teleng Ria, Klayar, Sidomulyo, dan Pantai Srau. Obyek wisata alamnya antara lain menyusuri sejumlah goa seperti Goa Gong dan Goa Tabuhan. Sedangkan wisata budayanya Upacara Ceprotan yang digelar setiap tahun di bulan Dulkangindah, hari Senin Kliwon atau Minggu Kliwon.
Di Kota Pacitan, Anda bisa mampir ke Galeri Alumni SMA 1 Pacitan untuk melihat koleksi dari alumni-alumni SMA-nya Presiden SBY serta mampir ke rumah orangtua SBY untuk melihat rumah asli tempat SBY dibesarkan dan sejumlah koleksi fotonya.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar